Klinik Hukum zonasultra.id
Tanya:
Anggota keluarga saya ada yang bercerai. Keduanya bercerai karena suami suka melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan selingkuh. Mereka memiliki satu anak. Keduanya memperebutkan hak asuh anaknya. Yang saya mau tanyakan bagaimana caranya supaya ibunya yang memenangkan hak asuh anak di pengadilan? Apakah anak (usia 10 tahun) berhak untuk memilih tinggal dengan siapa? Terima kasih.
Jawab:
Sebelum saya menjawab lebih detail pertanyaan saudara, ada hal yang perlu saya luruskan. Bahwa perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami istri dengan keputusan pengadilan dan ada cukup alasan bahwa diantara suami isteri tidak akan dapat hidup rukun lagi sebagai suami isteri.
Jika masih belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum mengikat, masih belum dapat dikatakan adanya perceraian.
Ada perbedaan mendasar antara perceraian bagi pihak yang beragama Islam dan pihak beragama lain. Bagi pihak beragama Islam maka gugatan cerai dan atau permohonan cerai talak diajukan di Pengadilan Agama di mana domisili atau tempat kediaman istri.
Bagi pihak beragama di luar Islam, gugatan perceraian dapat diajukan di Pengadilan Negeri di mana domisili atau tempat kediaman istri.
Mengacu kepada pertanyaan saudara tentang sikap suami yang demikian dapat dijadikan alasan untuk mengajukan gugatan cerai oleh istri berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya mengatur tentang tata cara perceraian, yaitu dalam Pasal 14yang menyatakan bahwa:
“Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya, serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu”.
Alasan-alasan yang dimaksud dalam Pasal 14 tersebut adalah sebagai berikut sebagaimana diatur dalam Pasal 19 UUP, yaitu :
a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukum lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
f) Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Berkaitan dengan pertanyaan saudara mengenai hak asuh anak yang belum berusia 12 tahun berada dalam hak kepengasuhan ibunya, sebagaimana ketentuan pasal 105 a Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan bahwa anak yang belum mumayyiz atau belum berusia 12 tahun adalah hak ibunya. Akan tetapi di dalam persidangan hakim dapat melakukan diskresi terhadap ketentuan tersebut apabila dalam fakta sidang ditemukan si ibu suka mabuk, menelantarkan anak, berjudi dan berkelakuan buruk lainnya. Maka hak asuh dapat jatuh ke tangan ayahnya.
Sekian
Aqidatul Awwami, SH