Rebranding Kota Kendari

139
Perpustakaan, Google, dan Daun Kelor
Andi Syahrir

Seorang pemandu wisata yang memandu kami di Kota Semarang, ngomong lugas. Bahwa dibanding kota-kota di Pulau Jawa lainnya, ibukota Jawa Tengah itu kurang memiliki daya tarik. Terutama menyangkut lokasi-lokasi yang punya daya tarik kultural.

Termasuk kulinernya. Makanan yang ada di Semarang, sama seperti makanan yang ada di daerah lain di Pulau Jawa.

Praktis, sedikit sekali tempat-tempat yang bisa dikunjungi. Salah satunya, Lawang Sewu, gedung bersejarah milik PT Kereta Api Indonesia (Persero) yang dibangun Belanda pada tahun 1904. Kedua, Kota Lama, suatu kawasan pusat perdagangan zaman Belanda, yang gedung-gedungnya masih dilestarikan.

Ketiga, Kelenteng Sam Poo Kong, sebuah peninggalan sejarah yang merupakan simbol akulturasi budaya Cina dan Jawa. Sekaligus situs yang menjadi penanda jejak perjalanan Laksamana Cheng Ho, penjelajah dunia asal Cina. Di luar itu, Semarang seperti kota-kota umumnya, yang tumbuh di peradaban modern.

Pada tiga tempat inilah, wisatawan yang ke Semarang selalu dibawa. Di masa sebelum Covid-19, Semarang bukanlah tujuan wisata utama. Apalagi setelah pandemi, yang merontokkan destinasi utama wisata sekalipun seperti Bali.

Laporan Indonesia Millenial Report 2020, Kota Semarang hanya berada di urutan ke-7 sebagai pilihan destinasi wisata. Hanya menjadi pilihan Generasi Z dan Junior Y. Yogya menjadi yang teratas karena dipilih oleh seluruh generasi.

Tahun 2019, Walikota Semarang Hendrar Prihadi membentuk Badan Promosi Pariwisata Kota Semarang (BP2KS). Namun, belum berbuat banyak, dunia dihajar pandemi Covid-19.

Pasca pandemi, ada peningkatan kunjungan wisata. Walikota yang karib disapa Hendi oleh warganya itu dilirik Jokowi. Dinilai sukses membangun Semarang. Diangkat jadi Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), 10 Oktober lalu.

Karangan bunga ucapan selamat atas jabatan barunya tampak dimana-dimana di seluruh penjuru kota. Dari berbagai kalangan. Sepertinya Hendi memang disenangi warganya.

Dari titik-titik kunjungan wisata di Semarang itu, saya memikirkan Kota Kendari. Apa yang bisa menjadi tujuan wisatawan di kota ini sebelum mereka bergerak ke destinasi wisata di wilayah Sultra lainnya. Secara teoritis, daya tarik wisata itu menyangkut apa yang dilihat, apa yang dilakukan, apa yang dibeli, bagaimana cara kesana, dan bagaimana tinggal di sana.

Kita punya wisata alam di Kendari untuk dilihat. Setidaknya ada Kebun Raya Kendari dan Pantai Nambo. Ada kawasan lintas daerah yang secara geografis dekat dengan Kendari, yakni Pantai Toronipa dan Pulau Bokori.

Kita juga punya potensi sosial budaya, yang dapat dikemas menjadi apa yang bisa dilihat, dilakukan, sekaligus dibeli pada saat yang bersamaan. Tari Lulo bisa menjadi inspirasi kita untuk mengemas sebuah event budaya, semisal Festival Lulo.

Saya membayangkan Festival Lulo dilaksanakan dalam momentum peringatan HUT Kendari. Setiap tahunnya. Siapapun walikotanya. Namanya tetap Festival Lulo. Sehingga menjadi branding tersendiri, selain gelar selama ini, “Kendari Kota Bertaqwa”.

Festival berlangsung seminggu penuh. Menampilkan adat dan budaya setempat. Pameran maupun lomba. Pakaian, benda dan peralatan adat, serta makanan khas. Dan tentu saja, di acara puncak, Molulo bersama yang diikuti ribuan orang. Festival Lulo dikemas sebagai kampanye budaya.

Begitulah, karena Kendari tidak punya situs seperti Borobudur, tidak punya kelenteng seperti Sam Poo Kong, Pantai Kuta yang lebih diminati ketimbang Pantai Nambo, Anoa yang sudah jauh lebih langka ketimbang Komodo.

Sehingga, kita harus mencipta sendiri. Membranding kota kita sendiri. Dengan apa yang sudah atau masih kita punya. Yang tidak pernah kita sentuh dengan ide dan gagasan-gagasan besar.***


Oleh : Andi Syahrir
(Penulis merupakan Kepala Bidang Informasi dan Komunikasi Publik – Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Sulawesi Tenggara)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini