ZONASULTRA.ID, LAWORO – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Muna Barat (Mubar) telah membayar ganti rugi tanaman warga yang berada di lahan perkantoran Bumi Praja Laworo.
Meski sudah memberikan ganti rugi tanaman, masih ada juga oknum yang tidak puas sehingga menyebut Bahri pembohong dan mempermasalahkan tanah di kompleks tersebut.
Bahri menegaskan tanah yang berada di kompleks tersebut adalah tanah yang diserahkan oleh pemerintah Muna kepada Muna Barat. Tanah tersebut berstatus kawasan hutan peruntukan lainnya (HPL).
Ia menjelaskan, tanah yang diserahkan kepada Pemerintah Muna Barat sebanyak 250 hektare sebagai kelengkapan terbentuknya pemekaran Muna Barat berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2014.
Dalam proses ini, tambah Bahri, ada proses pernyataan masyarakat menghibahkan seluruh tanahnya kepada pemerintah saat itu.
“Ketika saya datang, tanah itu dikuasai oleh masyarakat. Olehnya itu, karena tanah ini milik pemerintah, maka yang kita lakukan bukan ganti rugi tanah. Melainkan kita melakukan ganti rugi tanaman yang ada di tanah tersebut. Dan ganti rugi ini kita sudah berikan,” kata Pj Bupati Mubar, Bahri ditemui di Kantor Camat Barangka, Senin (23/10/2023).
Bahri melanjutkan, terkait polemik di kompleks perkantoran Bumi Praja Laworoku ini diberlakukan pengenaan dampak sosial yang termuat dalam Perpres Nomor 62 Tahun 2018 dan Menteri ATR/BPN Nomor 6 tahun 2020.
Karena berlaku dampak sosial maka tahapannya mulai dari persiapan, pendataan atau verifikasi, penatapan penilai, pemberian santunan atau relokasi, dan tahapan penitipan uang santunan jika ada masalah. Serta tahapan dokumentasi dan pengadministrasian.
“Dalam tahapan persiapan ini, maka saya harus melakukan penganggaran dan menyusun dokumen kepada Gubernur Sultra karena kewenangan dampak sosial ini adalah kewenangan gubernur. Jadi, dalam konteks persiapan anggaran, saya datang ke kompleks perkantoran ini untuk melihat kira-kira saya mau menganggarkan berapa dan butuh asumsi atau standar biaya berdasarkan NJOP. Misalkan 5ribu sampai 10 ribu, dan ini menjadi dasar kita menganggarkan di APBD,” jelasnya.
Bahri menambahkan, dirinya ogah disebut sebagai pembohong. Pasalnya, yang ia katakan asumsi berdasarkan NJOP 5 ribu sampai 10 ribu itu dalam rangka penganggaran di APBD. Kemudian, dalam pelaksanaannya tidak boleh dipakai bahasanya. Melainkan berdasarkan penilaian appraisal.
“Jadi, 61 pemilik ganti rugi tanaman ini sudah menerima uang dan termuat dalam berita acara. Inilah langkah yang kita lakukan,” bebernya.
Bahri tidak mempersoalkan dirinya didemo karenademonstrasi itu adalah hak semua warga negara Indonesia dan dilindungi undang-undang. Terkait demonstrasi ini, ia tetap bertahan dengan regulasi yang ada.
“Jadi, jika para demonstran tidak menerima kebijakan saya. Indonesia ini negara hukum dan salah satu demonstrannya adalah seorang pengacara. Saya mempersilahkan menggugat di pengadilan. Nanti, pengadilan yang memutuskan. Jika, saya salah dan harus anggarkan ganti rugi lahan. Maka, saya anggarkan ganti rugi lahan di APBD. Ingat yang bisa memerintah ini pengadilan dan BPK, ini dasar saya untuk menganggarkan,” ungkapnya.
“Saya pingin demonstran yang bernama Firman ini silakan gugat saya di pengadilan. Nanti kita ketemu di pengadilan. Nanti diuji apakah langkah yang kami ambil salah atau benar,” tambahnya. (bds)
Kontributor: Kasman
Editor: Jumriati