Tulisan ini terinspirasi atau lebih tepatnya MENULISKAN ULANG isi dalam novel berjudul “Pasar” yang dikarang oleh sastrawan Kuntowijoyo. Saya pertegas, saya MENULISKAN ULANG isi novel Kuntowijoyo.
Jika ada kata atau kalimat tambahan yang tersisip atau kalimat yang dibolak-balik sehingga berbeda dengan naskah asli yang ada dalam novel, itu hanyalah upaya saya untuk menjahitnya agar tetap bertaut.
Topik dari penggalan novel ini menyangkut empat kata di atas yang dijelaskan dalam kalimat sederhana tapi dengan makna yang begitu dalam. Kuntowijoyo membicarakan hal-hal filosofis dengan cara yang ringan. Mari, kita mulai: menjahit.
Tatkala melihat sebuah perbedaan yang begitu ekstrim di antara dua atau beberapa hal, secara spontan orang-orang akan akan berkata, “perbedaannya seperti siang dan malam”. Itu tidak tepat. Siang dan malam sesungguhnya adalah satu. Sama. Keduanya sama-sama hari. Malam hari dan siang hari. Hanya soal urutan saja. Sesudah malam siang akan datang.
Tidak perlu terlalu mengkhawatirkan perbedaan itu. Kesusahan adalah karena pikiran kita sendiri. Juru penghibur yang sejati ialah diri kita sendiri. Makna hidup itu tidak pada yang sekarang tetapi pada yang kemudian.
Kalau kita berpikir bahwa yang menyusahkan itu juga membahagiakan, kita akan menyerah. Mungkin sekarang engkau disusahkannya, tetapi kemudian, setelah dalam jangka yang panjang, engkau tahu bahwa engkau sebenarnya berbahagia pada waktu dulu itu. Nah, ada rahasia yang kita tidak tahu. Hidup itu penuh rahasia. Maka tenangkan hatimu.
Hidup kita pusatnya di hati. Yaitu, bagaimana engkau memahami. Kita punya akal. Kita gunakan akal untuk mencari uang, untuk mencari pangkat. Tetapi ketahuilah itu baru satu syarat bagi hidup. Jangan campur adukkan antara pelengkap hidup dan hakikatnya. Yang penting ialah rasa.
Rasa itu di sini letakanya. Pusat engkau bernapas. Pusat peredaran darahmu. Kalau kau takut engkau gemetar, di situlah rasa. Kalau kau senang dia berdebar, sebab di situlah rasa. Kebahagiaan ialah rasa itu. Bukan akal.
Kalau kebahagiaan itu akal, tentulah orang sedikit saja yang berbahagia, dan yang tidak punya akal boleh membunuh diri. Tidak. Dan untuk memiliki ketajaman rasa, itu sulit-sulit-mudah. Mempertajam akal ada alatnya. Engkau bisa ke sekolah belajar berhitung dan ilmu alam. Tetapi memperdalam rasa?
Uh. Hanya dengan meresapkan hiduplah jalannya. Beruntunglah, karena rasa itu bukan milik orang pandai saja atau orang kaya saja. Ia dapat dimiliki oleh siapa saja yang mau mencari. Mudah-mudah sukar? Ya. Kalau engkau tidur, lenyaplah akalmu. Tetapi engkau tidur pun rasamu masih sadar. Sebab, ia tak pernah lengah.
Engkau dapat takut dalam mimpi, dapat senang dalam tidur. Itu rasa. Tetapi coba. Dapatkah engkau menghitung-hitung pendapatan karcis pasar dalam tidur? Tentu tidak. Rasa selalu terjaga. Ia adalah milik kita yang abadi. Bahkan ia akan kita bawa sesudah mati.
Sekarang apakah rasa itu dapat kita kuasai atau tidak. Itu soalnya. Berbahagialah mereka yang dapat menguasai rasa. Semua orang punya rasa, seperti semua orang yang punya napas. Hanya sedikit orang yang mempunyai kekuatan untuk menguasai napasnya. Begitu juga rasa.
Semua punya, tapi tetapi sebagian dikuasai rasa, sebagian menguasai rasa. Engkau mesti masuk orang yang menguasai rasa itu. Rasa harus dikuasai dan ditajamkan. Banyak orabng membunuh rasa dengan macam-macam cara.
Dengan mengrejar uang, mengejar pangkat, mengejar kesenangan. Kekayaan, kedudukan, kekuasaan, kepandaian, dapat mematikan rasa. Mati rasa berarti hilang kemanusiaan kita. Hidup ialah bagaimana kita merasakan sesuatu. Bukan bagaimana kita memiliki kemewahan, kekuasaan, kekayaan.
Sekarang ini orang mengatakan zaman maju. Tetapi apakah kemajuan itu? Majunya akal? Majunya kemewahan? Orang bilang dapat menguasai alam. Siapakah yang bisa mengatakan telah menguasai dirinya?
Kebanyakan kita masih dikuasai nafsu. Betul, nafsu itu ialah bagian kita yang tak terpisahkan, tetapi hendaknya kita kuasai. Perang? Keonaran? Perkelahian? Dengki? Itulah nafsu. Nafsu mesti tunduk pada akal, dan akal mesti tunduk kepada rasa. Kalau tidak demikian, kita akan menjadi mesin. Mesin pencari uang, mesin pencipta kekuasaan, mesin penetas pangkat.***
Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial