ZONASULTRA.COM. Di tengah hiruk pikuk perayaan Hari Pers Nasional (HPN) di Banjarmasin, dus penghargaan diterima kepala daerah Sultra karena dipuji memerdekakan pers, ada serpihan duka di pulau Buton.
Ini tentang jurnalis, ditahan karena tulisannya di media.
Muh. Sadli Saleh. Usianya 33 tahun. Jurnalis media online di Buton Tengah, Sultra. Alumni IPB. Sudah beristri dan punya anak. Dia pimpinan redaksi liputanpersada (dot) com. Saat ini meringkuk di dalam penjara. Lapas kota Baubau. Sejak tanggal 17 Desember 2019. Sudah disidang. Di Pengadilan Negeri Pasarwajo. Menunggu putusan hakim.
Sadli meringkuk di penjara karena menulis editorial di medianya. Judunya: “Abracadabra: Simpang Lima Labungkari Disulap Menjadi Simpang Empat”.
Sadli menulis, dalam KUA-PPAS Kabupaten Buton Tengah tahun 2018 anggaran penataan yang ditetapkan Rp 4 miliar. Namun, dalam pelaksanaannya hampir melejit menjadi Rp6,8 miliar.
Sadli heran atas hal itu karena semestinya perencanaan anggaran telah dilakukan dengan matang.
“Pertanyaannya, anggaran untuk 2 milyar lebih menjadi Rp 6 milyar sekian disulap lagi untuk apa? tulis Sadli.
Sadli lantas mengirimkan tulisan editorial itu melalui Facebook dan Whatsapp.
Atas tulisannya itu, dia dilaporkan oleh Bupati Buton Tengah (Buteng) Samahuddin melalui kepala bagian hukumnya, Akhmad Sabir. Alasannya, karena institusinya tercemar nama baiknya. UU ITE dipakai. UU 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Khususnya, Pasal 45A ayat 2 dan Pasal 45 ayat 3. Masih kurang. Lalu dilapis dengan Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 28 ayat 2.
Intinya, dia dianggap menyebar informasi yang isinya menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan sementara. Juga pencemaran nama baik.
Ancaman hukumnya 4 tahun dan 6 tahun.
Sebegitu susahnya pelapor menggunakan hak jawab dan hak koreksi –bila keberatan dengan suatu berita–sebelum melapor. Padahal, itu jelas rujukannya ada di UU Pers Nomor 40 Tahun 1999. Pasal 5 dan Pasal 3.
Atau bila tak puas, dapat lapor ke Dewan Pers. Atau tempuh upaya perdata. Gugat media dan jurnalisnya pakai KUHPer. Ini yang dalam MoU antara Polri dan Dewan Pers disebut: laporan bertahap dan berjenjang. Ditandatangani tahun 2017 oleh Kapolri Tito Karnavian dan Ketua Dewan Pers.
Ada juga dua putusan Mahkamah Kontitusi. Nomor 31 Tahun 2015. Dan yang terbaru, pada November 2019. Dalam kasus Agus Slamet dan Komar Raenudin vs Wali Kota Tegal, Siti Mashito
Intinya, menyatakan pejabat yang merasa dirugikan nama baiknya harus lapor sendiri ke polisi –sebagai warga biasa–dan tak bisa diwakili atau dikuasakan. Atau orang lain mengaku mewakili pejabat itu.
Apakah Bupati Buteng Samahuddin sudah tahu, atau dikasih tahu, soal ketentuan ini oleh stafnya? Saya koq tak yakin. Maafkan.
Teruntuk Sadli, tak usah sedih.
Kuatlah, bung!
Dua puluh satu tahun lalu, tempat Anda terpenjara saat ini, pernah saya tapaki. Dingin. Terkekang.
Anggaplah itu senam lahir batin untuk lenturkan otot. Mengolah ketenangan jiwa.
Menulislah terus. Sambil terus berdoa, majelis hakim yang adili kasusmu, membebaskanmu dari semua tuntutan.
Saya yakin dari dalam penjara tulisanmu akan lebih keras. Jauh lebih tajam. Menyalak pada kekuasan yang amat pongah.
Tak usah takut.
Semua yang tidak membunuhmu, akan membuatmu jauh lebih kuat.
Oleh Erwin Usman