Setelah Freeport Diakuisisi, Giliran Vale

Erwin Usman
Erwin Usman

Akuisisi. Diambil alih. Dicaplok sahamnya. Kalau UU Minerba menyebutnya divestasi. Langkah ini sebelumnya sudah diterapkan pemerintah Jokowi.

Tepatnya setahun lalu. Pada raksasa tambang asal Amerika Serikat, PT Freeport Indonesia (PTFI). Jokowi menggebrak. 51% sahamnya diambil. Artinya Indonesia jadi pemilik saham mayoritas.

Walau awalnya banyak yang pesimis. Mengingat sejak ada di Indonesia tahun 1967, Freeport adalah entitas korporasi yang seolah tak tersentuh hukum negara. Dia diibaratkan negara dalam negara. Milik negara adidaya AS. Jangan diganggu. Jangan digugat.

Setelah di Freeport, kini Jokowi mengebrak lagi. Mengambil alih 20% saham PT Vale Indonesia Tbk (INCO). Raksasa tambang asal Brazil. Perintah Jokowi sudah keluar. Akuisi melalui holding BUMN tambang nasional PT Indonesia Alumnium-Inalum (Persero) yang kini muncul dengan branding baru Mining Industry Indonesia. MIND ID.

“Vale, sudah Inalum ditunjuk kok, sudah selesai,” kata Dirjen Minerba ESDM Bambang Gatot di Jakarta pada Senin (7/10/2019).

Bambang menegaskan pemerintah telah resmi menunjuk MIND ID sebagai holding tambang untuk akuisisi saham Vale.

Vale tidak keberatan. Sebelumnya bos Vale datang langsung dari Brazil, untuk berjumpa Jokowi di istana negara. Tanggal 23 September 2019.

Tindakan akuisi ini juga konstitusional. Sesuai kewajiban yang tertuang dalam Kontrak Karya (KK) dan UU Mineral dan Batubara No 4/2009. Teknisnya diatur dalam PP No.77/2014.

Intinya dari deretan peraturan itu, Vale wajib melepas 40% sahamnya secara bertahap pada pemerintah Indonesia. Saham 20% sudah dilepas lebih dulu pada 1990-an melalui Bursa Efek Indonesia.

Kini sisanya yang 20%. Tenggat waktu divestasinya bulan Oktober 2019.

Akuisisi saham ini juga diikuti berubahnya sistem Kontrak Karya Vale menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus atau IUPK.

Berdasarkan laporan keuangan Juni 2019, struktur kepemilikan Vale yakni Vale Canada sebesar 58,73% (Penanaman Modal Asing/PMA), Sumitomo Metal Mining Co Ltd (20,09% (PMA), Vale Japan Ltd 0,55% (PMA). Berikutnya, Sumitomo Corporation 0,14% (PMA) dan publik 20%.

Vale adalah salah satu korporasi tambang bijih nikel dan besi terbesar di dunia. Di Indonesia sudah ada sejak tahun 1968. Masuk di awal rezim Orba dengan pola Kontrak Karya (KK).

Wilayah tambangnya berada di tiga provinsi. Sulawesi Selatan (merupakan pusat operasional tambang yang lokasinya di Sorowako), Sulawesi Tengggara (Sultra) dan Sulawesi Tengah (Sulteng).

Saat masuk pertama kali tahun 1968, luasan tambangnya 6,6 juta hektar (!). Namun, sejak renegosiasi tahun 2014 luas lahannya tersisa 118.435 hektar. Jumlah ini artinya tinggal 1,8% dari luasan awal yang tercantum dalam KK.

Walau sudah 51 tahun beroperasi, Vale ‘hanya’ mengelola dan ‘menjaga’ lahan KK-nya yang ada di pusat tambangnya. Di Sorowako, Kabupaten Luwu Timur, Sulsel.

Adapun lahan yang di provinsi Sultra dan Sulteng, dibiarkan. Ada banyak masalah di dua lokasi ini. Dari soal konflik agraria, tumpang tindih izin, hingga janji Vale mau membangun pabrik pengolahan bijih (smelter)–agar tidak eksport tanah air semata– senyatanya hanya sebatas bualan.

Dengan penguasaan 40% atas kepemilikan Vale ini, diharapkan kontrol negara atas jalannya operasi perusahaan dapat lebih maksimal. Lebih bergigi.

Tidak sebatas bisnis semata. Tapi juga dalam soal penghormatan hak asasi rakyat.

Juga jangan dilupakan: soal ekologi-nya. Untuk terakhir ini, sorotan aktivis pegiat lingkungan hidup sudah banyak tersebar luas, baik dalam bentuk buku, maupun catatan laporan studi investigasi. Saatnya dibenahi. Dilakukan perbaikan.

Kita tunggu gebrakan Jokowi berikutnya!

Dia yang tahu, tidak berbicara. Dia yang berbicara, tidak tahu (Lao Tzu). ***

 

Oleh: Erwin Usman
Penulis adalah Direktur Indonesia Mining and Energy Studies (IMES)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini