ZONASULTRA.COM, JAKARTA – Rakornas II Pariwisata 2017 bertema Homestay Desa Wisata Indonesia Incorporated: 20.000 homestay untuk 2017 benar-benar menjadi panggung pencerahan. Ahli bedah bisnis sekaliber Rhenald Kasali secara khusus membedah Digital Disruption yang menjadi tema CEO Message #27 Menpar Arief Yahya, di Ballroom Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (18/5).
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Komisaris Utama PT Angkasa Pura 2 itu memang ahlinya. Rhenald merupakan penulis buku-buku best seller di bidang manajemen, bisnis dan pemasaran. Nah, di Rakornas II Pariwisata 2017, Prof Rhenald diminta menularkan knowledgenya soal disruption yang juga bakal menggoyang kemapanan industri pariwisata itu.
Semua perubahan terkait digital lifestyle itu diikupas secara tuntas. Skemanya digambarkan detil lewat kacamata digital disruption.
Yang jadi pertanyaan, apa sih digital disruption itu? Mengapa juga Kemenpar sampai harus repot-repot mengundang pria yang memiliki gelar Ph. D. dari University of Illinois at Urbana, Champaign, Amerika Serikat itu?
Kalau ditranslate mentah-mentah, ‘disruption” berarti penggangu, pengacau, atau biang kerok. Kalau dikonekkan dengan kata digital, artinya adalah sesuatu yang datang setelah era digital dan mengganggu kestabilan bisnis yang tidak menggunakan internet dan teknologi
digital sebagai nilai tambahnya.
Istilah digital disruption selanjutnya bisa dimaknai sebagai perubahan yang timbul karena teknologi digital dan model bisnis digital yang berimbas kepada naik-turunnya nilai bisnis dari sebuah jasa atau barang yang telah ada sebelumnya. Dan inilah yang terjadi saat ini.
“Zaman sekarang sudah berubah. Tahun 2010 kita bicara soal transformasi, tahun 2015 kita omongin disruption, ada perubahan yang lebih dhasyat lagi. Tanpa disadari saat ini, banyak orang sudah kehilangan pekerjaannya, seperti teller di bank,” kata Rhenald.
Pertanyaannya kenapa bisa begitu? “Old game is over. Pertempurannya sekarang sudah bergeser ke model bisnisnya,” ujarnya.
Tak percaya? Dulu, mindset orang adalah beli, miliki, dan menguasai. Sekarang tidak harus memiliki, tapi memanfaatkan kekosongan atau kapasitas yang kosong milik orang.
“Hantu pengusaha sekarang adalah fixed cost. Gaji, listrik, operasional, dan lainnya. Karena itu sistem penggajian pun berubah secara mendasar,” kata Rhenal.
Dia mencontohkan video pencuri sepatu di India pun tekniknya makin pintar. Dia juga menggambarjan sepeda electric yang diremote. “Dulu orang takut kendaraan itu dicuri orang. Kelak orang lebih takut kalau password atau remote nya yang dicuri orang,” ungkap dia.
Mindsetnya birokratik, itu masih beli dan kuasai. Sekarang berbeda, Demand customer lebih simpel, lebih murah, lebih terjangkau dan lebih cepat. Cravar misalnya. Produk kerajinan kulit asal Indonesia itu membrandol $ 30K di projek pertamanya.
Setelah itu menjadi USD 55K di projek kedua. Kemudian diikuti USD 25K dan USD 19K di projek ketiga dan keempatnya. Semakin lama semakin murah, makin terjangkau dan makin cepat.
Inilah yang disebut Rhenald sebagai disruption. Sebuah inovasi yang menggantikan seluruh sistem lama dengan cara-cara baru. Disruption berpotensi menggantikan pemain-pemain lama dengan yang baru. Disruption menggantikan teknologi lama yang serba fisik dengan teknologl digital yang menghasilkan sesuatu yang benar-benar baru dan lebih efisien, juga lebih bermanfaat.
Mau tak mau, suka tidak suka, cara lama harus ditinggalkan. Orang pun tak lagi harus memiliki asset untuk bisa berbisnis. Rhenald pun mengambil contoh Grab Taxi, Uber dan GoJek yang cukup fenomenal di industri transportasi belakangan ini. “Konsumen sudah berubah. Kalau bisnis Anda masih bertahan dengan pola lama, maka akan ditinggalkan,” tegasnya.
Sekarang, trendnya orang lebih suka menggunakan kemajuan teknologi untuk mengembangkan usahanya. Impactnya langsung ke arah efisien dan menekan biaya operasional yang sangat besar. Yang konvensional, masih menggunakan pola lama, bisa dipastikan bakal tergusur.
Bisnisnya lambat laun akan mati. “Taxi konvensional misalnya. Operasionalnya begitu besar. Harus punya pool sendiri, punya sopir sendiri, gaji satpam banyak, beli tanah banyak. Bandingkan dengan yang saat ini, mereka tidak butuh itu semua. Mereka nggak repot. Yang diperlukan hanya gadget. Sekarang ini murah sekali cost-nya,” papar Rhenald.
Baca Juga : Jelang Konferensi Manila, Kemenpar FGD-kan Sustainable Tourism Statistics
Metodenya sudah berbeda. Sudah bergeser menjadi disruption. Kenapa disruption? Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi pemicunya. Pertama, sebut Rhenald, munculnya IT: Direct Big Interactive. “Dan ini big, serba pesat,” katanya.
Pemicu kedua, munculnya generasi baru, atau disebutnya sebagai Gen C. Ketiga, demografi yang sudah berubah. Keempat, urbanisasi, megacities, cyber palaces.
“Saat ini tidak ada lagi anak-anak muda di kampung-kampung. Mereka semua sudah ke kota. Dan mereka pastinya akan berubah sesuai kemajuan di kota,” terang Rhenald.
Selanjutnya, pemicu kelima, adalah demokratisasi of everything. “Nah, apa akibat dari ini semua, maka peradaban manusia pun akan berubah. Kemudian cara berkomunikasi dan berbelanja pun berubah, mata uang juga berubah. Dipastikan terjadi pergeseran.”
Pertarungan bisnis di era kinipun berubah drastis. Kata dia, pada abad 19 pertarungan yang terjadi adalah pertarungan antar bangsa. Pada abad 20 berubah menjadi pertarungan antar produk (jasa), korporasi/brand. Sementara pada era abad 21 ini, yang terjadi adalah pertarungan antar business model.
“Sevel adalah salah satu bentuk business model. Dia tidak sama dengan Indomaret atau Alfamart. AirBnB adalah business model. Produk-produk destinasi dikolaborasikan dengan hotel dan tiket pesawat. Jadi kompetisi zaman sekarang adalalah business model,” paparnya.
Dan kebetulan, semua itu sangat konek dengan isu homestay desa wisata. Benchmark-nya banyak. London punya 2.000 homestay berbasis digital. China? Punya homestay yang menawarkan makanan rumahan. Tamu bisa ikut interaksi membuat makanan tradisional. Dan semuanya, dipasarkan via digital.
Mengapa homestay? Prof Rhenal menyebut ini sebagai ekonomi gotong royong, ekonomi kerakyatan, ada cross cultural experience, genuine dalam food and family, memorable experience, millenials menghendaki kebebasan berpakaian, business student, research, mediacl, studi.
“Saran saya, Kementerian Pariwisata merekrut lebih banyak anak muda. Karena mereka membawa masa depan ke saat ini,” ungkapnya. (*)