Tantangan Penyelenggaraan Pemilu 2024

Tantangan Penyelenggaraan Pemilu 2024
Andi Marsuki

Tahapan dan jadwal penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2024 secara resmi telah ditetapkan melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 3 Tahun 2022. Penyelenggara bakal menghadapi tantangan-tantangan besar dalam menyukseskannya.

Tantangan pertama dan dianggap sebagai tantangan mendasar adalah masalah pemutakhiran data pemilih yang sekarang sementara berjalan di tingkat desa/kelurahan yang dilakukan oleh Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih). Mereka didampingi atau diawasi langsung oleh Pengawas Kelurahan/Desa yang disingkat dengan PKD.

Permasalahan umum yang ditemukan setelah pemutakhiran data ialah adanya pemilih ganda, pemilih di bawah umur, pemilih yang sudah meninggal tetapi bukti belum ada (akta kematian belum terbit dari dinas terkait), serta pemilih potensial yang terlewatkan untuk didata.

Pada persoalan-persoalan inilah yang memerlukan bimbingan teknis ke para Pantarlih untuk meminimalisir kesalahan dalam pemutakhiran data. Persoalan data ini serius sebab menjadi ujung tombak suksesnya pesta demokrasi yang dilakukan secara serentak pada tahun 2024 mendatang.

Tantangan yang kedua adalah netralitas Aparat Sipil Negara (ASN). Fenomena netralitas ASN selalu menjadi momok dalam pemilihan, baik pemilu maupun pilkada. Netralitas penting artinya, perlu dijaga dan diawasi agar pemilu berjalan jujur dan adil.

Undang Undang Nomor 5 Tahun 2014 Pasal 12 Berbunyi “Pegawai ASN berperan sebagai perencana, pelaksana, dan pengawas penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional melalui pelaksanaan kebijakan dan pelayanan publik serta bebas dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.”

Dalam praktiknya, netralitas ASN menjadi ambigu dikarenakan ASN juga merupakan warga negara yang memiliki hak untuk memilih dan dipilih. Masalahnya, kepala daerah yang merupakan pembina ASN ikut campur dalam menentukan siapa yang akan dipilih oleh ASN tersebut.

Kerapkali kita menjumpai pergerakan ASN yang terlibat langsung dalam politik praktis, dengan alasan, antara lain demi mempertahankan atau memperoleh jabatan, kelak setelah seorang kandidat terpilih atau terpilih kembali sebagai kepala daerah.

Dalam rangka menjaga netralitas tersebut, tidak hanya dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) atau Komite Aparat Sipil Negara (KASN) yang berperan aktif. Namun, ada harapan besar bahwa seluruh lapisan masyarakat ikut serta mengawasi, mencegah, dan melapor dugaan pelanggaran netralitas terjadi.

Tantangan selanjutnya adalah money politic atau politik uang. Dalam pemilihan umum secara serentak pada tahun 2024 mendatang, ini menjadi tantangan terbesar penyelenggara pemilu. Politik uang merupakan upaya memperoleh dukungan dari masyarakat/pemilih secara instan, dan pada gilirannya menciptakan pejabat publik yang korup.

Ada hal yang begitu mengkhawatirkan dalam kehidupan berdemokrasi kita dewasa ini. Politik uang sudah membudaya dan mendarah daging di masyarakat. Fenomen ini telah menjadi sebuah hal lumrah yang “tertoleransi”.

Di lapisan akar rumput, kita menjumpai pameo “ada uang ada suara”. Ini sungguh berbahaya dan memprihatinkan karena penentuan pilihan berdasarkan pada pragmatisme politik atau seberapa banyak uang yang diberikan oleh calon tertentu kepada pemilih.

Sikap permisif publik terhadap politik uang juga berangkat dari penurunan kepercayaan terhadap penegakan hukum. Kompromi-kompromi dalam hal penegakan hukum menciptakan pameo lain yang tidak kalah menyesakkannya, yaitu “hukum bisa dibeli”. Akibatnya, penegakan hukum dan sanksi yang diberikan, tidak memiliki efek jera.

Tantangan berikutnya, kondisi ekonomi pemilih. Persoalan ekonomi adalah muara terbesar yang menjadi alasan maraknya politik uang pada saat pemilihan. Kemiskinan memaksa seseorang untuk mendapatkan uang dengan cepat. Mereka tidak lagi memikirkan konsekuensi yang akan diterima kelak nanti jika mereka menerima uang suap seseorang.

Tantangan terakhir adalah rendahnya pemahaman masyarakat tentang politik itu sendiri. Literasi politik harus dipikul tidak hanya oleh pemerintah, namun juga oleh setiap lapisan masyarakat. Harus ada aksi konkrit dari para cendekia, aktivis, dan kelompok-kelompok pergerakan untuk mengedukasi masyarakat dengan pendekatan kultural. (*)


Oleh: Andi Marsuki, SE
(PPS Desa Watuliwu, Kecamatan Lasusua, Kab. Kolaka Utara)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini