ZONASULTRA.COM, KENDARI – Matahari bersinar cerah di pagi 11 Januari 2022 lalu, menerangi aktivitas nelayan di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Kendari. Kapal-kapal penangkap ikan berjejer di pinggir dermaga.
Setiap kapal sedang menurunkan hasil tangkapannya setelah berhari-hari di laut lepas, salah satunya Kapal Motor Nelayan (KMN) Bunga Kacang. Para anak buah kapal berukuran 28 gross ton (GT) itu tampak cekatan menyortir ikan berupa cakalang, layang, dan tongkol yang baru saja dikeluarkan dari palka.
Sekitar dua ton tangkapan itu merupakan hasil jerih payah Sang Kapten Kapal Abdul Aziz (36) bersama 20 anak buah kapal (ABK). Mereka selama 7 hari berada di lautan lepas dengan rute PPS Kendari-Laut Banda. Selama mengarungi lautan itu, menghadapi cuaca buruk sudah dianggap hal yang biasa.
Selama dua tahun menggunakan kapal itu, Aziz dan para ABK-nya yang berusia 18 tahun hingga 50 tahun selalu aman. Mereka belum pernah mengalami kecelakaan laut. Salah satu kuncinya adalah peralatan keselamatan yang lengkap mulai dari parasut jangkar, sampan, baju pelambung, kotak pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K), tabung pemadam api, radio singgle side band (SSB), hingga GPS.
Bagi Aziz, penggunaan alat-alat itu sangat penting agar semua anggotanya aman dalam perjalanan yang penuh risiko. Misalnya, ada yang terluka akibat terkena mata pancing maka peralatan dalam kotak P3K selalu jadi andalan.
“Parasut yang paling pokok itu. Kalau ombak-ombak lima meter dan cuaca buruk itu tidak bisa kita tempuh, makanya tinggal pasang parasut, jadi kapal bagus goyangnya, kita juga bisa santai meski ada hantaman ombak,” ujar Aziz sambil menunjukkan alat-alat keselamatan di kapal mereka.
Untuk masalah kesehatan, yang biasanya mereka alami adalah sakit perut karena masuk angin, demam dan sakit kepala. Hal seperti ini diatasi dengan obat-obatan yang ada dalam kotak P3K, salah satunya adalah jenis obat paratusin.
Selain itu, mereka juga memiliki perbekalan berupa beras dan sayur-sayuran yang cukup sebagai persediaan berada di laut. Perbekalan itu dengan perkiraan untuk 10 hari, termasuk ada kompor dan tabung gas. Bila tidak cukup maka biasanya Aziz menerima bantuan dari nelayan kapal lain dan begitu pula sebaliknya, nelayan lain yang minta bantuan karena kehabisan.
Solidaritas sesama nelayan itu, juga berguna apabila terjadi kecelakaan atau ada masalah dengan kapal. Melalui alat komunikasi, kapal terdekat bisa saling menolong. Begitu pula bila ada cuaca buruk, informasi akan disebarkan oleh nelayan ke nelayan lain melalui radio SSB.
Terkait pandemi Covid-19, manurut Aziz, pekerjaan mereka tidak begitu terpengaruh. Sebagai nelayan, 70 persen waktu mereka di laut sehingga jarang berinteraksi dengan khalayak ramai, tapi dia menekankan pentingnya vaksinasi. Kini dirinya dan semua anggotanya sudah divaksin lengkap dua dosis.
Segala perlengkapan di kapal yang digunakan Aziz itu disediakan oleh Intan (36) bersama suaminya sebagai pemilik kapal. Perlengkapan alat-alat keselamatan, asuransi bagi ABK, dan kelengkapan lainnya harus siap agar mendapatkan izin berlayar dari Syahbandar PPS Kendari.
“Pokoknya kita sebagai pemilik kapal menyiapkan dana, apa yang dipersyaratkan semua kita lengkapi. Tidak dikasi keluar ini kapal kalu tidak lengkap,” ujar Intan yang sementara mendata hasil tangkapan ikan kapal tersebut.
Berdasarkan data tahun 2021, total nelayan di PPS Kendari berjumlah 5.640, dengan jumlah kapal 378 unit yang berukuran 10 hingga 30 GT lebih. Sama seperti Aziz, nelayan lainnya yang ada di PPS Kendari juga aman melaut. Dalam 5 tahun terakhir, PPS Kendari mencatat nihil kecelakaan laut.
Para nelayan ini juga mampu bekerja dengan optimal. Hasil tangkapan mereka melampaui target tangkapan ikan. Selama tahun 2021, hasil tangkapan nelayan PPS Kendari mencapai 16.653 ton, lebih dari target 15.500 ton.
Humas PPS Kendari Arifin mengatakan standar keamanan dan keselamatan berlayar memang diterapkan dengan ketat ketika nelayan mengurus penerbitan surat persetujuan berlayar (SPB) bagi kapal perikanan. Petugas Syahbandar PPS Kendari selalu melakukan inspeksi tentang kelayakan kapal sebelum terbit SPB.
“Kalau kecelakaan kerja laut yang SPB-nya terbit di sini selalu tidak ada. Yang ada nelayan itu meninggal di laut karena penyakit bawaan seperti sakit jantung,” ucap Arifin di ruang kerjanya, Selasa (11/1/2022).
Selain itu, pihak Syahbandar PPS juga memastikan para ABK mendapat asuransi yang preminya dibayarkan oleh pemilik kapal. Hal ini untuk mengantisipasi apabila terjadi kecelakaan kerja dan sebagai upaya perlindungan nelayan.
Sementara, kapal yang tak perlu memiliki surat izin berlayar adalah kapal di bawah 10 GT, biasanya dimiliki nelayan tradisional. Kapal-kapal inilah yang sering mengalami kecelakaan laut. Berdasarkan data kecelakaan tahun 2021, Kantor Pencarian dan Pertolongan Kendari menangani 49 kecelakaan kapal. Beberapa kecelakaan dialami oleh nelayan yang menggunakan long boat (perahu).
Dari data tersebut, terdapat lima musibah nelayan hilang karena kecelakaan kapal selama 2021 yakni di Perairan Pulau Batu Atas, Buton Selatan dan di Perairan Lasalimu, Buton pada Januari; di Perairan Desa Maohi, Buton Utara pada bulan Maret; di Perairan Pulau Padamarang, Kolaka pada bulan April; di Perairan Bahari, Buton Selatan pada bulan Mei; serta di Perairan Batu Atas, Buton Selatan pada bulan Oktober.
Perlindungan Nelayan
Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), nelayan di Sultra selama 2021 berjumlah 76.035. Mereka terdiri dari nelayan tanpa perahu (NTP) 1.390, nelayan dengan perahu tanpa motor 14.176, nelayan yang menggunakan kapal motor 27.099, dan nelayan motor tempel 33.370.
Untuk perlindungan para nelayan tersebut, yang didorong oleh pemerintah adalah asuransi khusus nelayan sebagai jaminan keamanan dan keselamatan kerja. Sejak 2016, pemerintah pusat memberikan bantuan dengan menanggung premi asuransi untuk satu tahun pertama, yang setelah itu harus dilanjutkan nelayan untuk pembayaran preminya.
Namun kuota bantuan itu terbatas setiap tahunnya, hanya segelintir nelayan yang mendapatkannya. Selain itu, banyak nelayan yang tidak melanjutkan asuransi secara mandiri sehingga ketika terjadi kecelakaan di laut maka tidak dapat mengklaim manfaat asuransi.
“Beberapa sudah dapatkan manfaat asuransi. Jadi sebenarnya beberapa masyarakat sudah melihat manfaat itu, tapi persoalannya kesadaran dari nelayannya. Pas selesai dibayarkan preminya oleh pemerintah, tak dilanjutkan oleh masyarakat,” jelas Kepala Bidang Perikanan Tangkap DKP Sultra, Yenni Buraera di ruang kerjanya, Jumat (14/1/2022).
Sementara dari Pemerintah Provinsi Sultra, bantuan untuk nelayan adalah alat tangkap. Bantuan biasanya disesuaikan dengan permintaan dari kelompok nelayan yang mengusulkan bantuan dalam bentuk proposal.
Bantuan yang disalurkan ke nelayan biasanya berupa alat pancing, rumpon, jaring, umpan, dan bubu. Terkait alat kesehatan dan keselamatan kerja tidak ada yang mengusulkan. Begitu pula saat sosialisasi, yang sering dilakukan DKP adalah tentang pentingnya asuransi bagi nelayan.
Salah satu nelayan di Kelurahan Bungkutoko, Kota Kendari yang yang tak mendapat bantuan pemerintah untuk pembayaran premi asuransi adalah Arifin (41). Meski begitu, dia tetap mengikuti asuransi secara mandiri.
Dia adalah nelayan pemancing yang selama 5 tahun ini beroperasi di Perairan Pulau Hari, Konawe Selatan. Jaraknya antara rumahnya dan perairan itu hanya sekitar 15 kilometer. Dengan perahu miliknya, dia kadang berangkat sore pulang sore, dan berangkat pagi pulang pagi. Dalam sebulan, dia bisa 6 hingga 7 kali keluar melaut hanya seorang diri.
Meski tak pernah mengalami kecelakaan laut, dia tertarik untuk ikut asuransi BPJS Ketenagakerjaan setelah mendapatkan sosialisasi dari pemerintah. Dia memahami pentingnya jaminan sosial karena pekerjaan yang digelutinya memiliki risiko tinggi kecelakaan kerja.
“Sejak tahun lalu (2021) saya bayar terus, per bulan kena Rp38 ribu. Jadi kalau kita kecelakaan atau kena musibah saat turun, kita ditanggung. Pokoknya kalau kita mau berobat di Jakarta, katanya, kita ditanggung sewanya,” ucap Arifin di rumahnya Selasa (25/1/2022).
Dia juga senang mengikuti asuransi karena dalam premi yang dibayarnya sudah termasuk jaminan hari tua (JHT) yang berfungsi seperti tabungan. Hanya satu yang dikeluhkannya, dia harus bolak-balik membayar premi setiap bulan, sementara ada kegiatan lain yang harus dikerjakannya.
Terkait peralatan kesehatan dan keselamatan kerja di kapalnya, Arifin mengaku enggan membelinya dengan uang pribadi. Alat keselamatan yang dimilikinya saat ini seperti dua buah rompi pelampung merupakan alat kelengkapan ketika menerima bantuan satu unit perahu dari pemerintah.
“Kalau sebelumnya biasa hanya andalkan jeriken untuk pelampung. Tidak ada nelayan di sini pak yang mau beli sendiri baju pelampung. Kenapa kita mau beli yang begituan, mending kita belikan bahan bakar,” ujar Arifin yang tampak senang memegang rompi pelampung miliknya.
Dia dan sejumlah nelayan lainnya di Bungkutoko pernah mengikuti sosialisasi dari pemerintah tentang pentingnya menggunakan radio singgle side band (SSB) sebagai alat komunikasi dan keselamatan. Radio ini berguna di wilayah yang tak terjangkau jaringan seluler.
Namun, pengenalan itu tidak disertai bantuan perangkat radio SSB, sehingga nelayan setempat belum ada yang menggunakannya. Arifin dan nelayan lainnya saat ini hanya mengandalkan ponsel genggam untuk alat komunikasi dengan kendala kehilangan jaringan seluler dan kehabisan daya baterai.
Masalah dan Solusi bagi Nelayan
Peneliti Pengelolaan Perikanan dari Universitas Halu Oleo (UHO), Ahmad Mustafa menjelaskan kejadian nelayan hilang memang paling sering terjadi, dan bisa saja lebih dari data Kantor Pencarian dan Pertolongan. Berbeda dengan kapal yang memiliki surat izin berlayar, kapal kecil lebih bebas dan tak diawasi sehingga abai terhadap standar keselamatan.
Persoalan standar keselamatan ini, lanjut dia, juga ada kaitannya dengan kesadaran nelayan, yang mana nelayan enggan mengeluarkan uang. Dari pada membeli alat-alat keselamatan, mereka lebih memilih menggunakan alat seadanya, seperti jeriken air dan bahan bakar untuk dijadikan pelampung.
Kepala Laboratorium Teknologi Penangkapan Ikan UHO ini mencontohkan nelayan pancing tonda (pemancing tuna) dari kepulauan Buton yang memiliki wilayah penangkapan hingga ke Flores. Mereka berlayar sendiri-sendiri dengan perahu (ukuran 1 hingga 2 GT) tanpa standar keselamatan yang memadai.
“Tuna inikan tidak ada di laut dangkal, pasti di laut dalam. Jadi kalau nelayan ini kemungkinan tenggelam, karena ombak besar hingga terbawa arus, apalagi peralatan keselamatan tidak lengkap dan jauh daerah penangkapannya,” ucap Ahmad di ruang kerjanya, Senin (24/1/2022).
Kecelakaan yang juga sering terjadi pada nelayan pancing tonda yaitu cedera tangan atau bagian tubuh lain dan terjatuh ke laut akibat tarik menarik dengan ikan tuna besar. Dalam kondisi seperti ini, lanjut dia, peralatan kesehatan dan keselamatan yang standar sangat dibutuhkan tapi nelayan tak memilikinya.
Dalam kegiatan penelitian dan pengabdian di daerah-daerah sebagai akademisi, Ahmad juga biasa mendapat informasi tentang maraknya nelayan yang menggunakan bom ikan. Hal ini dilakukan oleh nelayan-nelayan penangkap ikan karang. Cara seperti ini selain membahayakan si nelayan juga merusak terumbu karang.
Saat terjadi kecelakaan pada penggunaan bom ikan ini maka disembunyikan oleh pihak keluarga nelayan karena praktek seperti itu ilegal. Terkecuali kata Ahmad, korbannya sudah sangat parah maka dibawa ke rumah sakit dengan tetap merahasiakan penyebab sakit.
“Alasannya mereka gunakan bom yah sudah jelas karena tidak ada cara paling mudah selain itu. Mereka tahu kalau itu dilarang, jadi kalau ada yang sampai meninggal dunia maka dirahasiakan oleh keluarganya dan tidak disebarluaskan,” ucap Ahmad, yang juga Magister Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Universitas Hasanuddin.
Kegiatan lainnya yang juga membahayakan adalah penggunaan kompresor pompa ban di kalangan nelayan untuk menyelam. Pelarangan kompresor untuk penangkapan ikan sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Nomor 21 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Ahmad mengamati penggunaan kompresor ini banyak di daerah-daerah perkampungan yang pengawasannya tidak ketat. Selain kompresor digunakan untuk illegal fishing (menangkap dengan obat bius) juga berbahaya secara kesehatan. Udara dari kompresor tidak ada penyaringnya sehingga asap dari cerobong mesin perahu turut tersedot oleh kompresor.
“Nelayan kita yang gunakan kompresor ini juga tidak mengetahui bahwa tubuh ini perlu penyesuaian ketika menyelam pada tekanan tinggi dan keluar dari tekanan tinggi, sehingga muncul masalah kesehatan akibat penyelaman,” ucap Ahmad.
Hal lain juga adalah kadang-kadang nelayan kurang memperhatikan pola hidup yang sehat dan kurangnya fasilitas kesehatan di daerah terpencil. Ahmad menjelaskan nelayan yang selalu beraktivitas di malam hari adalah pekerjaan yang menguras secara fisik dan rawan terkena berbagai masalah kesehatan, berbeda dengan jenis pekerjaan lain yang secara teratur beraktivitas pada siang hari.
Ahmad mengungkapkan masalah bagi nelayan juga saat ini adalah adanya perubahan iklim (climate change) sehingga terjadi cuaca ekstrem dengan adanya gelombang di luar kebiasaan. Hal ini membuat pekerjaan nelayan makin berisiko.
“Mereka biasa saja dengan kondisi alam, jadi ketika mendapat kejadian yang luar biasa karena perubahan iklim, mereka tidak siap dan jadi korban. Makanya salah satu efek perubahan iklim ini adalah tingginya kecelakaan di laut,” tutur Ahmad.
Terkait pandemi Covid-19, Ahmad menilai tak begitu berpengaruh dari aspek kesehatan dan keselamatan kerja nelayan di Sultra. Pengaruhnya justru pada sektor perekonomian nelayan pada komoditas ekspor.
“Misalnya di Tiworo (Kabupaten Muna Barat) sana orang menangkap rajungan, mungkin tidak ada hambatan. Tapi ketika dia pergi jual, pembeli yang batasi, otomatis jatuh harga hingga mempengaruhi pendapatan nelayan,” ujarnya.
Dari berbagai persoalan yang ada, Ahmad mengemukaan beberapa solusi yang dapat dilakukan. Manurutnya pemerintah dapat melakukan penyuluhan tentang kesehatan dan keselamatan kerja bagi nelayan karena faktanya banyak kasus nelayan hilang.
Kemudian, selain dinas perikanan, instansi lain juga bisa membantu nelayan. Misalnya pemerintah dapat merekomendasikan agar corporate social responsibility (CSR) perusahaan tertentu digunakan untuk membantu nelayan dalam hal kesehatan dan keselamatan kerja.
Ahmad juga menyebut pentingnya pembuatan pangkalan-pangkalan khusus bagi nelayan di seluruh wilayah. Sebab arah pengelolaan sumber daya perikanan adalah nelayan harus berbasis di tempat pendaratan ikan atau pangkalan.
Konsep pangkalan ini dapat dibuat seperti pelabuhan pada umumnya dengan penyediaan sarana prasarana kebutuhan nelayan sehingga nelayan tertarik untuk datang. Kata dia, memang saat ini sudah ada beberapa pangkalan bagi nelayan tapi karena tidak didukung sarana dan prasana penunjang yang memadai sehingga ditinggalkan atau sepi.
“Supaya segala hal tentang nelayan itu bisa diatur dari situ (pangkalan), termasuk informasi tentang pasar, hasil tangkapan, cuaca, dan lainnya. Kalau di luar negeri kan begitu, semua nelayan yang melaut setiap hari itu tercatat, bahkan di mana dia melaut, apa yang dia tangkap dan apa alat tangkapnya terekam,” ujar Ahmad.
Ahmad juga menekankan pentingnya jaminan sosial bagi nelayan karena risiko pekerjaan yang tinggi. Berkaca pada negara-negara yang maju pengelolaan perikanannya, jaminan sosial adalah sesuatu hal yang umum.
Hanya tentu kata Ahmad, di Indonesia, masih banyak kendala. Kesadaran nelayan tentang perlunya jaminan sosial masih rendah karena kurangnya pemahaman dan masih dipandang sebagai sumber pengeluaran.
“Nelayan hanya senang pada bantuan langsung tanpa pengembalian. Begitu juga lembaga-lembaga asuransi yang masih enggan melirik kepada asuransi nelayan,” ujar Ahmad.
Jadi, lanjut Ahmad, apa yang diperoleh dari pengalaman sebelumnya dari program asuransi nelayan semestinya dievaluasi untuk dilakukan perbaikan-perbaikan baik sistem maupun kelembagaannya tanpa harus dihentikan. (*)
Reporter: Muhamad Taslim Dalma