Belakangan ini nampaknya Sulawesi Tenggara menjadi syurga bagi perusahaan tambang. Meskipun penolakan terus dilakukan, penjarahan kekayaan sumber daya alam yang ada dibeberapa kabupaten di Sultra malah semakin mengkhawatirkan. Seperti yang terjadi di desa Tue-Tue, seorang warga tertembak saat melakukan demonstrasi. Aksi tersebut dilakukan warga untuk menghalangi alat berat yang ingin masuk ke area pertambangan.
“Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) mengecam aksi penembakan yang diduga dilakukan oleh oknum kepolisian terhadap seorang warga Desa Tue-tue, Kecamatan Laonti, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel) bernama Sarman (35), Minggu (14/1/2018) lalu”, dilansir dari zonasultra.id.
Masuknya perusahan tambang disuatu daerah seringkali menuai protes masyarakat setempat. Bukan tanpa alasan, melainkan karena perusahaan tidak lagi memperhatikan wilayah konservasi yang seharusnya menjadi fokus semua pihak karena menyangkut keberlangsungan hidup wilayah tersebut. Wajar jika penolakan terkait lahan terus mencuat. Sebagaimana kekisruhan yang terjadi terkait masuknya perusahaan tambang PT Gerbang Multi Sejahtera (GMS) yang telah mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) produksi di daerah tersebut. Namun terus mendapat aksi penolakan dari warga karena persoalan lahan.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Tenggara (Sultra) mengingatkan semua pihak bahwa sebagian besar wilayah Kecamatan Laonti, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel) adalah wilayah konservasi (zonasultra.id/Hukum/17 Januari 2018).
Tambang Merugikan Siapa ?
Buah dari hasil penambangan selalunya dirasakan oleh masyarakat setempat. Mereka harus menelan pil pahit dampak kerusakan alam yang terjadi. Meskipun izin dan amdalnya telah dikantongi perusahaan, namun fakta memperlihatkan bahwa izin dan amdal yang dimiliki perusahan bukan jaminan untuk terhindar dari kerusakan alam. Salah satu contoh adalah kasus yang terjadi di Sidoarjo beberapa tahun silam. PT. Lapindo telah memiliki amdal namun semburan lumpur panas di lokasi pengeboran menjadi bencana besar warga setempat.
Sangat disesalkan, melihat penguasa saat ini yang seolah mudah memberikan izin ke perusahaan tambang, apalagi jika perusahaan tersebut adalah milik swasta yang tidak lain adalah kaum kapitalis yang bertujuan mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya. Tentu ini merupakan sebuah kekeliruan besar.
Indonesia sejak dulu dikenal dengan kekayaan alamnya yang berlimpah ruah akan tetapi tidak dinikmati oleh rakyatnya. Kesenjangan dan kemiskinan masih jelas terlihat, sebagaimana peribahasa “bagaikan ayam mati dalam lumbung Padi”.
Saat ini, perusahaan swasta diberikan kewenangan penuh untuk mengeruk habis Sumber Daya Alam yang seharusnya menjadi sarana kesejahteraan masyarakat. Sementara disisi lain, pemerintah mendapatkan royalti hanya dari pajak yang angkanya sangat kecil dibandingkan dengan keuntungan perusahaan. Tentu akan berbeda faktanya jika sumber daya alam dikelola sepenuhnya oleh Pemerintah yang hasilnya digunakan untuk menyejahterakan masyarakat.
Swastanisasi bisa terjadi akibat sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan di negara ini. Aturan yang ada secara otomatis melegalkan pengelolaan sumber daya alam oleh swasta. Pemerintah justru melepas peranannya dalam berbagai pengelolaan ekonomi, khususnya menyangkut sektor-sektor sentral yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Pengelolaan Tambang Dalam Islam
Dalam pandangan Islam, barang tambang termasuk dalam kategori kepemilikan umum yang harus dikelola hanya oleh Negara. Maka, hasilnya dikembalikan kepada masrakyat dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer seperti pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum lainnya. Pradigma pengelolaan sumberdaya alam milik umum yang berbasis swasta atau (Corporate Based Management) harus diubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh Negara (State Based Management) dengan tetap berorientasi pada kelestarian sumber daya (Sustainable Resources Principle).
Pendapat di atas dikemukakan oleh ulama terkemuka Taqiyuddin An-Nabhani, berdasarkan pada hadist nabi riwayat At-Tirmidzi dari Abyadh bin Hambal. Dalam hadist tersebut Abyadh menceritakan telah meminta kepada Rasul untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul meloloskan permintaan itu, tapi segera diingatkan oleh seorang sahabat:
“Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (ma’u al-‘iddu)” Rasulullah kemudian bersabda: “Tariklah tambang tersebut darinya”.
Ma’u al-‘iddu yang dimaksud adalah yang jumlahnya sangat banyak dan mengalir terus menerus. Hadist tersebut terkait tambang garam yang kandungannya sangat banyak sebagaimana air yang mengalir. Awalnya Rasulullah memberikan hak pengelolaan tambang garam kepada seseorang. Namun setelah mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan Ma’u al-‘iddu (jumlahnya sangat banyak) maka Rasulullah mencabut pemberian itu, karena merupakan milik umum yang tidak boleh dikuasai oleh individu atau swasta.
Berbagai persoalan pengelolaan Sumber Daya Alam disistem Kapitalis saaat ini tidak akan habis. Solusi mendasar adalah kembali ketata kelola berdasarkan Syariah islam sebab perubahan yang fundamental inilah kesejahteraan dan kemakmuran akan didapatkan. “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan mereka berkah dari langit dan bumi… “(QS.Al-A’Raaf: 96). Wallahu’alam bi ash-shawab
Oleh : Sitti Aisyah Al-Fatih, SE
Penulis Merupak Alumnus FEBI Universitas Muhammadiyah