“Rini, Risa, Ris. Bapak wes ora kuat nyambut gawe. Welasno. Aku ora biso bayar lestrek…”
(Rini, Risa, Ris. Bapak sudah tidak kuat bekerja. Sedihnya. Bapak tidak bisa bayar listrik)
Begitulah kira-kira pesan yang ditulis seorang bapak kepada ketiga putrinya. Pesan yang tertulis secara acak di dinding rumahnya, membuat trenyuh siapapun yang membacanya. Warga Grobagan, jawa tengah tersebut nekat gantung diri diduga karena tidak kuat menanggung beban hidup.
Kenaikan TDL yang terkesan tiba-tiba di awal tahun 2017 sampai saat ini memang menjadi pukulan berat bagi sebagian masyarakat, terutama menengah ke bawah. Tak tanggung-tanggung, kenaikan TDL dilakukan oleh pemerintah dalam 3 tahap. Pada setiap tahapnya naik 32%. Puncaknya, per 1 Juli 2017 pemerintah 100% mencabut subsidi untuk pelanggan 900 VA. Yang artinya tarif listrik 900 VA akan disesuaikan setiap bulannya, seperti 12 golongan lainnya.
Alasan pemerintah menghapus subsidi listrik adalah agar subsidi tepat sasaran. Menurut pemerintah dari 22,8 juta pelanggan 900VA, hanya 4,1 juta saja yang layak subsidi. Alasan ini sejatinya hanya penyesatan opini yang dilakukan oleh pemerintah. Subsidi untuk rakyat kecil selalu dipermasalahkan, sementara subsidi untuk konglomerat tak pernah disesalkan. Kita ingat kasus lumpur lapindo yang banyak merugikan rakyat kecil, justru pemerintah memberikan subsidi kepada Bakrie Grup hingga 7,2 triyun.
Ada dua hal yang menjadi dasar persoalan pencabutan subsidi listrik ini. Yang pertama sangat erat kaitannya dengan kondisi pemerintah indonesia yang telah masuk dalam jebakan hutang ‘dept trep’. Pemerintah berhutang untuk bayar hutang (ujar Menteri Keuangan, Sri Mulyani). Dalam hasil audit BPK, untuk tahun 2016 saja, cicilan pokok ditambah bunganya, pemerintah harus membayar sekitar 480, 324 trilun (detik.com, 23/8/2016).
Bahkan saat ini total hutang Indonesia sudah melebihi 50% dr keseluruhan APBN. Subsidi dianggap membebani APBN sehingga perlu dicabut.
Menurut Arim Nasim, Direktur Pusat Kajian dan Pengembangan Ekonomi Islam UPI, hal ini menunjukan kondisi keuangan yang sangat buruk, akibatnya negara semakin semangat dan tidak punya perasaan untuk menaikkan beban hidup rakyat melaui kenaikan pajak (mediaumat.com)
Pengelolaan listrik di negeri ini memang masih sangat memprihatinkan. Rasio elektrifikasi nasional, atau sambungan listrik ke rumah tangga secara nasional masih 65%. Bahkan di NTB dan Papua rasionya masih 32%, sementara di NTT baru 24% (PLN, 2009).
Dari sisi biaya produksi PLN juga belum efisien. Berdasarkan laporan keuangan PLN tahun 2009, biaya terbesar PLN adalah biaya pembelian bahan bakar (56%), pembelian dari pihak swasta (19%) dan biaya penyusutan (9%). Tidak efisiennya biaya energi ini dikarenakan dari total pembelian bahan bakar sebesar 63% nya digunakan untuk membeli BBM dengan harga dunia dari pertamina dan sejumlah produsen minyak swasta.
Disisi lain, anggaran untuk pembangunan infrastruktur listrik masih sangat bergantung pada hutang luar negeri seperti Jepang, Cina dan Bank Dunia. Proyek tersebut tentu tidak gratis. Sebab disamping berbunga, jasa konsultan dan bahan baku biasanya berasal dari negara pendonor.
Yang kedua, kondisi ini diakibatkan karena pemerintah menerapkan kebijakan ekomoni neoliberal. Konsep yang bermuara pada ideologi kapitalisme, dimana meminimalkan peran negara dan menyerahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Dalam neoliberal, pegelolaan kekayaan alam termasuk listrik harus diserahkan kepada swasta. Akibatnya negara kehilangan sumber kekayaan alamnya.
Konsep ini sangat bertentangan dengan Islam. Dalam Islam, listrik masuk dalam kategori ‘api’ yang merupakan kepemilikan umum. Termasuk dalam kategori itu adalah berbagai sarana dan prasarana penyedia listrik. Seperti tiang listrik, gardu, medin pembangkit dan sebagainya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, ” Manusia berserikat dalam 3 hal, air, api dan padang gembala” (Hadist Riyawat Muslim dan Abu Daud).
Karena termasuk barang publik, maka wajib dikelola oleh negara dan tidak boleh diserahkan baik kepada individu maupun swasta. Listrik seharusnya dikelola sepenuhnya oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Karena negara adalah pihak yang bertugas untuk memelihara semua urusan dan kemaslahatan umat. Sebagaimana sabda Rasul SAW, “Pemimpin adalah pihak yang berkewajiban memelihara urusan masyarakat dan dia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya” (HR Muslim). Wallahu ‘alam.
Oleh: Tity Maharani
Penulis Merupakan Pemerhati Masalah Sosial