Rencana pindahnya Ibukota Negara Republik Indonesia dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur, menuai banyak tanggapan dari berbagai kalangan masyarakat. Ada yang setuju dan ada pula yang tidak setuju. Hal ini tentu mengagetkan masyarakat di kedua provinsi tersebut. Masyarakat Kalimantan Timur tentu harus bersiap menerima dan menampung masyarakat pendatang yang nantinya akan bermigrasi masuk ke wilayah mereka. Sedangkan bagi DKI Jakarta, tentu akan melihat banyak penduduknya yang perlahan meninggalkan kota yang berjuluk Batavia tersebut. Bisa jadi hal tersebut adalah hal yang sangat diinginkan. Mengingat kepadatan penduduk di DKI Jakarta pada 2018 sudah mencapai angka 15.000 penduduk per km persegi.
Nantinya, setelah bukan lagi menjadi Ibukota Negara Republik Indonesia, apa lagi yang menjadi daya tarik di Jakarta? Apakah iya hanya akan dikenang sebagai provinsi paling macet? Atau bahkan dikenang sebagai provinsi yang paling berpolusi udara? Tentu tidak. Ada hal lain yang masih bisa dibanggakan di Jakarta. DKI Jakarta memang dikenal sebagai kota metropolitan di Indonesia, hal itu ditandai dengan bergesernya perekonomian di sana. Perekonomian di DKI Jakarta mulai bergeser dari kelompok kategori primer dan sekunder menjadi kelompok kategori tersier.
Daerah Khusus (Industri)
Untuk kelompok kategori primer, yang terdiri dari sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan plus sektor Pertambangan dan Penggalian Provinsi DKI Jakarta memang memiliki Nilai Tambah yang sangat kecil. Tercatat pada tahun 2014-2018 sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan hanya berkontribusi sebesar 0,10% pada tahun 2014, kemudian selalu menurun sampai pada tahun 2018 mencapai 0,08%. Dan untuk sektor Pertambangan dan Penggalian juga hanya berfluktuasi di sekitar angka 0,24% hingga 0,26% saja pada periode 2014-2018.
Sedangkan untuk sektor Industri Pengolahan. DKI Jakarta memiliki Nilai Tambah yang cukup tinggi, bahkan menjadi kontributor kedua tertinggi PDRB DKI Jakarta pada periode 2014-2018. Pada tahun 2014 kontribusi PDRB sektor Industri Pengolahan mencapai 13,57% kemudian meningkat 13,80% dengan laju pertumbuhan 5,08% pada tahun 2015. Kemudian selalu menurun hingga tahun 2018 mencapai 13,15% terhadap total PDRB DKI Jakarta. Namun dari segi potensi, Industri Pengolahan di DKI Jakarta masih sangat cerah. Terdapat 21 Industri Pengolahan yang ada di DKI Jakarta. Yang paling banyak adalah Industri Pakaian Jadi dengan 337 perusahaan, kemudian ada Industri Makanan dengan 213 perusahaan dan yang ketiga adalah Industri Pencetakan dan Reproduksi Media Perekaman 177 perusahaan.
Dengan latar belakang tersebut, sektor Industri Pengolahan masih menjadi penopang utama di DKI Jakarta selain sektor Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor. Dari segi penyerapan tenaga kerja, sektor Industri Pengolahan tentu sangat berperan besar dalam pengurangan Tingkat Pengangguran Terbuka di DKI Jakarta. Pada Agustus 2017 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) DKI Jakarta mencapai 7,14%, angka tersebut berhasil ditekan hingga mencapai 6,24% pada Agustus 2018. Seiring dengan menurunnya TPT pada Agustus 2018, ternyata terjadi peningkatan penyerapan tenaga kerja pada sektor Industri Pengolahan di DKI Jakarta. Tercatat pada Agustus 2017 sektor Industri Pengolahan DKI Jakarta menyerap 807.900 orang, kemudian pada periode Agustus 2018 berhasil menyerap 843.000 orang atau meningkat 35.100 orang dalam waktu satu tahun saja.
Kemiskinan Rendah dan UMP Tertinggi
Tidak bisa dipungkiri, DKI Jakarta masih menjadi magnet bagi para pencari kerja dari daerah untuk mencari peruntungan. Hal ini bisa dilihat tiap periode arus balik lebaran, terpantau wajah-wajah baru berdatangan dari berbagai jenis angkutan. Yang banyak adalah dari Jawa yang memanfaatkan moda transportasi bus dan kereta api. Selain dari segi lapangan kerja, hal yang menarik adalah DKI Jakarta memiliki tingkat kemiskinan yang rendah selama 15 tahun terakhir. Angkanya hanya berada pada kisaran 3% hingga 4% saja. Yang tertinggi pada tahun 2006 dengan tingkat kemiskinan 4,57%. Tentu hal ini menjadi daya tarik bagi para pendatang baru yang mencari kerja. Mereka pun berharap sama, tidak ingin menjadi bagian yang miskin di DKI Jakarta setelah mendapatkan pekerjaan.
DKI Jakarta masih menjadi provinsi dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) paling tinggi di Indonesia. Tercatat pada tahun 2019, UMP DKI Jakarta mencapai Rp. 3.940.973,-. Pada tahun 2020 pun, mengalami kenaikan Rp. 4.267.349,- atau meningkat 8,28% dari tahun 2019. Peningkatan UMP tersebut tentu menambah daya saing para pekerja baru yang ingin menjadi pekerja di DKI Jakarta. Dengan meningkatnya UMP di DKI Jakarta, para pengusaha harus berpikir keras untuk menanggung pembayaran upah para buruh mereka. Tentu perusahaan harus menambah produksi dan target penjualan jika masih ingin bekerja dengan jumlah pekerja yang sama dengan tahun 2019. Di sisi lain memutuskan hubungan kerja atau PHK para pekerja mereka akan berdampak buruk bagi kinerja perusahaan mereka dan akan menambah tingkat pengangguran saja.
Harapan
Pemindahan Ibukota Negara harus mengedepankan asas kebersamaan. Artinya Provinsi DKI Jakarta sebagai provinsi yang ditinggal tidak boleh mengalami kerugian atau mendapatkan efek buruk dari berpindahnya Ibukota Negara. Begitu juga bagi Provinsi Kalimantan Timur, sebagai provinsi target pemindahan Ibukota Negara. Provinsi DKI Jakarta harus tetap bisa berdiri dengan seiring dengan lepasnya status sebagai Ibukota Negara. Memanfaatkan sektor-sektor ekonomi unggulan harus mulai ditekankan semenjak sekarang ini. Sektor Industri Pengolahan sebagai salah satu sektor yang berkontribusi dalam PDRB harus diberi dukungan penuh.
Dukungan dapat berupa bantuan modal dan penyuluhan dari para ahli untuk mengembangkan usaha industri, utamanya industri makanan yang terdiri dari 213 perusahaan tersebut. Masih banyak industri makanan di DKI Jakarta yang belum memiliki badan hukum dan status perusahaan yang jelas. Mereka para pengusaha industri makanan adalah orang yang tidak ingin membebani negara dengan mengemis pekerjaan. Tapi, mereka malah ingin membuka lapangan pekerjaan bagi mereka yang belum memiliki pekerjaan, dan ini justru membantu negara dalam mengurangi angka pengangguran. Jadi sudah sewajarnya jika negara juga memberikan timbal balik berupa perlindungan hukum dan menerbitkan status perusahaan yang jelas pada mereka.
Oleh : Zulfikar Halim Lumintang, SST
Penulis merupakan Statistisi Ahli Pertama BPS Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara.