Pilkada: Saling Memenangkan Antar Paslon & Pendukung

Muhammad Aras Prabowo - Mas Aras
Muhammad Aras Prabowo

Tulisan ini berangkat dari kegeliasan atas fenomena fanatisme dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Hal tersebut kian membawa dampak negative dalam masyarakat, baik saat proses Pilkada maupun pascapilkada. Fanatisme yang berlebihan terkadang menimbulkan konflik fisik dalam Pilkada.

Muhammad Aras Prabowo - Mas Aras
Muhammad Aras Prabowo

Berdasarkan penyenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang teleh dirialisasikan dalam dua gelombang yaituTahun 2015 dan 2017.

Penyelenggaraan pilkada serentak diterapkan karena dipandang lebih efisien dari sisi penyelenggaraan serta dimaksudkan agar stabilitas sosial, politik, dan penyelenggaraan pemerintahan tidak terlalu sering terganggu oleh eskalasi suhu politik dari pelaksanaan pilkada.

Pilkada serentak pada Tahun 2015 diikuti sebanyak 269 daerah dari 9 Provinsi, sedangkan gelombang II. Kemari, tanggal 15/02/2017 telah dilaksanakan Pilkada tahap II yang terdiri dari pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.

Pilkada serentak 2017 ini merupakan pilkada serentak tahap kedua, sebanyak 101 daerah yang berpartisipasi terbagi dari 7 Provinsi. Tahap berikutnya yaitu, 2018, 2020, 2022, dan 2023. Pelaksanaan kedua masih mendapat perhatian dari semua pihak untuk perbaikan pengaturan dan pelaksanaan pilkada serentak selanjutnya. Secara umum pilkada serentak kemarin berjalan baik, meskipun masih ditemukan beberapa masalah seperti, teknis pelaksanaan, indikasi politik uang dan ketegangan antar sesama pendukung akibat fanatisme.

DKI Jakarta yang menjadi salah satu Daerah pelaksanaan Pilkada, menjadi pusat perhatian masyarakat seluruh bangsa ini. Dunia pun turut serta menjadi penonton dalam Pilkada yang berlangsung di Ibu Kota. Bahkan ada yang mengatakan, bahwa pemilihan Gubernur di Jakarta adalah Pilkada rasa Pilpres.

Tensi politik cukup menegangkan ketika salah satu kandidat menjadi sorotan akibat dugaan penistaan Agama. Basuki Tjahaja Purnama mengundang kemarahan salah satu pemeluk agama terbesar di Negara ini ketika Ia melontarkan sebuah kalimat yang dianggap menistakan Agama.

Masalah ini berdampak cukup besar selama Pilkada berlangsung. Terhitung 3 kali aksi demonstrasi besar yang menghadirkan ribuan orang untuk menanggapi masalah tersebut. Masing-masing aksi dilakukan pada tanggal 04/11/2016 (411), 02/12/2016 (212) dan 21/01/2017 (211). Hal tersebut mengerucut menjadi kefanatikan pendukung terhadap calonnya masing-masing. Fanatisme tidak hanya terjadi di DKI saja, tapi di Deaerah yang lain juga mengalami hal yang sama.

Fanatisme tersebut bisa menimbulkan gesekan antar sesama pendukung pasangan calon (Paslon) tidak jarang berujung benturan fisik. Konflik sosial dalam Pilkada harus diantisipasi, keterlibatan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Polri, TNI dan Paslon sangat diperlukan untuk mengantisipasi konflik tersebut. Kesadaran Masyarakat (pendukung) dan Paslon sangat diharapkan dalam menjaga stabilitas keamanan saat Pilkada dan pascapilkada. Paslon perlu membangun loyalitas kepada para pendukung, bukan sikap Fanatisme.

Untuk itu, fanatisme dan loyalitas harus dipahami. Winston Churchill, “Seseorang fanatisme tidak akan bisa mengubah pola pikir dan tidak akan mengubah haluannya”. Bisa dikatakan seseorang yang fanatik memiliki standar yang ketat dalam pola pikirnya dan cenderung tidak mau mendengarkan opini maupun ide yang dianggapnya bertentangan. Ketat dan tidak mau mendengarkan opini menjadi masalah pokok yang menimbulkan gesekan antar sesama pendukung. Berbeda dengan Loyalitas. Menurut Oxford Dictionary adalah mutu dari sikap setia (loyal), sedangkan loyal didefinisikan sebagai tindakan memberi atau menunjukkan dukungan dan kepatuhan yang teguh dan konstan kepada seseorang (Paslon) atau institusi. Loyalitas selalu dikonotasikan dengan sikap baik dan menjunjung tinggi nilai-nilai sportifitas.

Paslon dalam proses Pilkada harusnya membangun sikap loyalitas kepada para pendukungnya. Selain menumbuhkan sikap setia terhadap Paslon, terjaga keharmonisan antara masyarakat baik saat Pilkada berlangsung maupun pascapilkada menjadi salah satu prioritas utama. Pemahaman ini yang harus dijunjung tinggi oleh setiap Paslon. Jelas bahwa sikap fanatisme sangat merugikan para pendukung, akibatnya akan memutuskan tali silaturahim antar Masyarakat bahkan sesama keluarga. Karena sikap fanatisme, saudarah pun bisa jadi musuh.

Olehnya itu, kemenangan tidak hanya dilihat perolehan suara terbanyak kepada Paslon. Pada hakekatnya bagaimana kemenagan tersebut tetap menjaga keharmonisan dan silaturahim dalam bermasyarakat.

Artinya, Masyarakat memenangkan Paslon dengan memberikan suara sebanyak-banyaknya dan Paslon memberikan kemenangan kepada Masyarakat dengan tetap menjaga keharmonisan antar sesama masyarakat. Menurut Arif Gadjong salah seorang Politisi asal Sulawesi Selatan mengatakan bahwa “Jika Pilkada menyebabkan putusnya silaturrahim, maka anda gagal memenangkan semua hal”

 

Oleh Muhammad Aras Prabowo
Penulis Merupakan Kader PMII RE UMI Makassar

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini