Ruangan itu sesak. Dipadati pengunjung yang kebanyakan penggiat literasi. Banyak di antara mereka masih mahasiswa. Sisanya, praktisi dan profesional. Penggiat sastra, kepenulisan, dan jurnalis.
Saya ikut-ikutan bergabung. Meskipun terlambat. Telat menyimak kalimat pengantar dari Wa Ode Nur Iman, Ketua Forum Taman Baca Masyarakat (TBM) Sultra. Penggagas sekaligus shahibul bait acara Pekan Sharing Literasi (Pensil), yang bertajuk “Pekan Buku dan Perpustakaan dalam Peradaban Sebuah Bangsa” ini.
Narasumbernya tidak main-main. Seorang penulis dan penggiat literasi kenamaan. Maman Suherman. Akrab disapa Kang Maman, meski beberapa mengkrabinya pula dengan sapaan Daeng Maman.
Sarjana kriminolog yang memilih menempuh hidup dari aksara dan baca tulis. Lahir di Makassar –yang menjelaskan mengapa dia disapa Daeng Maman– dan telah pandai membaca di usia tiga setengah tahun, dan telah menulis lebih dari 40 buku.
Moderator diskusinya Inal Tora. Anak muda yang sudah wara wiri sebagai pemandu acara di Sultra. Dia bisa serius. Juga pandai melucu. Mengimbangi komedian Raim Laode yang juga hadir –dan “marah-marah”.
Kata Raim, kenapa orang dari luar Sultra terus yang jadi narasumber. Kenapa bukan orang Sultra. Dia sesungguhnya ingin mengatakan, tidak adakah orang sakti mandraguna di Sultra.
Kang Maman banyak berbicara perihal perpustakaan. Termasuk pendapatnya tentang pembangunan fisik gedung perpustakaan. Dia salah satu juri yang setuju memberikan penghargaan Nugra Jasadharma Pustaloka kepada Gubernur Sultra Ali Mazi.
Dia punya alasan tersendiri. Perpustakaan adalah simbol peradaban. Dalam sejarah perang umat manusia, perpustakaan menjadi sasaran utama penghancuran, karena diyakini perpustakaan adalah muara ilmu.
Sejarah mencatat pembakaran Perpustakaan Alexandria (era Mesir kuno) dan penghancuran Perpustakaan Baghdad (era kekhalifahan Abbasiyah). Termasuk penghancuran buku dengan motif relijius yang terjadi di Eropa. Itu di masa lalu.
Bagaimana urgensi sebuah perpustakaan di era digital seperti ini? Yang jika meminjam kalimat anggota DPR Ridwan Bae, untuk apa perpustakaan itu? Semua bisa diperoleh dari Google. Dengan mengetik daun kelor, Anda sudah tahu apa manfaat dari daun kelor. Google menyediakan segalanya.
Pendapat ini direspon Kang Maman. Setidaknya ada dua sudut pandang. Pertama, dalam hal penyediaan informasi dan ilmu pengetahuan, perpustakaan dan Google tidak setara untuk “dibanding-bandingke” kata Farel Prayoga.
Pada perpustakaan, tidak ada hoax di sana. Tidak ada sampah. Semua terverifikasi. Di Google, pengetahuan bercampur baur dengan sampah-sampah informasi.
Wikipedia, yang kerap jadi rujukan referensi tugas akhir mahasiswa, itu sangat tidak verified. Sehingga sangat memprihatinkan jika ada dosen yang membolehkan mahasiswanya mengutip Wikipedia sebagai referensi karya ilmiahnya.
Sudut pandang kedua, perpustakaan tidak lagi dimaknai sebagai ruang untuk membaca buku semata. Yang hening. Tidak boleh berisik. Diisi dengan petugas yang sudah tua, tidak punya gairah, pegawai buangan.
Perpustakaan harus menjadi pusat peradaban. Tempat berjejaring. Tempat saling menumbuhkan. Ruang untuk menimba pengetahuan, sekaligus menajamkkan rasa, dan meningkatkan motivasi untuk produktif. Kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Perpustakaan tidak boleh hanya diisi oleh buku. Tapi disana perlu ada aktifitas sosial. Forum TBM Sultra, kata Kang Maman, sebaiknya bersekretariat di sana. Yang setiap saat menggelar aktifitas literasi. Menulis, berpuisi, pertunjukan, nonton bareng, lomba-lomba seni dan kebudayaan, dan tuntunan praktek-praktek mencari hidup.
Perpustakaan menciptakan komunitas. Mendorong kreatifitas. Menumbuhkan nilai-nilai mulia kemanusiaan. Faktanya, ada korelasi positif antara negara paling literate, dengan sikap antikorusi dan kadar kebahagiaan.
Finlandia termasuk negara paling literate di dunia, yang ternyata negeri ini juga dinobatkan sebagai negara paling antikorupsi dan paling bahagia di dunia.
Perpustakaan yang dibangun Gubernur Sultra Ali Mazi adalah berpustakaan dengan konsep inviting people. Perpustakaan yang menarik orang untuk datang. Mereka datang karena menemukan kehidupan di sana.
Kita akan sepanjang waktu membangun jalan. Namun, jalan tidak akan mampu membangun peradaban. Kita cukup sekali membangun perpustakaan, yang akan terus mendidik manusia membangun peradaban.
Mereka yang lahir dari rahim perpustakaan dan buku-bukunya akan menciptakan manusia pembangun jalan-jalan berusia panjang. Yang aspalnya kuat, tak mudah berlubang dan mengelupas, akibat terlalu banyak bagi-bagi dibanding tambah-tambah.
Itulah sebabnya, perpustakaan dan buku-bukunya tidak bisa digantikan dengan Google. Presiden, Gubernur, Bupati, anggota DPR bisa berganti tapi buku tak tergantikan. Perpustakaan adalah rumah buku, rumah peradaban.***
(Andi Syahrir, Kepala Bidang Informasi dan Komunikasi Publik – Dinas Kominfo Prov. Sultra)