RUU Pertanahan : Berjiwa Nasionalis atau Kolonialis

Safrin Salam, S.H., M.H.
Safrin Salam, S.H., M.H.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan-Peraturan Dasar Pokok Agraria
sebagai induk Hukum Agraria Nasional Indonesia yang selanjutnya disebut dengan UUPA
selama kurun waktu 59 tahun telah ditetapkan dan dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia sebagai payung hukum pengelolaan hukum agraria di Indonesia. Keampuhan UUPA yang telah berhasil menghapuskan dualisme hukum pengaturan pertanahan di Indonesia saat itu telah memberikan rasa kemerdekaan pemilik tanah Pribumi dan non pribumi hingga sekarang. UUPA dengan segala perangkat pengaturan hukum didalamnya (Mengatur Subjek, Objek, Ruang Lingkup, Hubungan subjek-objek, prinisp-prinsip hukum hak atas tanah bahkan pengaturan sanksi pidana hak atas tanah) telah memperkuat posisi warga negara indonesia atas penguasaan hak atas tanah di Indonesia dalam rangka mewujudkan keadilan sosial atas tanah.

Pada Tahun 2015 tepatnya pada tanggal 2 Februari 2015, Dewan Perwakilan Rakyat
Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakya Daerah Republik Indonesia melalui 4 (empat) fraksi yakni Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai
Kebangkitan Bangsa dan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengajukan Rancangan Undang-Undang Pertanahan. (www.dpr.go.id/prolegnas/index/id/5)

DPR RI sebagai representasi rakyat Indonesia tentu memiliki latar belakang mengajukan RUU Pertanahan atas keberadaan UUPA. Namun publik pun bertanya terkait keberadaan RUU Pertanahan. Pertama : Apakah RUU Pertanahan merupakan RUU PENGGANTI UUPA ataukah ia hanya sebagai UU Sektoral ? Apakah substansi RUU Pertanahan telah merepresentasikan keinginan rakyat Indonesia atas penguasaan tanah (petani, masyarakat adat, dll) ? apakah RUU Pertanahan mampu mereduksi jumlah konflik agraria di indonesia ? apakah RUU Pertanahan mampu mewujudkan keadilan sosial atas tanah kepada Rakyat Indonesia ?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul dari respon publik yang dilandasi oleh keinginan
rakyat Indonesia terhadap Negara agar mampu menghadirkan keadilan sosial atas pengelolaan tanah di Indonesia.

Spirit Nasionalis Vs Spirit Kolonialis

RUU pertanahan apabila dibandingkan dengan UUPA dari sisi Jumlah Pasal maka
RUU Pertanahan memiliki pengaturan pasal lebih banyak dibanding UUPA. RUU Pertanahan
berjumlah 102 Pasal sedangkan UUPA berisi 58 pasal disertai dengan 9 Pasal ketentuan
Peralihan. Dari sisi jumlah pasal yang mengatur RUU Pertanahan lebih banyak dibanding
UUPA. Banyaknya Pasal yang diatur didalam UUPA dapat disadari dengan adanya pengaturan tambahan yang tidak diatur didalam UUPA yakni 1) Hak Pengelolaan yang dilekati hak atas tanah lainnya 2) Hak Pengelolaan oleh Pihak Ketiga (Domeinverklaring Model Reformasi), 3) Masyarakat Hukum Adat dan Hak Ulayat, 4) Pendaftaran Hak Atas Tanah Bernuansa Domeinverklaring, 5) Penyelesaian Konflik Pertanahan, 6) Pengadilan Pertanahan, 7) Hukum Acara Pertanahan (Pengaturan Hakim dan Panitera), 8) Sanksi TORA.

Dari pengaturan-pengaturan tersebut ada 2 (dua) hal yang menarik untuk direspon yakni :
1) Hak Pengelolaan yang dilekati hak guna bangunan dan hak pakai dengan jangka waktu yang diberikan kepada PIHAK KETIGA; 2) Hak Atas Tanah yang TIDAK TERDAFTAR MENJADI MILIK NEGARA. Pada poin pertama, hak pengelolaan dapat diberikan oleh Negara kepada pihak ketiga. Pada RUU Pertanahan pengaturan pihak ketiga yang dimaksud tidak diatur siapa ? Bagaiamana pengaturannya ? Sampai kapan ? dan masih banyak pertanyaan lain. Begitu pula pada poin kedua, hak atas tanah (Hak Milik, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Guna Bangunan YANG TIDAK DIDAFTARKAN menjadi MILIK NEGARA merupakan bentuk domeinverklaring yang diatur dalam peraturan pertanahan kolonial yakni perwujudan Agrarisch Wet 1870. Prinsip domeinverklaring ini sangat terang dan jelas pada jenis hak atas tanah yang tidak didaftarkan menjadi milik neegara. Pengaturan pendafataran tersebut juga termasuk tanah ulayat yang secara jelas oleh Negara dipaksa untuk didaftarkan. Ketentuan-ketentuan seperti ini tentu sangat jauh dari rasa keadilan sosial yang diinginkan oleh warga Negara indonesia khususnya masyarakat hukum adat yang oleh rezim RUU Pertanahan ini bisa diprediksi bahwa keberadaan hak ulayat masyarakat hukum atas tanah ulayat menjadi hilang termasuk hak atas tanah oleh warga Negara Indonesia yang secara bertahap kepemilikannya beralih kepada NEGARA.

 

Oleh : Safrin Salam, S.H., M.H.
Penulis Merupakan Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Buton

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini