RAPAT PEMANTAPAN – Bupati Konsel Surunuddin Dangga saat memimpin rapat Pemantapan Program Pembangunan Desa Lingkup Kabupaten Konawe Selatan bersama seluruh camat yang dilaksanakan di aula rapat dinas pemberdayaan masyarakat dan desa (DPMD) setempat, Jumat (6/9/2017). (ERIK ARI PRABOWO/ZONASULTRA.COM)
ZONASULTRA.COM, ANDOOLO – Bupati Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara (Sultra) Surunuddin Dangga menyebut pendataan pajak di daerah yang dipimpinnya itu sangat kacau.
“Di Konsel ini kacau sekali pendataan pajaknya. Saya sudah panggil dan tanyakan pada kepala badan pengelola pajak daerah kenapa begini,” kata Surunuddin saat memimpin rapat
Pemantapan Program Pembangunan Desa Lingkup Kabupaten Konawe Selatan bersama seluruh camat yang dilaksanakan di aula rapat dinas pemberdayaan masyarakat dan desa (DPMD) setempat, Jumat (6/9/2017).
Mantan Anggota DPRD Sultra ini mengatakan, dirinya menginginkan pengelolaan maupun pendataan pajak di seluruh desa di Konsel dapat berjalan secara maksimal dan efektif.
“Pendataan dan pengelolaan pajak ini saya ingin serahkan secara langsung saja ke camat, kalau masih kacau lagi saya tidak tahu harus bagaimana lagi,” ujarnya.
Kepala Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah (BPPRD) Konsel Sahrin Saudale menjelaskan pajak yang dimaksud Bupati Konsel adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang jenisnya terbagi atas dua yakni Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2).
Sebelumnya ditahun 2008 hingga 2014 pendataan dan pemungutanya dikelola lansung oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPPP) Direktorat Jendral Pajak Indonesia di Sultra yang kantornya berada di Kota Kendari.
Sejak 2014 terjadi pengalihan kegiatan proses pendataan, penilaian, penetapan, pengadministrasian, pemungutan atau penagihan dan pelayanan PBB-P2 diselenggarakan penuh oleh pemerintah daerah kabupaten kota yang merujuk pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pengalihanya dimulai sejak 1 Januari 2014.
“Nah saat masih ditangani oleh KPP Pratama secara langsung sampai tahun 2014, desa-desa dan para camat saat itu banyak yang melakukan pembayaran secara gelondongan, contohnya katakanlah ada satu desa PBB-P2nya Rp 1 juta untuk mengejar waktu sebelum jatuh tempo dia langsung bayar tanpa ada nama-namanya inilah sehingga timbul permasalahan saat ini,” papar Sahrin saat dihubungi, Sabtu (7/9/2017).
Sahrin menyebut data tunggakan pajak PBB-P2 yang terjadi di seluruh desa di Konsel terhitung sejak tahun 2008 hingga 2014 saat masih ditangani KPP Pratama Direktorat Jendral pajak mencapai sekitar Rp 4,8 miliar.
“Sampai sekarang hal ini belum kita selesaikan karena menjadi perdebatan talik ulur antara pemerintah daerah maupun direktorat jendral pajak, karena seluruh pemerintah desa di daerah merasa telah memenuhi kewajiban mereka saat itu,” ujarnya.
Sahrin menambahkan, untuk target 2017 khusus untuk pajak PBB-P2 ditargetkan mencapai Rp 3,5 miliar.
“Sejak kita kelola semua berjalan lancar pengelolaanya sampai sejauh ini bisa lebih efektif, jadi kalau camat diberi kewenangan oleh bupati mengelola ini saya yakin pendapatan PAD pajak kita akan jauh lebih meningkat lagi dan jauh lebih maksimal, karena mereka jauh lebih memahami kondisi wilayah pedesaan juga masyarakat mereka untuk melakukan penagihan pajak di lapangan,” tambahnya.
Tak jauh beda dengan Sahrin Saudale, Camat Ranomeeto Syahrir Sanjaya menceritakan dahulu sebelum adanya kebijakan otonomi daerah mengenai pajak, setiap camat akan menerima bonus jika mampu melunasi pajak sebelum jatuh tempo yang ditentukan, sebaliknya mereka akan menerima hukuman berupa denda jika tidak melunasi pajak hingga jatuh waktu tempo pembayaran yang ditentukan.
“Dulu itu sebelum pengalihan di 2014, jatuh tempo waktu pembayaran pajak PBB itu tanggal 30 september, makanya dulu itu para kades dikordinir camat dan kolektor pajak didesak melunasi sebelum jatuh tempo, karena dulu kalau tidak segera melunasi pajak, ADD itu tidak akan cair makanya para kades itu pasti membayar lunas,” cerita Syahrir.
Dikatakan Syahrir pendataan yang dilakukan KPP pratama waktu itu sangat kacau, subyek dan obyeknya tidak jelas, Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) timpang tindih bahkan penerbitan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) bisa dobol.
“Dulu itu para kades mau tidak mau pasti bayar lunas, sesuai Daftar Himpunan Ketetapan Pajak (DHKP) yang dikeluarkan oleh Dirjen Pajak. Mereka bayar satu kali melalui Bank BRI waktu itu lewat perwakilan petugas pajak di bank tersebut, yang kami heran kan sekarang kenapa versinya kantor pajak di pusat belum lunas, lalu uang itu kemana sementara sudah masuk di rekening negara para kades juga punya bukti pembayarannya,” ungkapnya. (B)
Reporter: Erik Ari Prabowo
Editor: Jumriati