Revisi Total UU ITE Digaungkan untuk Wujudkan Kendari Bebas Berekspresi

168
Revisi Total UU ITE Digaungkan untuk Wujudkan Kendari Bebas Berekspresi
Diskusi publik Kendari Bebas Berekspresi dengan tema "mengupas tantangan kebebasan berekspresi dan jalan panjang revisi UU ITE" oleh Safenet, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kendari, Aparat Penegak Hukum (APH), dan stakeholder lainnya bertempat di Kota Kendari pada Senin (14/8/2023).(Ismu/Zonasultra.id)

ZONASULTRA.ID, KENDARI – Dalam rangka mewujudkan kebebasan berekspresi di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra), langkah konkret kembali diambil dengan menggaungkan wacana revisi total Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Hal tersebut disimpulkan melalui diskusi publik Kendari Bebas Berekspresi dengan tema “Mengupas Tantangan Kebebasan Berekspresi dan Jalan Panjang Revisi UU ITE” oleh Safenet, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kendari, Aparat Penegak Hukum (APH), dan stakeholder lainnya bertempat di Kota Kendari pada Senin (14/8/2023).

Langkah tersebut diambil sebagai respons terhadap tuntutan masyarakat dan aktivis HAM yang telah lama mengkritik beberapa pasal dalam UU ITE yang dinilai menghambat kebebasan berekspresi dan berpotensi menimbulkan kriminalisasi terhadap warga yang menggunakan medsos atau platform lainnya untuk menyampaikan pendapat.

Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi Safenet, Nenden Sekar Arum, menjelaskan, Safenet yang selama ini fokus mengadvokasi isu-isu kebebasan berekspresi dan UU ITE melihat masih banyak problem yang muncul pada proses revisi UU tersebut.

Diskusi yang dilaksanakan tersebut sebagai salah satu upaya untuk memberikan peningkatan kesadaran terhadap masyarakat dan kelompok masyarakat sipil terkait progres revisi UU ITE yang sedang berlangsung di DPR RI.

“Kami melihat perlu juga ada dukungan dari masyarakat sipil yang lebih luas agar proses pembahasannya (revisi UU ITE) bisa sesuai dengan prinsip-prinsip keterbukaan informasi, partisipasi publik yang bermakna dan lain-lain,” ungkap Nenden.

Berdasarkan data hasil monitoring Safenet dan kasus yang diadvokasi sejak 2013 hingga saat ini, tren regresi terhadap ekspresi atau pendapat terus meningkat dari tahun ke tahun. Dilihat jumlah kasus kriminalisasi ekspresi dan pendapat yang dilaporkan ke kepolisian.

Kata Nenden, ketika proses kriminalisasi ini terus berlangsung maka hal itu menjadi sinyal bahwa indeks demokrasi terus merosot, kebebasan berekspresi semakin terancam dan semakin terberangus.

Salah satu tantangan yang bisa membuat hal itu terjadi adalah adanya pasal-pasal atau regulasi yang regresif dan bisa membuat masyarakat sipil terbatasi atau dibatasi dalam konteks menyuarakan hak dan pendapatnya di medsos maupun platform lainnya.

Revisi Total UU ITE Digaungkan untuk Wujudkan Kendari Bebas Berekspresi
Mohamad Sadli Saleh

Perwakilan Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE) Indonesia, Mohamad Sadli Saleh menyatakan, penerapan UU ITE memang bermasalah, khususnya di kalangan aktivis baik jurnalis maupun CSO yang sangat rentan dan menyasar pada kerja-kerja untuk menyuarakan kebenaran. Kata dia, kebebasan berpendapat dikekang oleh UU ITE khususnya pasal 27 dan 28.

“Itu yang rentan. Mohon maaf, relasi kuasa yang tertinggi ketika ada pemberitaan atau postingan medsos menyangkut dengan dia yang tidak berkenan dengan mereka, dia tidak segan-segan memakai UU ini untuk menjerat kita,” ungkapnya.

Kata Sadli, relasi kuasa yang tinggi diduga bisa mengintervensi penegak hukum untuk meloloskan laporan yang ditujukan oleh wartawan, aktivis atau masyarakat umum. Sebagai contoh kasus, ia menyebut salah satu kasus jurnalis yang ditikam di Buton karena beririsan dengan relasi kuasa, salah satu jurnalis di Kota Kendari bahkan dirinya sendiri pernah terjerat.

Secara psikolog, dampak dari UU ITE tersebut bisa mempengaruhi mental dan karakter orang yang terjerat seperti terkena Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) yang berpengaruh pada karakter diri, anak, istri, keluarga, maupun lingkungan pertemanan.

“Bagaimana jika UU ini tidak terselesaikan dan anak-anak kita nanti dengan kondisi jiwa dan karakternya seperti itu? Ditambah lagi kita tidak merevisi UU ITE, ini bisa bahaya. Mereka akan trauma menyuarakan pendapat tidak bisa. Itu berbahaya untuk kebebasan berdemokrasi di negara kita ini,” tambah Sadli.

Kanit 2 Subdit 5 Tipidsiber Reskrimsus Polda Sultra, Iptu Asfandi menyampaikan beberapa kasus terkait ITE yang terlapor di Polda Sultra sejak 2020 hingga saat ini di antaranya pencemaran nama baik, penipuan online, pengancaman/pemerasan, ilegal akses/intersepsi, manipulasi data, penyebaran konten pornografi, dan ujaran kebencian/berita bohong.

Kasus pelaporan tersebut terus meningkat tiap tahunnya dengan laporan pencemaran nama baik paling tinggi disusul penipuan online dan seterusnya.

“Kalau berhubungan dengan media, kami lebih mengedepankan koordinasi dulu dengan Dewan pers. Kalau Dewan pers menyatakan ini diselesaikan dalam internalnya kita persilahkan. Tapi jika dinyatakan bisa diselesaikan diluar UU pers, maka kami selesaikan dengan UU ITE atau UU lain,” ucapnya.

Selain itu, untuk masyarakat biasa yang terjerat kasus tersebut akan tetap ditangani sesuai prosedur. Kata Asfandi, UU ITE merupakan delik aduan bahwa siapa yang merasa keberatan terkait dengan postingan yang biasanya di media sosial di luar media online dipersilahkan untuk melapor.

Laporan tersebut akan dikoordinasikan terlebih dahulu pada ahli bahasa untuk mengetahui apakah tulisan tersebut mengarah pada pencemaran nama baik atau sebagainya.

“Karena pasal 27 ayat 3 itu kan harus ada unsur di situ. Unsur pertama adalah tuduhan perbuatan, bukan cacian atau makian. Tuduhan perbuatan itu berarti ada sesuatu yang dilakukan yang tidak sesuai dengan prosedur dan tidak bisa dibuktikan oleh si terlapor. Itu masuk UU ITE,” jelas Asfandi. (B)

Kontributor: Ismu Samadhani
Editor: Jumriati

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini