Pesta demokrasi telah di depan mata dan tentu ini menjadi kegembiraan tersendiri bagi sebagian rakyat negeri ini. Bagaimana tidak? Sudah menjadi rahasia umum, jika pemilu datang, tak sedikit ada saja yang mencari keuntungn dengan adanya momentum itu, tetapi ada juga sisi gelap dari pesta rakyat tersebut.
Sebagaimana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengajak semua pihak mendukung penyelenggaraan proses demokrasi agar dapat menghasilkan pemimpin terbaik bagi masing-masing daerah dalam pilkada serentak 2018 yang akan digelar besok 27 Juni. Karena berdasarkan data yang ada hingga saat ini, 95 kepala daerah telah diproses dalam kasus korupsi di 108 kasus korupsi dan pencucian uang. Pihaknya mengatakan bahwa modus korupsi yang paling dominan adalah penyuapan. (zonasultra.id, 26/06/2018)
Menyelisik Pilkada
Dalam sistem perpolitikan saat ini untuk bermain di panggung perpolitikan mesti merogoh kocek yang sangat dalam, demi terwujud tujuan yang diharapkan. Jika tidak, jangan berani mencoba hal itu, karena keahlian ataupun kemampuan seseorang dalam berpolitik tidak cukup untuk dapat melengang dengan mulus di dunia perpolitikan yang kian keras.
Hal seperti itu pun sudah menjadi rahasia umum bahwasanya politik butuh biaya yang selangit. Sehingga para peserta pemilu yang mencalonkan diri baik sebagai kepala daerah, anggota legislatif, maupun presiden mesti menyiapakan dana yang sangat fantastik.
Sebagaimana Kementerian Dalam Negeri menyebutkan, calon bupati atau wali kota butuh dana Rp 20 hingga Rp 100 miliar untuk memenangi Pilkada. (kompas.com, 12/01/2018). Bagaimana tidak mengeluarkan dana yang tak sedikit jika dalam proses pemilu memiliki tahap yang memang mengharuskan seseorang untuk menggelontorkan dana miliaran.
Adapun beberap faktor yang memicu tingginya dana tersebut diantaranya; Pertama, pembuatan baliho ataupun sejenisnya guna mengenalkan ke masyarakat tentang para calon yang akan berlaga di dunia politik. Kedua, ‘mahar’ politik yang mesti diserahkan kepada partai politik yang akan mengusungnya di ajang pemilihan umum nantinya. Ketiga, adanya sumbangan dana kampanye perseoranagan. Keempat, pendanaan saksi ketika pemungutan suara. Kelima, persiapan dan pengawalan sengketa.
Selain itu, yang telah menjadi rahasia umum dan tentunya tak dapat dipungkiri tentang adanya money politic yang biasanya banyak terjadi mendekati hari H pemilihan. Karena salah satu cara untuk menarik perhatian masyarakat tak sedikit para calon kerap kali membagi-bagikan sesuatu, baik berupa uang maupun barang. Sehingga tak dapat dielakkan lagi, pasti berdampak pada pembengkakan biaya kampanye.
Di samping itu pula yang sudah menjadi pemandangan biasa, yaitu ketika mejelang pemilihan, para calon nampak begitu dekat dengan rakyat dan banyak “memberi bantuan”, namun setelah mereka terpilih, lagi-lagi mereka jauh dari rakyat dan mungkin dilupakan. Miris!
Dengan beberapa realitas diatas, tentunya sulit bagi para pemegang kekuasaan yang telah berhasil lolos dalam pemilu untuk tidak larut dalam tindak korupsi. Mengingat banyaknya dana yang harus digelontorkan dalam pemilu, maka sulit dipungkiri jika nantinya ingin mengembalikan modal yang telah dikucurkan saat proses pilkada. Karena dapat dipastikan gaji dan tunjangan yang mereka peroleh sangat jauh untuk dapat mengembalikan ongkos politik. Ditambah lagi, susah pula untuk tidak melakukan jual beli jabatan dan main proyek.
Pemilihan Dalam Sudut Pandang Isam
Dalam Islam, tak hanya sekedar mengatur hubungan manusia dengan penciptanya, tapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya. Salah satunya menetapkan dan mengatur umat dalam pemilihan pemimpin dan tentunya selektif dalam memilih dan menetapkan pemimpinnya.
Imam Al-Mawardi dalam karyanya ‘Kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyyah (Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara Dalam Syariat Islam) mengatakan bahwa jika anggota ahlu al-aqdi wa al-hal mengadakan sidang untuk memilih Pemimpin, mereka harus mempelajari data pribadi orang-orang yang memiliki kriteria- kriteria kepemimpinan, kemudian mereka memilih siapa di antara orang-orang tersebut yang paling banyak kelebihannya, paling lengkap kriterianya, paling segera ditaati rakyat, dan mereka tidak menolak membaitnya.
Memilih pemimpin dalam Islam lebih mengutamakan kemampuan. Islam juga dengan sistemnya tidak membutuhkan ongkos yang sangat banyak di dalam memilih pemimpin. Selain itu, dalam Islam calon pemimpin yang dipandang memiliki kriteria yang lengkap namun tidak mau diangkat, maka tidak boleh dipaksa untuk tetap menerima jabatan itu.
Dengan demikian pemilihan yang tak menguras dana sangat banyak dan masalah turunannya, tidak mungkin kita temukan dalam sistem yang jauh dari penerapan aturan-Nya. Olehnya itu, pemilihan yang benar-benar sesuai aturan-Nya hanya akan kita dapatkan jika aturan yang diberlakukan merupakan aturan yang bersumber dari Allah semata, sehingga rahmatan lil ‘alamin dapat dirasakan, baik oleh Muslim maupun non Muslim. Wallah a’lam bi ash-shawab.