Seksualitas dalam Cengkraman Kuasa Media

Seksualitas dalam Cengkraman Kuasa Media
Dasmin Ekeng

Membicarakan seksualitas dalam budaya Indonesia yang khas ketimuran, masih dianggap tabu dan kurang baik. Hal ini dimanfaatkan oleh kapitalisme sebagai sebuah ruang eksploitasi berwajah berita.

Sehingga seksualitas menjadi komoditas konten yang dimanfaatkan di meja-meja redaksi. Michael Foucault memaparkan pandangannya bahwa ketika seksualitas ditekan atau mengalami represi maka segala sesuatu yang berbau seksualitas akan menjadi komoditas.

Ketika seksualitas ditekan dan mengundang kontroversi di ruang publik, pemilik modal melihatnya sebagai pasar besar yang diolah dalam bentuk berita sehingga secara otomatis berita seputar seks membentuk citra tersendiri di masyarakat.

Sebagai referensi kasus misalnya pada awal tahun 2019 lalu ada peristiwa prostitusi online yang mencapai tarif 80 juta rupiah menghebohkan jagat publik negeri ini. Selama lebih kurang seminggu seluruh perangkat media massa ambil bagian mengangkat beritanya. Kemudian belum lama ini yang sementara trending, seorang selebgram yang tersangkut kasus yang sama.

Meskipun berita yang berbau seks mendapat cibiran tetapi selalu mengundang dorongan dari konsumen berita untuk dibaca. Makanya tidak heran jika berita-berita yang bernuansa seksualitas selalu mendapat ruang tersendiri di mata pembaca.

Kebebasan pers sejatinya menciptakan ruang publik (public sphere), dalam sistem demokrasi masih terkendala legitimasi penguasa dan intervensi kepentingan modal. Artinya pers selama ini masih tidak bisa keluar dari banyang-bayang politik penguasa dan kepentingan pemilik media.

Dalam pandangan kritisnya Idi Subandy Ibrahim mengatakan salah satu peran media yakni sebagai “Tuhan”, pandangan ini dipahami bahwa apa pun konten yang diproduksi media adalah sebuah kebenaran. Ibaratnya media sebagai perpanjangan tangan “Tuhan” tadi.

Sebuah penelitan dari Thomas Hanitzsch tentang cara-cara kerja pers di dunia, salah satu penelitannya tentang pers nasional (Indonesia). Profesor Jerman tersebut menemukan sebuah fakta yang cukup unik, bahwasanya cara kerja pers Indonesia bersifat kolaboratif-fasilitatif dan cenderung sebagai “humas pemerintah”. Jadi berdasarkan temuan tersebut akan susah kita menemukan sebuah media di Indonesia yang kritis terhadap penguasa.

Pada ruang yang berbeda ada sebuah kajian menarik tentang bisnis media, yakni Ekonomi Politik Media. Dalam kajian tersebut ada beberapa pintu masuk untuk memahaminya. Salah satunya melalui pintu masuk komodifikasi. Dalam komodifikasi pun masih diurai dalam beberapa bentuk, salah satunya adalah komodifikasi konten.

Komodifikasi oleh Vincent Moscow dipahami sebagai transformasi barang atau jasa yang semula dinilai karena gunanya, dikemas menjadi sebuah komoditas yang bernilai  pasar  dan mendatangkan keuntungan lebih.

Jika diumpakan berita yang bernuasa seksualitas adalah barang, maka media yang awalnya cukup mewartakan hal-hal yang bersifat faktual di tempat kejadian, namun media melihat topik seks mempunyai nilai pasar, kemudian dikemas lagi menjadi sesuatu yang menarik.

Sehingga hal-hal yang berkaitan dengan privasi ikut terbawah dalam kemasan konten berita yang dikonsumsi di ruang publik. Jadi tidak heran ketika media terus mem-blow up sebuah konten seks selama berhari-hari, sejatinya bukanlah informasi yang penting untuk dikonsumsi publik tapi semata-mata karena kepentingan bisinis media tadi.

Terkahir saya ingin mengatakan selain kepentigan bisnis media, Noam Chomsky seorang kritikus media asal Amerika dalam bukunya “Politik Kuasa media” mendengunkan bahwa fakta di media massa hanyalah hasil rekonstruksi dan olahan para pekerja redaksi. Sulit untuk mengatakan bahwa apa yang mereka tulis adalah sebuah fakta yang sebenarnya.

 


Oleh : Dasmin Ekeng
Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi/Jurnalistik FISIPOL UHO

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini