Pulau Wawonii dalam Ancaman Kegiatan Pertambangan

Erdin Tahir
Erdin Tahir

“Jangan karena ingin mendapatkan keuntungan secara ekonomi akan tetapi mengancam kondisi lingkunganyang akan merugikan generasi saat ini terlebih merugikan generasi yang akan datang”

Berangkat dari lagu ‘Aku Papua’ciptaan Franky Sahilatua, menggambarkan kondisi tanah Papua tanah yang kaya, ibarat surga kecil jatuh kebumi, maka lirik lagu ini dapat pula dinyanyikan untuk pulau kecil Wawonii yang kaya atas sumberdaya alam di Bumi Anoa, saat ini surga kecil tersebut dimanfaatkan untuk aktifitas tambang guna mengeruk nikel di perut bumi Wawonii.

Tulisan ini akan menyampaikan terkait aspek hukum aktifitas pertambangan yang dilakukan di pulau-pulau kecil seperti di Kabupaten Konawe Kepulauan (PulauWawonii), dapat atau tidaknya kegiatan pertambangan dilakukan di pulau-pulau kecil seperti Pulau Wawonii, kemudian akan memberikan contoh pulau-pulau kecil lainnya yang dilarang melakukan aktifitas pertambangan (contoh putusan pengadilan membatalkan IUP di pulau-pulau kecil), kemudian melihat dampak yang mungkin akan terjadi, serta hak masyarakat guna menegakan hukum dan akses keadilan.

Konawe Kepulauan, Pulau Kecil di Bumi Anoa

Pemekaran Konawe Kepulauan boleh dibilang sebagai Rahmat buat masyarakat wawonii, Sebelum mekar jadi kabupaten baru, pulau kecil Wawonii merupakan bagian dari wilayah administrasi Kabupaten Konawe. Tahun 2013 Wawonii di bentuk jadi daerah otonom baru (DOB) dengan nama Konawe Kepulauan dibentuk berdasarkan UU No. 13 Tahun 2013. Dengan Ibu Kota yang berkedudukan di Langara Kecamatan Wawonii Barat, memiliki luas wilayah keseluruhan ±867,58 km2  yang terdiri atas 7 (tujuh) kecamatan.

Bisakah Perut Bumi di Pulau Wawonii dilakukan Penambangan?

Untuk mejelaskan terkait hal ini, penulis akan menyajikannya berdasarkan hukum atapun peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena Wawonii merupakan kategori pulau kecil tentunya kita mesti berangkat dari UU No. 27 tahun 2007 yang telah diubah dengan UU No. 1 tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Menurut UU ini, kategori pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi), kemudian Pulau Wawonii memiliki luas wilayah keseluruhan ±867,58 km2 sehingga jelas Pulau Wawonii merupakan zonasi pulau kecil di Sulawesi Tenggara.

Perlu diketahui bahwa UU No. 27 tahun 2007 Jo. UU No 1 Tahun 2014, telah menyebutkan secara tegas bahwa Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan hanya untuk kepentingan konservasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, budi daya laut, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan serta industri perikanan secara lestari, pertanian organik, peternakan, dan/atau pertahanan dan keamanan negara (Pasal 23 ayat 2).

Pertanyaannya kemudian, bagaimana dengan sektor pertambangan, apakah bisa dilakukan di Pulau Kecil seperti di Wawonii? Dimana sektor pertambangan tidak disebutkan sebagai salah satu sektor yang harus dimanfaatkan di pulau-pulau kecil seperti Pulau Kecil Wawonii.Maka untuk menjawab pertanyaan ini secara tegas UU No 27 Tahun 2007 Jo. UU No. 1 Tahun 2014 telah menyebutkan bahwa Pulau-Pulau Kecil tidak dipriotitaskansebagai kegiatan pertambangan. Dalam hal ini UU tidak mengamanatkan pertambangan sebagai prioritas pemanfaatan di Pulau Wawonii.

Karena Pulau Wawonii tergolong sebagai pulau kecil, maka tujuan pengelolaannya wajib berdasarkan ketentuan Pasal 4 huruf (a) UU No. 27 Tahun 2007 Jo. UU No. 1 Tahun 2014 yaitu tujuan melindungi (bukan merusak ekologisnya), mengkonservasi (bukan mengeksploitasi tambang mineral nikel yang bersifat menghancurkan atau mengubah fungsi ekologis Pulau Wawonii), merehabilitasi (jika sebelumnya telah timbul kerusakan pulau), memanfaatkan untuk pariwisata, perikanan, dan pertanian atau kegiatan lainnya yang secara ekologis bersifat berkelanjutan), dan memperkaya Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan. Pada pokoknya tujuan pengelolaan Pulau Wawonii sebagaimana ketentuan Pasal 4 huruf (a) tersebut tidaklah boleh mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam yang nyata-nyata bertentangan dengan tujuan melindungi, mengkonservasi, merehabilitasi pulau Wawonii sebagai pulau kecil;

Larangan penambangan di pulau kecil seperti Pulau Wawonii juga pernah terjadi di Pulau Bangka, Kecamatan Likupang Timur Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Dimana pulau Pulau Bangka tergolong sebagai pulau kecil, yang memiliki sumber daya mineral Biji Besi yang dikelola oleh PT Mikgro Metal Perdana (MMP), kemudian masyarakat menggugat PT MMP dan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, oleh karena pulau Bangka termasuk pulau kecil maka majelis hakim membatalkan IUP PT MMP sebagaimana Putusan Nomor: 211/G/2014/PTUN-JKT Jo. Putusan MA Nomor 225 K/TUN/2016.

Larangan UU VS Kenyataan Pertambangan di Pulau-Pulau Kecil Seperti Halnya Wawonii?

Perlu untuk diketahuimengapa UU melarang penambangan akan tetapi kenyataannya tetap ada penambangan di Pulau-Pulau Kecil seperti halnya dilakukan di Pulau Wawonii.Dilegitimasinya kegiatan penambangan di Pulau-Pulau Kecil, pintu masuknya melalui Peraturan Daerah (Perda) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K), sebagai acuan setiap provinsi dalam mengelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, termasuk kawasan pengelolaan umum seperti halnya Pertambangan.Kemudian pintu masuk yang lain melalui peruntukan wilayah pertambangan diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW). Selama Perda RTRW mengatur bahwa di pulau kecil pada wilayah tersebut bisa dilakukan pertambangan, maka izin bisa diterbitkan.

Bagaimana dengan Wawonii? Apakah pulau sekecil wawonii juga diperuntukan untuk kegiatan pertambangan, dan apakah RTRW Wawonii mengatur terkait wilayah-wilayah mana saja yang dapat dimanfaatkan kegiatan penambangan. Maka semestinya Pemerintah Daerah memberikan Informasi terhadap masyarakat Wawonii terkait dengan RZWP3K dan RTRW Konawe Kepulauan. Kemudian perlu penulis sampaikan kepada para pembaca yang budiman, bahwa berdasarkan penelusuran penulis terkait Tata Ruang Konawe Kepulauan, menyebutkan bahwa Kegiatan Pertambangan di Konawe Kepulauan hanya dapat dilakukan di Wawonii Barat, Wawonii Tengah dan Wawonii Tenggara, selebihnya sebagai kawasan konservasi, kawasan strategis nasional dan alur laut.

Kemudian penelusuran penulis juga menemukan Rancangan Perda RZWP3K Provinsi Sulawesi Tenggara, menyebutkan bahwa Konawe Kepulauan bukan termasuk dalam Zonasi Pertambangan, untuk menguji kebenaran ini maka Pemda harus memberikan informasi terkait hal ini kepada masyarakat, karena ini merupakan amanat UU No 27 Tahun 2007 Jo. UU No. 1 Tahun 2014 bahwa masyarakat berhak memperoleh informasi berkenaan dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Pasal 60 huruf (f));

Perlu penulis tegaskan kembali bahwa UU No 27 Tahun 2007 Jo. UU No. 1 Tahun 2014 disebutkan dalam pasal 35huruf (k) bahwadalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya.

Kemudian juga Pasal 134 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menyebutkan bahwa kegiatan pertambangan tidak dapat dilaksanakan pada tempat yang dilarang untuk melakukan kegiatan pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena UU No 27 tahun 2007 Jo. UU No. 1 Tahun 2014 melarang melakukan penambangan di pulau-pulau kecil maka hal ini berlaku pula terhadap Pulau Wawonii.

Dilarangannya melakukan penambangan di pulau-pulau kecil seperti Wawonii karena dampak tambang di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil terbukti menghancurkan ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil sekaligus menghancurkan kehidupan masyarakat pesisir yang sangat tergantung pada sumberdaya kelautan dan perikanan serta konflik sosial yang berujung pada pelanggaran HAM bahkan pernah terjadi ditembak aparat keamanan seperti dialami para demonstran warga dan mahasiswa mendesak pencabutan izin tambang di pulau Wawonii.

Selain itu, akibat yang akan terjadi nanti, hutan di Pulau Wawonii tidak saja akan rusak atau kehilangan fungsi pokok kawasan hutannya tetapi berpotensi lenyap dan hampir tidak mungkin direhabilitasi guna memenuhi ketentuan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, yaitu mengembalikan fungsi pokok kawasan hutan di Pulau Wawonii.

Kemudian juga ekosistem atau kelestarian atau kesinambungan lingkungan untuk mendukung kehidupan di Pulau Wawonii berpotensi terganggu atau rusak secara permanen. Kemudian terjadi kerusakan sektor perikanan, kerusakan sektor pertanian, kerusakan sektor pariwisata, kerusakan terumbu karang, bahkan akan berpotensi terhadap sumber mata pencaharian para petani/berkebun maupun nelayan-nelayan tradisional, sehingga dapat dikatakan bahwa masuknya perusahaan tambang di Wawonii bukannya untuk mendapatkan keuntungan ekonomi justru akan merugikan masyarakat dan lingkungan akibat masuknya pertambangan yang tidak sesuai dengan amanat UU.

Bolehkah Masyarakat Menggugat dan Menuntut Ganti Kerugian?

Pada dasarnya UU telah memberikan perlindungan terhadap masyarakat guna memperjuangkan apa yang menjadi hak-haknya. Apabila terjadi masalah di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil seperti halnya di Wawonii masyarakat dapat melakukan gugatan di Pengadilan baik disertai dan/atau tanpa tuntutan ganti kerugian. Jika masyarakat mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan akibat aktifitas pertambangan maka dapat dilakukan gugatandi Pengadilan.

Gugatantidak hanya di tujukan kepada pelaku usaha pertambangan saja, akan tetapi pemerintah juga dapat digugat. Gugatan ini didasarkan kepada perbuatan melawan hukum oleh pemerintah, karena kebijakan atau perbuatannya dianggap gagal untuk melindungi masyarakat dan/atau lingkungan hidup, serta gagal melakukan pengawasan dan penegakan hukum. Atas dasar ini maka pemerintah dianggap telah gagal menunaikan kewajiban hukumnya.

Bukan saja dapat digugat di Pengadilan, penambangan di pulau-pulau kecil memiliki sanksi pidana salah satu sanksinya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) setiap Orang yang dengan sengaja melakukan penambangan mineral yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya.

Akhir dari tulisan ini, penulis ingin menyampaikan bahwa kondisi lingkungan yang dirasakan oleh generasi saat ini harus juga dapat dirasakan oleh generasi yang akan datang. Jangan karena ingin mendapatkan keuntungan secara ekonomi akan tetapi mengancam kondisi lingkungan/sosial yang akan merugikan generasi saat ini terlebih merugikan generasi yang akan datang. Maka hal yang paling utama perlu saya katakan adalah “Biarkan Rakyat Jadi Tuan di Tanahnya Sendiri”.

Catatan: Tulisan ini adalah hanyalah pandangan pribadi, tidak mewakili lembaga manapun.

 

Oleh: Erdin Tahir
Penulis Merupakan Alumni Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini