ZONASULTRA.COM, TIRAWUTA – Berdirinya toko pembelanjaan modern seperti indomaret di Kabupaten Kolaka Timur (Koltim), Sulawesi Tenggara disinyalir kuat menyalahi aturan yang tertuang dalam peraturan presiden (pepres) nomor 112 tahun 2007 tentang penataan dan pembinaan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern.
Anggota Komisi II DPRD Koltim, Risman Kadir mengungkapkan, pendirian tujuh unit Indomaret di Koltim tidak mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Baca Juga : Rencana Penambahan Indomaret di Koltim, Pedagang Kecil: Omzet Kami Menurun
“Pepres nomor 112 tahun 2007 pasal 3 ayat satu sangat jelas disebutkan bahwa lokasi pendirian perbelanjaan dan toko modern wajib mengacu pada rencana tata ruang kabupaten/kota. Dan rencana detail tata ruang kabupaten /kota termasuk peraturan zonasinya. Nah, di Koltim sampai saat ini RTRW belum ada sama sekali. Berarti pendiriannya menyalahi aturan,”kata legislator PAN ini.
Sejak terbentuk sebagai daerah otonom, Kabupaten Kolaka Timur memang belum memiliki Peraturan Daerah (Perda) RTRW, sebagai pedoman kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah. Padahal, sejak tahun 2015 lalu, kebijakan itu sudah digodok dengan menggunakan anggaran yang tak sedikit. Anehnya, sampai sekarang RTRW tersebut belum juga ada.
Risman berharap pemerintah daerah Koltim bisa segera mengkaji kembali (ulang) perihal izin indomaret yang ada saat ini.
Kehadiran Indomaret sebagai bisnis franchise (waralaba) di Koltim kurang mendapat respon yang baik dari Wakil Bupati, Andi Merya Nur. Bahkan ia sangat menyayangkan dinas terkait yang dengan enteng memberi restu kepada pengelolah indomaret.
Ketua DPD partai NasDem Koltim ini, menilai ada dua hal yang tidak dipertimbangkan secara matang oleh dinas terkait. Pertama Pepres nomor 112 tahun 2007. Kedua, tanpa mempertimbangkan dampak kepada para pedagang atau pemilik kios kecil.
“RTRW Koltim belum ada. Mestinya dinas terkait tau akan hal itu. Banyak pedagang yang mengeluh kepada saya. Terutama yang ada didekat indomaret. Omset mereka menurun drastis,”ujarnya.
Merya Nur atau lebih akrab dipanggil Merry mengaku tidak tahu menahu soal izin indomaret di Koltim, sebab dirinya tak pernah sekalipun dilibatkan dalam hal itu.
“Saya berharap persoalan ini bisa segera diselesaikan. Kaji ulang, RTRW diperdakan dulu. Jangan memberi izin lagi jika pihak indomaret mau mengembangkan sayapnya di Koltim. Kasian pedagang kecil,”katanya.
LAKI Koltim: Pemda Koltim Tidak Memperhitungkan Ekonomi Pedagang
Kehadiran indomaret di wilayah Kabupaten Koltim,juga tidak diapresiasi oleh Ketua Lembaga Anti Korupsi Indonesia (LAKI) Koltim, Juslan Kadir Labarese.
Selain menyalahi Pepres nomor 112 tahun 2007 pasal 3 ayat 1, pendirian indomaret juga tidak memperhitungkan kondisi sosial ekonomi masyarakat seperti yang tertuang dalam Pepres nomor 112 pasal 4 huruf a dan b.
“Pasal 4 huruf a disebutkan, wajib memperhitungkan kondisi sosial ekonomi masyarakat,keadaan pasar tradisional,Usaha Kecil dan Usaha Menengah (UKUM) yang berada diwilayah bersangkutan.Penempatan lokasi indomaret tdk berjarak sama sekali dengan pedagang eceran,yang seharusnya itu tdk boleh. Sebab akan berdampak buruk bahkan usaha para pedagang bisa terancam tutup. Seharusnya pemerintah daerah sebelum mengeluarkan izin harus berpedoman pada pepres no 112 tahun 2007,”katanya via telepon, Rabu (29/1/2020).
Mantan aktivis Universitas Hasanuddin (Unhas) ini melanjutkan, “Sedangkan pada huruf b dijelaskan, memperhitungkan jarak hipermartket dan pasar tradisional yang telah ada sebelumnya. Kemudian pasal 13 harus ada studi kelayakan termasuk analisis mengenai dampak lingkungan,terutama aspek sosial budaya dan dampaknya bagi pelaku pedagang UKUM setempat,”terangnya.
Dikatakan, acuan pihak Dinas Perijinan perlu meninjau ulang syarat sesuai Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2018 tentang pelayanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik. Sementara, pasal 44 ayat 1 dijelaskan, pemerintah daerah yang belum memiliki RTRW/RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) dalam jangka waktu 6 bulan sejak peraturan pemerintah ini diundangkan, wajib menetapkan RDTR untuk kawasan industri atau kawasan usaha sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Pada pasal 45 juga ayat 3 ditegaskan, RDTR kabupaten/kota sebagaimana di maksud pada ayat 2 menjadi dasar penempatan tempat lokasi usaha dan atau kegiatan dalam penerbitan izin lokasi.
Juslan mengkhawatirkan, keberadaan indomaret akan berimbas pada ekonomi mikro Koltim yang notabene sebagai daerah otonomi baru. Karena ruang berusaha bagi pedagang semakin sempit, terutama mereka yang sedang berjuang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dengan menggunakan modal kecil. Secara perlahan-lahan usaha mereka akan terlibas.
“Dari segi perputaran uang, yang seharusnya uang tersebut harus masuk kantong pedagang eceran kemudian di investasikan lagi atau di putar lagi,justru malah masuk kekantong korporasi yang membawa uang keluar dari Koltim. Kalau beralasan membuka lapangan pekerjaan, saya kira akan lebih bijak jika pemerintah daerah membina pedagang UMKM Koltim ke arah yang lebih modern,”.
Baca Juga : Kantor DPRD Koltim Dilempari Tomat Busuk
“Justru dengan banyaknya pedagang lokal yang mandiri dan modern, saya kira mereka akan secara otomatis menciptakan lapangan pekerjaan bahkan akan jauh lebih banyak ketimbang indomaret.Intinya kebijakan publik itu harus di pikirkan lebih komperhensif agar nantinya kebikan bisa berkulitas dan berpihak pada kepentingan masyarakat khususnya masyarakat koltim,”sambungnya.
Kepala Dinas Penanaman Modal dan Perijinan Terpadu Satu Pintu (DPM PTSP), Udin saat dikonfirmasi melalui selulernya, siang ini, tidak bersedia mengangkat.
Kepala Bidang Pelayanan Perizinan & Non Perizinan Wilayah II Dinas Penanaman Modal dan Perijinan Terpadu Satu Pintu (DPM PTSP), Agung Dwi Lesmono Sauala yang hendak dikonfirmasi baik melalui pesan WhatsApp, telepon maupun via SMS juga tidak bersedia memberikan keterangan apa-apa. (A)
Kontributor : Samrul
Editor : Abd Saban