Sabtu kemarin, saya menghadiri sebuah acara buka puasa bersama. Sebenarnya undangannya ditujukan kepada istri saya tapi diberi embel-embel “dan Bapak”. Kami memenuhinya dengan embel-embel tambahan, “serta dua orang anak”. Undangan itu berasal dari Dr. Muhammad Zamrun F., S.Si., M.Si., M.Sc. Rektor Universitas Halu Oleo (UHO) yang terpilih sehari sebelumnya.
Tema undangannya adalah ungkapan rasa syukur atas selesainya pemilihan rektor dan dalam rangka menjalin silaturahmi serta meningkatkan kebersamaan dalam keberagaman guna mewujudkan UHO BISA JAGAD KITA.
Sebagai bagian dari keluarga besar UHO yang tidak setiap saat berinteraksi dengan sivitas akademikanya, saya hanya mengenal sedikit dari orang-orang yang hadir di sana. Posisi itu membuat saya lebih leluasa mengamati suasana tanpa harus terlibat interaksi intens dengan orang per orang.
Jika menyebutnya sebagai “perayaan kemenangan”, saya tidak menemukan euforia kegembiraan yang gegap gempita dari mereka yang hadir. Saya hanya menyaksikan –apa yang saya sebut sebagai– “kegembiraan yang hikmat”. Senyum dan tawa lepas yang terukur.
Doktor Zamrun, sebagai pusat perhatian, tidak berubah. Sederhana. Santun. Hangat. Dia seperti setahun lalu ketika pertama kali saya jabat tangannya. Dia tidak mengenal saya. Tapi cara dia memperlakukan orang-orang, termasuk saya, seolah seperti kenal bertahun-tahun. Itu pulalah yang membuat saya bersimpati padanya dan mendoakannya terpilih sebagai rektor.
Usai buka puasa dan shalat magrib, ada semacam “victory speech” yang dipandu oleh Doktor Marzuki Iswandi. Doktor Zamrun naik ke podium. Meminta istrinya ikut serta. Seorang wanita mungil berkacamata berwajah ramah yang berpenampilan sederhana. Juga memanggil putra tunggalnya, seorang remaja kelas 3 SMP, bertubuh cukup subur, dan berwajah mirip sekali dengan ayahnya.
Tidak banyak yang disampaikannya. Dia berterima kasih kepada semua pihak. Dia mengatakan bahwa hari Sabtu (17 Juni 2017) adalah ulang tahun istrinya. Dan terpilihnya dia sebagai rektor menjadi semacam hadiah ulang tahun buat sang istri. Istrinya tersipu-sipu.
“Saya belum banyak mengatakan apa-apa. Tapi saya punya tanggungjawab untuk membuat universitas terakreditasi A. Penelitian harus banyak. Hilirisasi (hasil penelitian) harus ada. Pemetaan (penelitian) harus dikerjakan,” katanya.
“Tangan saya hanya dua, kaki saya hanya dua, kepala saya hanya satu. Saya butuh dukungan kita semua. Saya tidak bisa kerja sendiri. Tidak bisa satu orang saja. Saya butuh banyak tangan, saya butuh banyak kaki, saya butuh banyak kepala,” tepuk tangan mengiringi pidato singkatnya.
Usai pidato Doktor Zamrun, Doktor Marzuki sebagai MC dadakan, juga meminta Profesor Usman Rianse –mantan Rektor UHO– untuk menyampaikan sepatah kata. Prof. Usman berdiri. Tidak di podium, tapi di samping meja hadirin.
Dia juga memanggil istrinya. Wanita yang disebutnya sebagai istri yang sangat kuat dan berperan dalam pengambil keputusan mengenai siapa yang akan didukungnya sebagai rektor penggantinya. Sang istri turut tersipu-sipu mendapat sanjungan suaminya. (Ya iyalah, istriku juga bakal klepek-klepek kalau saya menyebutnya cantik sekali).
Ada dua hal yang menarik dari pidato Prof. Usman. Pertama, ceritanya ketika ditanya oleh dua orang profesor koleganya tentang, “Apa persamaan antara Prof. Usman dan Doktor Zamrun” sehingga harus mendukungnya?
Selama beberapa waktu dia tidak mampu menjawab pertanyaan itu hingga dia mengenal “Sinta”. (Hah, Sinta? Siapa Sinta? Bunyi piring berbenturan nyaring sontak terdengar dari arah dapur mendengar Sinta disebut-sebut…hehehe)
Mengutip situs dari kemenristekdikti, SINTA atau Science and Technology Index merupakan portal yang berisi tentang pengukuran kinerja ilmu pengetahuan dan teknologi yang meliputi antara lain kinerja peneliti, penulis, author, kinerja jurnal, dan kinerja institusi iptek. Apa hubungannya dengan Doktor Zamrun dan Prof. Usman?
Berdasarkan data SINTA, diketahui bahwa Dr. Zamrun merupakan doktor paling produktif sepanjang tahun 2016, dan Prof. Usman merupakan profesor paling produktif tahun 2016. Prof. Usman sudah punya jawaban atas pertanyaan dua koleganya, bahwa Doktor Zamrun adalah sosok yang berkomitmen pada dunia ilmu pengetahuan. Dunia riset. Dunia pendidikan tinggi.
Hal menarik kedua yang disampaikan Prof. Usman adalah pesannya pada Doktor Zamrun dan pada seluruh hadirin. Saya juga merasa dititipi pesan itu. (Merasaku…hehehe).
“Pak Zamrun bisa hebat tapi dia tidak akan mungkin mengalahkan saya karena dia tidak bersaing dengan saya. Pak Zamrun bersaing dengan zamannya. Saya bersaing dengan zamanku,” kata Prof. Usman yang disambut tepuk tangan.
Mereka yang sukses adalah mereka yang bisa memenangkan zamannya. Menang atas tantangan zamannya.***
Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial