Di awal masa pandemi segala bentuk aktifitas yang bersinggungan dengan dunia luar yang melibatkan orang banyak dianggap sebagai ‘aib baru’, seperti kerumunan di pasar, aktivitas nongkrong di warung kopi, dan lain-lain.
Bukan tanpa alasan, ketika orang-orang melihat perkumpulan massa seperti ini, semacam ada trauma mengingat laju infeksi virus yang masif dan tidak terjangkau. Sehingga membuat setiap individu selalu mawas.
Tak pelak dalam situasi seperti ini terjadi pergeseran kebiasaan, buah dari pandemi yang mengharuskan menjaga jarak aman. Ibarat sebuah phobia, melihat kerumunan adalah sesuatu yang harus dihindari. Dogma non lisan ini seolah telah mengakar bahwa di sana adalah tempat bersarang virus.
Tapi situasi ini berlangsung temporari. Sementara saja. Setelah istilah kenormalan baru hadir di tengah publik ibaratnya sebagai ‘mantra’, pobia kerumunan tadi seperti hilang. Tak berjejak dan dilupakan berkat mantra ini.
‘Mantra’ kenormalan baru ini seperti sebuah sistem imun sosial yang dinantikan masyarakat banyak setelah ‘berpuasa’ selama tiga bulan dalam rumah. “Sekarang sudah bisa beraktivitas di luar rumah, kan sudah new normal”. Obrolan selayang pandang dari akar rumput yang akrab hinggap di telinga.
Lantas, keriuhan yang terjadi di tengah masyarakat mengapa bisa terjadi?
Saat ini setiap rumah, baik kontrakan maupun maupun di ruang-ruang terbuka seperti rumah makan, hampir ditemui televisi yang tiap saat menginformasikan seputar pandemi secara berkala. Setiap chanel ambil bagian atas informasi tersebut. Fakta dan opini menjadi kabur, hoaks dan realitas tampak samar.
Kemudian apa yang terjadi?
Mindset masyarakat seperti terkultivasi, seperti terpupuk bahwa seolah ‘dunia sebentar lagi akan kiamat, bahwa seloah kematian sudah dekat’. Informasi yang bersumber dari televisi seperti hantu yang membawa kabar buruk.
Kembali pada ‘mantra’ kenormalan baru. Saya melihatnya sederhana, masyarakat saat ini tidak butuh vaksin apalagi embel-embel serangkaian test sebagai prasyarat untuk beraktivitas atau bepergian keluar daerah. Andai saja pemerintah mengambil langkah yang sedikit lebih ‘radikal’ dengan membuat wacana bahwa pandemi telah selesai.
Selanjutnya upaya pemberitahuan kepada publik luas secara masif dilakukan serentak dan kompak melalui televisi dan semua perangkat media massa maupun media sosial, rutin selama tiga bulan, mungkin keriuhan akan berbalik menjadi keteduhan.
Tadinya keriuhan terjadi akibat kecemasan masal, berubah menjadi kegembiraan saat menyambut kabar gembira tentang berakhirnya virus yang selama ini menghantui masyarakat.
Seandainya !!!
Oleh : Dasmin Ekeng
Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi/Jurnalistik Fisipol UHO