Politik itu adalah fitrah manusia, karena itu manusiaakan selalubersama politik dan politik akan selamanyabersama manusia kemanapun dia berada. Artinya politik merupakan salah-satu pemberian tuhan yang melekat di dalam diri manusia. Sebagaimana Aristoteles memandang manusia sebagai “Zoon Politicon”atau makhluk sosial(Miriam Budiarjo:2009).Sebagai makluk sosial, manusia pasti berinterkasi, berkerjasama, bermusyawarah untuk mencapai tujuan tertentu, kesemua proses itu adalah bagian dari proses politik. Lebih lanjut, “Zoon” berarti Hewan dan “Politicon” di artikan sebagai bermasyarakat (sosial). Hewan yang di maksudkan disini adalah manusia, dan penggunaan kata hewan tersebut di pakai agar kita dapat mengerti perbedaan selanjutnya antara manusia dan hewan dalam berinteraksi.
Tidak dapat di sangkali bahwa dalam pelaksanaannya, politik tidak selamanya di jalankan dengan baik, karena politik tergantung dari tabiat manusia. Sikap negatif itu di karenakan terdorong oleh naluri hewaninyayang dimanadapat merugikan orang lain. Akhirnya Pilkada yang terjadi sampai saat ini pun lebih menunjukan sebagai mekanisme sirkulasi kekuasaan para elit saja, bukan sebagai arena pertarungan dalam distribusiatau redistribusi keadilan (Eko Prasetyo:2016). Kondisi ini kemudian mengarahkan para elit politik dan para pendukungnya berusaha melakukan segala halmisalnya merugikan, mencanci, bahkan “mematikan” pihak lain. Lantas bagaimana politik yang baik dan tidak mematikannilai-nilai kemanusiaan?para politikus dan pendukungnya berada di posisi mana? apakahPolitik Pancasilais atau justru Politik Machiavelis?
Politik yang baik itusepanjang manusia mempergunakan akal sehat dan menyerap hikamah dari intelegensi yang di milikinya.Hal ini tentunya membedakan manusia dengan makhluk lainnya yang menjadi dasarsetiap individu untuk berubah agar menjadi lebih baik dan bermanfaat pada lingkungan sekitarnya. Meminjam istilah Akbar Tandjung, politik itu adalah “panggilan, perjuangan, dan pengabdian”, barangkali inilah gambaran cara berpolitik yang sebenar-benanrya. Proses itu tentunya dijalankan atas dasar kemanusiaan yang adil dan beradab bukan sewenang-wenang, persatuan bukan perpecahan, kerakyatan bukan kemewahan, dan keadilanbagi seluruh rakyat Indonesia. Bukan Politik Machiavelli yang secara eksplisit lebih cenderung pada kedudukan, harta, dan tahtasemata dengan menghalalkan segala carauntukmendapatkan kekuasaan.
Sebagai contoh, Machiavelli menuliskan dalam buku II Principle yang sudah di terjemahkan kedalam bahasa Indonesia, yang di mana tokoh tersebut menasehati sebagai berikut: “Orang yang ingin berbuat baik dalam segala hal pasti akan kecewa begitu berada di antara banyak orang yang tidak baik”. Dengan demikian pesan yang di maksudkan disini yaitu penting untuk menjadi orang yang tidak baik dan melakukan tindakan yang tidak baik dalam segala urusan termasuk mengenai kekuasaan. Artinya politik Machiavellis terlihat begitu kejam bahkan mengarahkan kita untuk menjadi seorang mafia. Mengapa demikian? karena Machiavelli dalam bukunya “Mafia Manajer” memandang bahwa mafia itu adalah kehormatan, pembalasan, dan solidaritas. Politik tersebut sangat konservatif/primitif dengan tidak mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan yang tersirat di dalam Pancasila.
Itulah sebabnya pancasila mengajarkan bahwa dalam setiap gerakan kita harus selalu dipimpin oleh “hikmah”. Hikmah adalah inti dari fenomena dari segala hal yang telah kita pelajari (Hasym Muzadi:2010). Hikmahnya politik adalah penatanegaraan dalam sistem sehingga melahirkan persatuan, kesejahteraan, keadilan, maupu ketertiban bagi masyarakat. Sehingga mereka yang justru berbuat sebaliknya, mensengsarakan, memecah belah, menyedot keuntungan saja, mempolitisir, maka sesungguhnya mereka belum menyerap hikma dibalik dari ilmu politik itu sendiri. Mereka baru sebatas memahami ilmunya saja, tetapi di dalam tindakannya masih jauh dari kata kebijaksanaan. Seandainya hikma dari ilmu politik itu di jalankan, maka politisi dalam posisi ini bisa dakatan sebagai seorang pahlawan, bukan sebagai seorang pemain/mafia.
Oleh karena itu, siapapun yang melakukan cara-cara politik ala Machiaveli dengan menghalalkan berbagai cara misalnya, kelicikan, dusta, kekejaman dan melegalkan tipu muslihat demi mencapai hasrat politiknya makasesungguhnya individu tersebut tidak ada bedanya atau bahakan lebih rendah dari seekor binatang. Secara intelegencia,kelimuan mereka mungkin tidak dapat di ragukan lagi dengan pengalaman yang mereka miliki. Akan tetapi perlu di pahami bahwa mengandalkan ilmu saja belumcukup jika tidak di barengi dengan nilai-nilai kemanusian.Sebab, Ilmu masih bisa goyang dengan kejiwaan seseorangapalagi tidak menyerap hikmah dari politik itu sendiri. Makanya tidak heran mereka yang pandai dalam berpolitik terkadang memiliki sikap yang sebenarnyajustru merendahkan dirinya sendiri. ***
Oleh : Syahril H
Penulis adalah Mahasiswa Magister Manajemen Dan Kebijakan Publik UGM