ZONASULTRA.COM, RAHA – Ribuan Alumni Akademi Keperawatan (Akper) Pemerintah Daerah (Pemda) kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara (Sultra) terpaksa harus meratapi nasibnya karena euforia perekrutan CPNS tahun ini, hanya sebagai pemanis telinga bagi mereka.
Pasalnya, para lulusan keperawatan itu, mulai angkatan 2003 hingga 2012 tak bisa berebut kuota formasi 58 CPNS jurusan keperawatan yang dirilis oleh Pemda setempat melalaui Badan Kepegawaian Nasional (BKN).
Alasannya, ijazah para lulusan Akper Muna ini tidak terdaftar di Kementrian Riset dan Teknolgi Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti).
Lilis Sudarce salah satunya, alumni Akper angkatan 2008 ini mengeluhkan nasibnya yang tidak bisa mendaftar CPNS.
“Kami sekarang tidak bisa mendaftar CPNS karena terkendala soal status. Kami tidak terdaftar di Dikti,” terang Lilis saat mengeluarkan uneg-unegnya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi III DPRD Muna dan sejumlah instansi terkait, Rabu (3/10/2018).
Padahal, kata Lilis, sejak tahun lalu mereka sudah mengadukan nasib mereka kepada Bupati Muna untuk dicari jalan keluarnya. Karena selain mengeluarkan uang hingga ratusan juta untuk biaya kuliah, setelah luluspun bukannya memudahkan mencari kerja. Mereka justru kini lebih terbebani.
“Malang memang nasib kami. Padahal sebelumnya kami sudah menghadap sama Bupati, tapi lagi-lagi janji tinggal janji dan tidak pernah ditepati. Nasib kami tetap sama, tahun ini kami hanya bisa jadi penonton di rumah sendiri, padahal kuota keperawatan menjadi prioritas,” keluhnya.
“Syarat sudah kami lengkapi untuk pengurusan tes CPNS. Tapi ternyata kami terkendala soal ijazah karena tidak terdaftar di Dikti,” cetusnya.
Sementara itu, Pimpinan Akper Muna, La Ondo mengaku pihaknya sudah berupaya keras untuk kejelasan status para alumni Akper. Kata dia, pihaknya bahkan sudah berulangkali memperjuangkan pengakuan ijazah alumninya itu ke Dikti.
“Tapi pihak Dikti menilai, angkatan 2011 ke bawah itu tidak bisa diproses,” kilahnya.
Meski begitu, ia berjanji bakal kembali bertemu pihak Dikti untuk menuntaskan masalah tersebut. Dia menduga, persoalan alumni 2003 hingga 2011 itu tak terdaftar di Dikti karena pada saat itu tidak diinput oleh pihak kampus.
“Dulu kan, tes CPNS itu masih manual. Jadi setelah adanya sistem secara online, maka pasti secara otomatis mereka angkatan itu, pasti tidak terdaftar. Nanti setelah 2012 baru didaftarkan,” terangnya.
Selain itu, pimpinan kampus saat transisi yang baru menjabat sejak 2017 itu, menjawab soal proses perkuliahan bagi mahasiswa yang masih aktif.
“Kenapa kami tolak usulan integrasi karena proses perkuliahan sementara berjalan. Jadi soal itu, mereka mau integrasi serentak,” urainya.
La Ondo mengungkapkan, saat ini pihaknya masih mengupayakan status kampus itu agar dikembalikan ke yayasan, sehingga pengelolaanya bisa teratur.
“Masalah ini memang sejak pimpinan sebelumnya, kita sekarang cuma berupaya mencari jalan terbaik agar para mahasiswa ini, bisa jelas nasibnya. Kita upayakan merger, untuk bergabung dengan yayasan,” ungkapnya.
Terkait julukan kampus menjadi ATM berjalan, La Ondo bahkan berani bersumpah jika pihaknya tak melakukan pungutan seperti yang dituduhkan tersebut.
“Saya bahkan berani bersumpah didepan kitab suci ini. Soal pungutan 50 ribu itu, tidak benar dan saya tidak pernah lakukan,” jelasnya.
Sementara itu, Sarlan Operator Kampus Akper Muna, membeberkan soal hasil konsultasi pimpinan Akper bersama pihak Dikti.
“Hasil konsultasi Dikti, 2019 Akper tidak boleh lagi di bawah naungan Pemda. Selain itu, sertifikasi seorang Kepala Kampus minimal eselon II, tapi faktanya tidak demikian,” bebernya.
Ketua Komisi III DPRD Muna, Awaluddin mendesak pihak kampus untuk memberikan pilihan kepada ratusan mahasiswa Akper.
“Jangan dihalangi jika ada mahasiswi yang mau integrasi. Berikan ruang kepada mereka. Jangan dipersulit,” tukasnya.
Para wakil rakyat itu berjanji, secepatnya bakal menuntaskan masalah yang sudah terlanjur meradang itu. “Hari ini, 3 Oktober 2018, kita akan ke Dikti untuk membahas yang menjadi kendala dari masalah kampus Akper Muna ini,” tegasnya. (B)