Tentang Narasumber yang “Namanya Dirahasiakan”

557
Andi Syahrir
Andi Syahrir

Menulis berita itu kudu hati-hati. Harus jelas apa yang diceritakan. Harus jelas siapa yang menjadi sumbernya. Supaya kredibel. Agar tidak mengarah pada gosip belaka. Gosip itu kata lainnya ghibah. Agama melarangnya. Ibarat memakan bangkai sesama manusia.

Berita dengan narasumber yang jelas lebih dapat dipercaya kebenarannya ketimbang yang narasumbernya tidak jelas. Bahwa narasumbernya berbohong atau keliru, lain soal. Media atau wartawanlah yang bertugas melakukan kroscek.

Kebiasaan yang dianggap benar oleh wartawan (media) ketika beritanya disanggah orang lain ialah berkelit bahwa itu dikutip dari narasumber. Secara tidak sadar, wartawan telah menempatkan dirinya semata sebagai corong narasumber. Padahal esensinya, wartawan itu imparsial. Tidak memihak.

Dalam kerja-kerja jurnalistik, terutama jika itu liputan investigatif kriminal dan hukum ataupun liputan mendalam lainnya, kaidah yang harus dipegang wartawan ketika meliput adalah tidak ada narasumber yang dipercaya begitu saja.

Apa artinya? Kroscek, klarifikasi, data, dan sumber pembanding merupakan hal mutlak. Itulah sebabnya ada adagium yang menyatakan berita dengan satu sumber bukanlah berita.

Berita dengan narasumber jelas saja masih diragukan. Apalagi jika berita dengan sumber anonim. Dalam praktiknya, sering dijumpai berita dengan embel-embel “sumber yang tidak ingin disebut namanya” atau “sumber yang identitasnya dirahasiakan”. Itu adalah selemah-lemahnya berita.

Jika berita seperti ini diterbitkan, lalu masuk ke ranah hukum, maka tanggungjawab akan pemberitaan itu jatuh pada media yang menerbitkannya. Itu berbeda pada berita yang narasumbernya jelas, tanggungjawabnya tetap ada pada narasumber itu.

Sehingga jika ada yang harus dihukum atas kekeliruan akibat berita dengan narasumber anonim, maka tidak lain adalah media itu sendiri. Meski langit runtuh, media tidak boleh membuka identitas narasumbernya,

Penggunaan narasumber anonim tidak dilarang. Tapi harus digunakan dengan hati-hati. Penuh kebijaksanaan. Berdasarkan timbangan yang matang. Sebab, konsekuensi paling jelas bahwa kredibilitas berita ini rendah.

Di kekinian, ketika media online menjamur tak terkendali, bahkan di musim kemarau sekalipun, narasumber anonim begitu mudah kita temukan. Padahal, berita dengan sumber anonim ibarat rumput pegangan pada orang yang terseret banjir.***


OLEH : ANDI SYAHRIR
PENULIS MERUPAKAN ALUMNI UHO & PEMERHATI SOSIAL

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini