Soal Desa Fiktif, Pengamat: Tak Ada Desa Dibentuk dalam Sekejab

Effendi Kalimuddin
Effendi Kalimuddin

ZONASULTRA.COM,KENDARI– Pembentukan desa di setiap kabupaten harus berdasarkan peraturan daerah (Perda) atas kesepakatan bersama pemerintah daerah (Pemda) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat.

Proses pembentukan perdanya membutuhkan waktu yang tidak singkat karena harus melalui berbagai tahapan, mulai dari pengusulan, pembahasan, evaluasi hingga ditetapkan dan diundangkan sebagai aturan yang bersifat tetap dan dijadikan dasar hukum pelaksanaan kebijakan pemerintah.

Pengamat Hukum Effendi Kalimuddin, menjelaskan dalam hal proses pembentuk produk hukum berupa Perda harus dilakukan berdasarkan aturan yang berlaku dalam Undang-undang (UU) nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah.

Bahwa setiap perda yang diusulkan Pemda ke DPRD dan telah disepakati bersama, diusulkan ke Gubernur melalui Biro Hukum untuk dilakukan evaluasi dan pengkajian ulang sebelum ditetapkan dan diundangkan.

(Baca Juga : KPK Selidiki Dalang Desa Fiktif Penyedot Duit Negara di Konawe)

“Kalau ada perbaikan maka harus dilakukan penyempurnaan, tapi kalau sudah aman dan dinyatakan sudah cocok dan tidak menyalahi payung hukum diatasnya. Maka Pemda dan DPRD bisa menetapkan perda itu dan diudangkan,” katanya melalui sambungan telepon seluler, Jumat (8/11/2019).

Perihal Perda pembentukan desa, Mantan Kepala Biro Hukum Setda Sultra itu mengatakan, prosesnya sama dengan perda lainnya. Bahkan, pembentukannya pun tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat atau sekejab.

Karena harus melalui proses pembahasan di dewan yang disebut pembicaraan tingkat I dan II sampai dicapai persetujuan.

Persetujuan itu dibuktikan dengan adanya penandatangan kedua belah pihak yaitu Pemda dan dewan, selanjutnya Raperda dikirim kepada Gubernur untuk dilakukan fasilitas dan evaluasi dan dimintakan nomor register.

(Baca Juga : Soal Desa Fiktif, Polda Sultra Temukan 2 Desa Tak Berpenghuni di Konawe)

“Pemberian nomor register perda ini berurutan sehingga tidak mungkin ada dua nomor yang sama untuk dua perda yang berbeda substansinya,” ungkapnya.

Menanggapi soal isu desa fiktif di Konawe, dirinya enggan berkomentar banyak, hanya saja hal yang terpenting untuk mencari tahu faktanya adalah dengan mengecek langsung Perda tentang pembentukan desa definitif yang telah diterbitkan Pemda setempat.

Karena dengan begitu maka akan ketahuan, apakah desa yang dinyatakan fiktif itu terdapat dalam Perda pembentukan desa atau tidak.

Dalam Undang-undang (UU) Nomor 6 tahun 2014 tentang desa dijelaskan pembentukan desa harus memenuhi sejumlah persyaratan, yakni batas usia dari desa induk paling sedikit 5 tahun terhitung sejak pembentukan.

Kemudian dari jumlah penduduknya paling sedikit 2.000 jiwa atau 400 kepala keluarga (KK). Pembentukan desa baru dilakukan melalui desa persiapan.

(Baca Juga : KPK Turun Tangan Usut Kasus Desa Fiktif di Konawe)

Desa persiapan merupakan bagian dari wilayah desa induk dan dapat didefinitifkan sebagai desa dalam jangka waktu satu sampai tiga tahun.

Selanjutnya, Perda tentang pembentukan, penghapusan, penggabungan, atau perubahan status desa menjadi kelurahan atau kelurahan menjadi desa yang telah mendapatkan persetujuan bersama kepala daerah dengan DPRD harus diajukan kepada Gubernur.

Gubernur akan melakukan evaluasi berdasarkan urgensi, kepentingan nasional, kepentingan daerah, kepentingan masyarakat desa dan atau peraturan perundang-undangan.

Gubernur menyatakan persetujuan terhadap rancangan itu paling lama 20 hari setelah menerima Raperda. Apabila Gubernur memberikan persetujuan maka Pemda melakukan penyempurnaan dan penetapan menjadi Peraturan Daerah (Perda) paling lama 20 hari.

Tapi apabila ditolak, Raperda tersebut tidak dapat disahkan dan tidak dapat diajukan kembali dalam waktu 5 tahun setelah penolakan oleh Gubernur.

Namun ketika Gubernur tidak memberikan respon apapun terhadap Raperda tersebut dalam jangka waktu yang dimaksud, maka Bupati dapat mengesahkan Raperda tersebut serta sekretaris daerah mengundangkannya dalam lembaran daerah.

Perda pun dapat diundangkan setelah mendapat nomor registrasi dari Gubernur dan kode Desa dari Menteri.

Untuk diketahui, kabupaten Konawe tengah menjadi perhatian pemerintah pusat karena diduga ada desa fiktif yang dibentuk pemerintah setempat serta menerima dana desa sejak tahun 2015 silam.

Padahal hasil investigasi, desa itu tidak berpenghuni atau disebutkan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani sebagai desa siluman penyedot uang negara.

Tiga desa di Konawe itu pun mencuat dan diduga fiktif yakni Desa Ulu Meraka, Kecamatan Lambuya, Desa Uepai, Kecamatan Uepai dan Desa Morehe, Kecamatan Uepai. (a)

 


Reporter: Ilham Surahmin
Editor : Kiki

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini