ZONASULTRA.COM, RAHA – Kampus Akademi Keperawatan (Akper) Muna, Sulawesi Tenggara (Sultra) ternyata menyimpan sekelumit persoalan. Mulai dari kepengurusan yang tersandung kasus hukum hingga sistem penerapan belajar mengajar di kampus yang dinahkodai La Ondo itu dinilai serampangan.
Tak jelas, dan dianggap hanya memeras. Begitulah uneg uneg 24 mahasiswi Akper yang didampingi orangtua mereka, saat mengeluhkan nasib mereka kepada sejumlah anggota DPRD Muna, Senin (1/10/2018).
“Kami dimintai sejumlah uang yang tidak jelas peruntukannya. Sepertinya, kampus hanya dijadikan mesin ATM. Harusnya Pemda mengangkat direktur yang kompoten. Jangan sebaliknya,” terang, Intan Irianti Endang salah satu mahasiswi Akper Muna.
Kampus yang telah menelorkan ribuan alumni tersebut, sempat bermasalah hukum dengan kepengurusan lama hingga diambil alih pemerintah setempat. Alih alih membaik, nama baik kampus justru kian tak jelas bahkan keluhan itu datang dari mahasiswinya sendiri.
Kredibilitas kampus pun dinilai kian memburuk, dinilai tak menjamin masa depan dari para alumninya.
Pekan lalu, kata mahasiswi semester V itu, pihak kampus mengadakan praktek Skill Lab dengan meminta sejumlah uang sebanyak Rp 150 ribu, padahal fasilitas lab dalam kampus ada. “Kami sudah membayar, tapi sudah dua pekan ini, tak ada praktek. Bahkan setiap ada kegiatan, kita diwajibkan bayar Rp 100 ribu semua tingkatan. Tapi, kegiatannya tak jelas,” urainya.
Intan bahkan merinci soal praktek di rumah sakit, mereka dibebankan sebesar Rp 600 ribu, di Kendari Rp 5 juta dan di Jawa Rp 8 juta. “Padahal praktek masih bisa diadakan di Raha, karena alatnya masih ada. Kami mahasiwa hanya ingin belajar tidak butuh pelesiran yang tidak berguna,” cetus Intan.
Masalah pun kian kompleks setelah Riskal mahasiswi angkatan 2016 membeberkan sejumlah persoalan yang dihadapi kampus tersebut. “Keadaan kampus kami sangat kumuh, seperti kandang sapi. Tak terurus padahal pembayaran mahasiswi lancar,” keluhnya.
Selain itu, kata Riskal para tenaga pengajarannya tak memiliki nomor induk nasional. Padahal itu juga sebagai syarat untuk mengajar. “Birokrasi kurang stabil. Pengajar datang pukul 09.00 wita. Sementara, jadwal perkuliahan jam 07.30,” ulasnya.
Bahkan ungkap Riskal, di tahun pelajaran 2017 lalu seharusnya tak ada lagi penerimaan mahasiswa. Hal itu, berdasarkan perselisihan dengan pengurus lama. Kesepakatannya, hanya menyelesaikan angkatan 2016 saja.
“Faktanya kampus tetap menerima mahasiswa dengan beban uang masuk diwajibkan bayar Rp 1,5 juta. Info dari Kopertis, Akper Pemkab Muna sudah tidak ada. Sudah empat kali dibuka uji kompetensi mendapatkan STR, namun Akper di Muna tak diikutkan. Ini artinya, Akper tak ada lagi. Mumpung semester ganjil, siapa tau, kami masih bisa integrasi ke kampus yang lain,” pintanya.
Dirinya mengaku tak tahu lagi mau buat apa. “Perjelas status kami. Mudahan-mudahan, DPRD segera bertindak,” timpalnya.
Sementara itu, Ketua DPRD Muna, dr Rajab sudah mencatat apa yang menjadi keresehan mahasiswa. Pihaknya bakal memanggil instansi terkait hal itu. “Besok Selasa, kami akan panggil Dinkes,untuk dibahas bersama apa yang jadi keluhan,” tandasnya. (A)
Reporter : CR5
Editor : Kiki