ZONASULTRA.COM, WANGGUDU – Proyek pengaspalan jalan di desa Awila hingga Tapunggaya, Kecamatan Molawe, Kabupaten Konawe Utara (Konut), Sulawesi Tenggara (Sultra) yang dikerjakan oleh PT Mitra Kumala selaku kontraktor rekanan tahun 2016 lalu terindikasi korupsi.
Anggota Lembaga Bantuan dan Penegakan Hukum (LBPH) Sultra Sutarno mengatakan, proyek yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) senilai Rp 3.9 miliar pada satuan kerja (Satker) Dinas Pekerjaan Umum dan Peruhaman Rakyat (PUPR) Konut itu tidak sesuai dengan volume rencana awal pembangunannya.
Sutarno menjelaskan, indikasi korupsi pada proyek itu terungkap setelah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Sultra melakukan audit dan menemukan kerugian negara sebesar Rp.1 miliar lebih.
“Didalamnya ada volume pekerjaan yang terlaksana lebih kecil dibandingkan dengan volume dalam kontrak sebesar Rp.760,6 juta,” kata Sutarno, Jumat (29/9/2017).
Katanya, pekerjaan yang dilaksanakan sejak tanggal 13 Juni hingga 9 Desember 2016 itu sesuai surat perjanjian dengan kontrak nomor 620/E04/SP-PPK/DPU-KONUT/VI/2016. Dimana dalam pengerjaannya, diketahui terjadi kekurangan volume pada pekerjaan lapisan pondasi agregat Kelas A dan Kelas B.
Mestinya, ketebalan lapisan pondasi Kelas A dan B adalah 15 centi meter (cm). Namun pihak kontraktor hanya melakukannya masing-masing setebal 7,5 cm. Sehingga volume terlaksana A dan B adalah 837,5 meter kubik (7,5/15×1.747,2 meter kubik). Dimana terjadi kekurangan volume lapisan pondasi kelas A dan B sebesar Rp.138,35 meter kubik (1.747,2 meter kubik-537,5 meter kubik).
“Berarti disini ada niatan untuk mengurangi pekerjaan. Indikasinya kan pasti ke arah sana,” ungkapnya.
Masih kata Sutarno, belum lagi dalam kontrak pekerjaan tersebut pihak kontraktor semestinya melakukan pekerjaan drainase. Namun hal tersebut dikurangi pekerjaannya.
Dia menambahkan, BPK juga menemukan realisasi pembayaran atas biaya yang tidak dibutuhkan dan tidak dilaksanakan pada pekerjaan galian saluran drainase dan saluran air, pekerjaan lapisan agregat kelas S dan lapisan pondasi agregat kelas B sebesar Rp.62,6 juta.
“Untuk saluran drainase yaitu sirtu dan menggunakan alat berat bulldoser. Biaya ini tidak dilaksanakan. Sirtu itu mereka (Kontraktor) ambil langsung materialnya dari sungai Awila tanpa di beli,” katanya.
Sutarno menjelaskan, selain pihak kontraktor, Dinas PUPR selaku instansi tekhnis juga harus bertanggungjawab atas indikasi korupsi tersebut karena lalai dalam melakukan pengawasan sehingga menimbulkan kerugian negara.
Sementara itu, pelaksana tugas (Plt) Kepala Dinas PUPR Konut Rahmatullah belum dapat dikonfirmasi terkait persoalan tersebut. Beberapa kali awak media ini menyambangi kantornya, namun pimpinan di instansi tersebut tidak berada di tempat. (A)
Reporter: Murtaidin
Editor: Abdul Saban