Soal Serapan Tenaga Kerja di Sultra, Pertanian Lebih Berpotensi daripada Pertambangan

DISKUSI PUBLIK - Diskusi publik dengan mengusung tema 'Menakar peran perbankan dalam mendorong kinerja sektor pertambangan' di salah satu hotel di Kendari, Sabtu (21/12/2019). (Foto: Fadli Aksar/ZONASULTRA.COM)

ZONASULTRA.COM,KENDARI- Geliat sektor pertambangan yang terus tumbuh di Sulawesi Tenggara (Sultra), dapat dilihat dari catatan ekspor Oktober 2019 Badan Pusat Statistik (BPS). Komoditas ekspor didominasi kelompok besi dan baja dengan nilai 150,51 juta US dolar dan kelompok komoditas biji, kerak, dan abu logam berada dengan nilai 129,64 juta US dolar.

Data BI juga menunjukkan Triwukan III 2019 perekonomian Sultra tumbuh positif sebesar 6,2 persen year on year (YOY). Salah satu penyebabnya adalah meningkatnya aktivitas tambang dan galian serta konstruksi.

Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) Universitas Muhammadiyah Kendari (UMK) Syamsul Anam mengatakan, meski memberikan dampak positif terhadap neraca dagang ekspor Sultra, nyatanya tambang tidak memberikan andil terharap penyerapan tenaga kerja. Sebab, bekerja di industri pertambangan membutuhkan skill, pengetahuan dan kultur yang mempuni di bidangnya.

Bukan berarti sumber daya manusia (SDM) di Sultra tidak mampu untuk bersaing, melainkan pula kondisi tersebut dihadapkan dengan kenyataan bahwa perusahaan tambang banyak yang mendatangkan tenaga kerjanya dari luar negeri. Mereka dinilai lebih siap bekerja ketimbang tenaga kerja lokal.

“Secara alamiah, tambang tidak menyerap begitu banyak tenaga kerja di Sultra,” ungkap Syamsul Anam dalam acara Coffe Moorning bersama Asosiasi Pertambangan Sulawesi Tenggara (APST), Sabtu (21/12/2019) di salah satu hotel, Kendari.

Pertanian merupakan sektor yang memiliki potensi penyerapan tenaga kerja yang besar di Sultra menurut Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Halu Ole (UHO) itu. Karena sumbangsi pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi Sultra berada di kisaran 22 persen pada struktur Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

Apabila potensi pertanian dimaksimalkan pemerintah daerah, maka sektor ini benar-benar dapat menyerap tenaga kerja dengan maksimal. Apalagi jika pemerintah mengembangkan nilai tambah terhadap produksi pertanian melalui peningkatan mutu hasil produksi.

“Yang bisa menyerap tenaga kerja maksimal kita ya hanyalah pertanian bukan tambang, sumber ekonomi kita pertanian,” ujarnya.

Guru Besar FEBI UHO Prof. Muhammad Syarif mengatakan saat ini sejumlah sektor penopang ekonomi belum memberikan dampak yang nyata. Ada sektor yang menyerap tenaga kerja tinggi namun produktivitasnya rendah (pertanian). Ada pula sektor menyerap tenaga kerja rendah produktivitasnya tinggi (tambang).

Sehingga ke depan, yang harus dilakukan pemerintah adalah bagaimana membangun sektor industri pengolahan guna menambah nilai dari sektor penopang pertumbuhan ekonomi. Ia menyebutkan banyak negara yang maju di dunia mengembangan sektor industri dengan menghadirkan sentuhan teknologi pada hasil produksi mereka.

Lemahnya Indonesia, termasuk Sultran karena industri pengolahan masih sangat kurang. Syarif mencontohkan, sayur yang dijual di supermarket harga hari ini Rp1.000, besok harganya akan tetap sama. Namun, harga sayur di pasar tradisional saat pagi hari harganya mahal, di siang hari harganya akan turun karena sudah layu, dan tidak ada cara bagaimana sayur tersebut bisa diawetkan.

“Artinya dengan adanya sentuhan teknologi dalam penambahan nilai sebuah hasil produksi itu sangat penting dan dipastikan harga jual akan berkali lipat menjadi barang setengah jadi dibanding kebiasaan kita habis petik langsung jual,” katanya.

*Tantangan di Sultra

Salah satu tantangan yang akan dihadapi Sultra ke depan adalah perihal pindahnya ibu kota di Kalimantan, secara geografis jarak Kalimantan dan Sulawesi begitu dekat. Sultra merupakan wilayah yang bergantung terhadap Sulawesi Selatan (Sulsel) untuk pemenuhan kebutuhan bahan pokok (bapok) masyarakat.

Pindahnya ibu kota ini bagi Syamsul akan mempengaruhi pasokan bapok Sulsel ke Sultra, karena Sulsel akan mejadi pemasok bapok di wilayah ibu kota negara yang baru.

“Nah kalau ini kita Sultra tidak tanggap tidak siap, ya siap siap saja pasokan bapok kita akan berkurang dan bisa saja terjadi inflasi yang tinggi,” Syamsul menegaskan.

Tak hanya itu tantangan lain yang menjadi tugas pemerintah adalah bagaimana merubah paradigma masyarakat yang enggan bekerja di sektor pertanian dan lebih memilih ke sektor lain. Bahkan, migrasi tenaga kerja dari pertambagan dinilai tidak akan ke sektor pertanian melainkan ke sektor UMKM.

*Jumlah Tenaga Kerja

Rilis terakhir BPS Sultra sejak tahun 2015 hingga 2017 menunjukkan penduduk Sultra yang bekerja menurut lapangan pekerjaannya sektor pertanian, perkebunan, kehutanan dan perikanan tahun 2015 menyerap tenaga kerja 489.289 orang; 2016 sebanyak 474.619 orang; dan 2017 430.346 orang.

Sementara sektor tambang dan galian menyerap 22.809 orang tahun 2015; 25.771 orang tahun 2016; dan 2017 22.479. Serapan sektor ini pun kalah tinggi dibanding sektor konstruksi yang mampu menyerap di atas 70 ribu dalam tiga tahun tersebut serta perdagangan, rumah makan dan jasa akomodasi yang mampu menyerap di atas 190 ribu orang.

Gubernur Sultra Ali Mazi pun menyebutkan bahwa sektor UMKM di Sultra terus berkembang dengan jumlah usaha sebesar 108.371 unit. Dengan pencapaian itu, juga menyerap tenaga kerja sebanyak 195.150 orang. (***)

 


Reporter: Ilham Surahmin
Editor: Muhamad Taslim Dalma

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini