ZONASULTRA.ID – Wisuda itu dari bahasa Jawa. Wisudha. Artinya, pelantikan bagi orang yang telah menyelesaikan pendidikan. Dulu waktu saya dan orang seumuranku sekolah, istilah wisuda itu sakral sekali. Tidak sembarang orang menggunakannya.
Kepalaku memaknai bahwa wisuda hanya untuk mereka yang selesai pendidikannya di perguruan tinggi. Terminal terakhir perjuangan melelahkan menuntut ilmu. Dianggap telah selesai pencarian bekal hidupnya. Siap-siap memasuki kehidupan sebenarnya.
Seperti anak ayam yang memisah dari induknya. Mulai mengais rejeki dengan tangan dan kakinya sendiri. Membentuk jati diri sendiri, lepas dari bayang-bayang orangtua.
Tradisi wisuda adalah riang gembira dan rasa syukur. Perayaan. Ada yang mengekspresikannya dengan makan-makan. Undang orang banyak.
Lalu orang-orang seumuranku, beberapa tahun di atas dan di bawahku, yang tidak mengenal kata wisuda ketika bersekolah, yang kini anaknya ada yang di TK, SD, SMP, SMA, merayakannya dengan “mewisuda” anak-anaknya ketika tamat di jenjang pendidikan pra
sekolah, dasar, dan menengah itu.
Anak-anak TK yang masih sedemikian polos mereka dandani “secantik-cantiknya” menyerupai orang dewasa, dipakaikan toga. Padahal, kata toga sebenarnya berarti penutup, yang diadopsi dari Bahasa Latin, tego. Maksudnya, penutup dari seluruh
rangkaian pencarian ilmu.
Nah, anak TK itu alih-alih tutup. Mereka malah belum dibuka sama sekali, karena masih pra sekolah. Belum sekolah. Tiba-tiba harus pakai toga. Universitas Oxford dan Cambridge adalah perguruan tinggi yang mula-mula menggunakan pakaian kelulusan dalam bentuk
toga wisuda. Bukan sekolah taman-kanak-kanak.
Mudah-mudahan tidak ada kelatahan seremoni memindahkan tali toga dari kiri ke kanan saat anak- anak TK itu “diwisuda”. Pemindahan itu simbolis yang punya makna tersendiri. Agar mereka yang tamat mulai lebih banyak menggunakan otak kanan ketimbang otak kirinya.
Kalau saat kuliah lebih banyak pakai otak kiri atau hardskill, setelah terjun ke masyarakat harus lebih banyak pakai otak kanan yang berhubungan dengan imajinasi, inovasi, kreativitas, atau softskill lainnya.
Nah, dari serangkaian salah kaprah tadi, pelaksanaan wisuda bagi anak TK hingga SMA sesungguhnya bagian ini yang paling utama. Yakni, keinginan aktualisasi para orangtua. Mereka yang heboh. Lalu yang tampil di mata kita semua adalah anak SD yang joget-joget, parade pakaian mewah, dandanan mewah, acara di hotel mewah.
Keluarga yang tak punya daya memaksakan diri atas nama malu dan tidak enak. Mereka yang benar-benar tak sanggup memilih menyisih. Dari sanalah kita memamerkan apa yang kita sebut dengan kesenjangan. Lalu kita sekolah untuk apa sebenarnya?
Penulis: Andi Syahrir