Senjakala Penyuluh Pertanian

238
Andi Syahrir
Andi Syahrir

Di masa lalu, ada kisah heroik yang melegenda di keseharian masyarakat pedesaan. Bahwa hanya ada dua profesi yang sebelah kakinya sudah berada di dalam surga. Pertama adalah bidan. Kedua adalah penyuluh pertanian.

Bidan dianggap mulia karena menyelamatkan nyawa manusia. Penyuluh pertanian dinilai terhormat karena mengurusi perut manusia demi kelangsungan hidup. Semnua bermuara pada selamatnya nyawa manusia.

Lalu muncul anekdot yang menyatakan jika mau kedua kaki masuk surga, bidan dan penyuluh pertanian sebaiknya bersatu. Maksudnya, menikah. Dalam perjalanannya, memang banyak penyuluh pertanian yang menikah dengan bidan. Meskipun tidak sedikit penyuluh pertanian yang menikah dengan anak kepala desa….hehehe.

Apa artinya? Bahwa di masa lalu, penyuluh pertanian adalah profesi yang bonafid. Menempati strata sosial tinggi di masyarakat (pedesaan). Pemerintah bahkan membuat sekolah yang ketika selesai, mereka langsung terangkat menjadi pegawai negeri berstatus penyuluh.

Bagaimana sekarang? Saya akan berbicara dalam konteks Sultra yang sesungguhnya dapat menjadi cerminan secara nasional. Total jumlah penyuluh baik yang ASN maupun yang kontrak saat ini hanya sebanyak 1.010 orang yang tersebar di 16 dari 17 kabupaten/kota.

Kabupaten Konawe Kepulauan, satu-satunya kabupaten yang belum memiliki penyuluh pertanian ASN dan tenaga kontrak yang dibiayai APBN yang disebut dengan Tenaga Harian Lepas Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL-TBPP). Syukur, baru-baru ini pemda setempat mengangkat 40 orang penyuluh kontrak yang dibiayai APBD-nya.

Dari jumlah 1.010 orang sekitar 46 persen penyuluh yang berusia di atas 50 tahun. Ada dua hal yang dapat dijelaskan dari angka itu. Pertama, penyuluh pertanian kita sudah tua-tua. Mereka sudah lamban. Kebanyakan sudah tak mampu mengupdate perkembangan teknologi. Mereka sudah tertinggal kereta peradaban.

Kedua, dalam 10 tahun ke depan (penyuluh pertanian dapat pensiun hingga usia 60 tahun), akan terjadi penurunan jumlah penyuluh hingga sekitar 460 orang. Tersisa sekitar 550 orang dalam rentang waktu itu.

Idealnya, satu penyuluh mendampingi satu desa/kelurahan. Sultra memiliki kurang lebih 2.329 desa/kelurahan. Dengan demikian, pada jumlahnya yang 1.010 saja, Sultra telah kekurangan lebih dari separuh penyuluh pertanian. Apalagi dalam 10 tahun mendatang.

Ini adalah kekhawatiran besar mengingat penyuluh pertanian berada di bawah kendali pemerintah daerah kabupaten/kota. Dalam artian, mereka yang memiliki kewenangan mengangkat dan sekaligus menggerakkan penyuluh.

Jika ketemu kepala daerah yang peduli terhadap pertanian dan menyadari peran strategis penyuluh pertanian, maka penyuluhan akan berkembang. Tapi jika mendapati kepala daerah yang perhatiannya tidak kesana, maka nasib penyuluhan bersama dengan penyuluhnya benar-benar berada di senjakala.

Kabar buruknya, ke-senjakala-an penyuluh di Sultra telah di ambang pintu. Ada beberapa alasan. Pertama, mereka yang saat diangkat sebagai ASN dengan formasi penyuluh pertanian, begitu berstatus ASN 100 persen, banyak yang tidak ditugaskan sebagai penyuluh pertanian.

Kedua, penyuluh pertanian yang pangkatnya dianggap memenuhi syarat menduduki jabatan struktural, kerapkali tergiur karena timbangan-timbangan kesejahteraan yang lebih baik. Ini juga menjadi koreksi besar atas cara pandang kita terhadap jabatan struktural vs fungsional.

Ketiga, laju penyuluh pertanian yang pensiun dengan yang diangkat tidak sebanding. Dalam artian, lebih banyak penyuluh yang pensiun ketimbang mereka yang diangkat/terangkat.

Itu juga diperparah dengan sikap “pragmatis” sejumlah ASN. Banyak ASN yang menjelang memasuki pensiun, mendadak beralih menjadi penyuluh pertanian. Untuk apa mereka pindah? Mereka sudah tua. Tidak lagi mampu bekerja optimal.

Akhirnya, perlu ada kebijakan yang cukup radikal untuk tetap menghidupkan penyuluhan. Jika tidak, nasibnya akan beriringan dengan dengan petani yang kian menua dan susut. Lalu pada akhirnya, kita mendapati negeri “agraris” ini menjadi pengimpor pangan.***

 

Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini