OPINI : Pertengahan tahun 2000-an, ada sebuah situs pertemanan yang begitu populer. Namanya Friendster. Bagi yang mencari teman lawan jenis, hal paling menarik setelah usia dan foto profile adalah status seseorang. Lajang atau sudah menikah. Kita masih menemukan satu jenis status lagi, “complicated”. Secara leksikal diartikan dengan “rumit”. Sulit untuk menafsirkan seperti apa statusnya. Banyak sekali kemungkinan. Makanya, Friendster menyederhanakannya dengan kata complicated.
Pada gelaran pilkada serentak di Indonesia, Pilkada Buton boleh dikata salah satu pilkada yang complicated. Bahkan very complicated. Sangat kompleks. Dimulai dari dinamika proses pencalonan yang jadwalnya terpaksa diperpanjang. Berakhir dengan pasangan calon tunggal melawan kotak kosong. Belum cukup dengan itu. Calon bupatinya –Samsu Umar Abdul Samiun– ditetapkan tersangka dugaan suap pilkada lima tahun lalu yang dimenangkannya. Lalu, ceritanya sudah sama kita tahu, Umar Samiun, sapaan akrab politisi kawakan Sultra ini, telah ditahan KPK sejak, Rabu malam, 25 Januari 2017.
Seperti bola karambol, penahanan Umar Samiun pada gilirannya menciptakan kerumitan tersendiri bagi calon wakil bupatinya, La Bakry. Mari kita runut satu-satu posisi “enak-tidak enak” La Bakry atas situasi ini. Pertama, dia berkampanye –di sisa waktu yang tersedia– sendirian. Sebagai orang “nomor dua” yang tiba-tiba menjadi tulang punggung kontestasi politik, hal ini merupakan realitas yang berat. Secara tradisional, preferensi pemilih lebih mempertimbangkan figuritas kosong satu ketimbang kosong dua. Sedikit banyaknya kondisi itu bakal mereduksi dukungan.
Kedua, tema-tema kampanye yang dibangunnya terdistorsi oleh isu suap yang melilit Umar Samiun. Bahkan sebelum Umar Samiun ditahan, isu itu laksana peluru kendali yang terus ditembakkan oleh lawan politiknya –kendati frase “lawan politik” dalam konteks pilkada di Buton tidak bisa ditafsirkan sebagai rival-kompetitor.
Makna lawan politik di sini sangat multi dimensional. La Bakry menghadapi begitu banyak lawan, mengingat pesaingnya adalah kotak kosong. Semua elemen yang resisten terhadap pasangan Umar-Bakry adalah lawan politik. Sebetulnya, ini semacam “kutukan” politik, mengingat begitu kompleksnya kelompok rival, padahal yang dilawan “hanyalah” kotak kosong. Jadi, jangan main-main dengan kotak kosong.
Ketiga, agenda kampanye lainnya yang difasilitasi KPUD dalam bentuk debat publik terasa menjadi lucu karena calon tunggal telah menjadi benar-benar tunggal. La Bakry tunggal dan sendirian. KPUD Buton telah menjadwalkan kampanye pada 2 Februari 2017 dan kepastian apakah Umar Samiun akan hadir dalam debat publik sangat tergantung dari keputusan KPK yang menahannya. Jika Umar Samiun absen, debat itu akan terlihat seperti “tes wawancara” antara La Bakry dengan panelis. Paling tidak menyerupai “pemaparan visi misi”. Bukankah, tidak ada lawan debat?
Meskipun demikian, situasi tidak enak yang dihadapi La Bakry di atas, bisa berbuah “manis” jika pasangan “Umar-Bakri” memenangkan pilkada, dan Umar kemudian divonis bersalah dengan ancaman pidana di atas lima tahun. Dalam hal ini, Umar bisa saja tetap dilantik sebagai bupati terpilih, tapi kemudian direkomendasikan untuk dinonaktifkan mengingat dia telah divonis bersalah. Selanjutnya, La Bakry akan melenggang sebagai bupati definitif.
Keempat, apakah dia tetap total untuk memenangkan pilkada ataukah dia justru mengendurkan energinya dan membiarkan kotak kosong unggul, yang selanjutnya pilkada akan berpeluang di-restart. Dari sana dia bisa memilih, apakah ikut lagi atau justru tak lagi berpartisipasi. Masing-masing punya penjelasan. Jika ikut, dapat dimaknai bahwa dia sedang berusaha membersihkan diri dan keluar dari bayang-bayang Umar Samiun dan meretas jalannya sendiri menuju orang nomor satu di Buton. Jika tak lagi ikut, bisa diinterpretasi bahwa La Bakry lebih memilih kehidupan yang tenang. Hal ini beralasan, mengingat La Bakry terlihat sebagai politisi yang tidak terlalu berambisi dan cenderung menghindari konflik.
Tetapi kemungkinan paling rasional yang ditempuh La Bakry saat ini adalah bersikukuh melanjutkan pertarungan tanpa kehadiran Umar Samiun. La Bakry punya alasan kuat di balik keputusannya untuk habis-habisan. Dia adalah penerima “bola muntah”. Jika menang, dia berpeluang besar untuk menjadi bupati, bukan hanya wakil. Tentunya, situasi ini sudah diperhitungkan oleh Umar maupun La Bakry. Bahkan pemilih pun memahaminya.
Di sinilah letak kesulitan La Bakry memilih wacana dalam rangka meyakinkan pemilih. Tetap membawa-bawa nama Umar Samiun sebagai vote getter dengan segala konsekuensi yang melekat padanya. Ataukah dia membawa agendanya sendiri. Menjual dirinya sendiri. Membesarkan dirinya sendiri. Ini posisi yang kata almarhum Sutan Bhatoegana, “ngeri-ngeri sedap”. ***
Oleh : Andi Syahrir
Penulis adalah Alumni Pascasarjana UHO & Pemerhati Sosial