ZONASULTRA.COM, JAKARTA – Larang mantan napi korupsi mengikuti kontestasi Pilkada yang ditetapkan KPU akan menemui banyak tantangan. Pernyataan itu diungkapkan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini.
Titi menuturkan bahwa KPU berada di tengah ekosistem hukum yang mana KPU mengatur hal yang sama berdasarkan pembelajaran sebelumnya, dan nantinya diprediksi akan mendapatkan dua perlawanan sekaligus.
“Yang pertama adalah perlawanan hukum. Pasti peraturan KPU ini akan dipersulit untuk diundangkan dalam berita negara karena tadi dianggap bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi oleh Kemenkumham,” terang Titi saat diskusi publik yang bertema “Ngeri-ngeri Sedap Larangan Napi Korupsi Maju Pilkada” di bilangan Cikini Jakarta Pusat, Senin (25/11/2019).
Selain itu, perlawanan hukum dari para pihak para mantan napi yang akan menguji PKPU pencalonan ke mahkamah agung melalui hak uji materi. Perlawanan kedua yang menghadang KPU adalah perlawanan politik dari pihak-pihak berkepentingan.
(Baca Juga : KPU Sebut Larangan Mantan Napi Korupsi Ikut Pilkada Bisa Berubah)
“Yang kedua adalah perlawanan politik. KPU pasti akan diteka dengan misalnya abuse of power, mengatu melampaui otoritas kewenangan dan lain sebagainya,” ujar Titi.
Menurutnya, dengan realitas tersebut, ekosistem politik dan hukum tidak menopang KPU untuk melakukan terobosan mengatur pelarangan mantan napi. Bukan hanya mantan napi korupsi, tetapi juga mantan napi kejahahatan berat lain.
Oleh sebab itu, Titi melalui lembaga Perludem mengajukan pengujian ke Mahkamah Konstitusi terhadap pasal 7 ayat 2 huruf G UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, terkait pencalonan mantan terpidana tidak hanya mantan napi korupsi.
Titi menambahkan, pengaturan tersebut mestinya tidak hanya tentang hak mantan napi, melainkan juga tentang hak publik untuk mendapatkan kontestan terbaik dalam Pilkada sehingga terpilih pemimpin daerah yang tidak beresiko melakukan masalah hukum.
Ia menilai ekosistem politik dan hukum saat ini memang tidak sepenuhnya mendukung upaya menghambat keterlibatan mantan napi dalam kontestasi politik.
“Yang kami minta adalah para mantan napi yang sudah menjalani hukuman yang ancaman hukumannya 5 tahun atau lebih, jadi bukan hanya korupsi, terorisme, pembunuhan berencana, pemerkosaan tidak hanya terhadap anak tapi juga semua kategori kejahatan seksual, itu hanya boleh dicalonkan di Pilkada dengan sejumlah persyaratan. Jadi konstitusional bersyarat,” jelas Titi.
Syarat tersebut antara lain, pertama dia harus sudah bebas murni paling sedikit 10 tahun sebelum pencalonan dilakukan. Kedua, bukan pelaku tindak pidana berulang. Ketiga, pemaknaan jujur dan terbuka yang bisa lebih luas diatur oleh KPU.(b)