Salah satu tujuan negara Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan berbangsa yang tertuang dalam pembukaan UUD ‘45. Cita-cita tersebut menjadi tanggungjawab utama pemerintah dengan seluruh elemen terkait. Dalam pasal 31 Ayat 3 UUD 1945 menyatakan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Selain sistem dan proses pembelajaran, peran sentral pendidikan suatu negara berada di tangan guru sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik anak usia dini pada jalur pendidikan formal, dasar, menengah, dan atas.
Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk mendorong kemajuan dunia pendidikan di Indonesia, antara lain, pelaksanaan program wajib belajar hingga 12 tahun, bantuan pendidikan melalui BOS, beasiswa, hingga dana sekolah dan kuliah, dan melakukan pemerataan pembangunan sekolah dan universitas di berbagai wilayah Indonesia. Pemerintah bahkan menganggarkan 20% dari total belanja negara untuk pendidikan berdasarkan amanat konstitusi.
Namun usaha pemerintah dinilai belum cukup mengatasi problematika pendidikan dalam negeri, dimana berdasarkan data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) pada 2019 mencatat jumlah anak Indonesia yang tidak bersekolah mencapai 4,5 juta. Kemudian jumlahh siswa putus sekolah pada tahun ajaran 2018/2019 mencapai 57.426 anak.
Kesejahteraan Guru
Keputusan pemerintah mengecualikan guru dalam formasi calon pegawai negeri sipil atau CPNS mulai tahun 2021 disesalkan oleh Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G). Keputusan ini di antaranya didasarkan pada pertimbangan selama 20 tahun terakhir telah terjadi ketidakseimbangan sistem distribusi guru antardaerah secara nasional karena pemerintah membuka formasi guru untuk seleksi CPNS.
Guru sebagai ujung tombak dalam pencerdasan siswa sejak usia dini tidak dianggap begitu penting peranannya bagi pemerintah. Apalagi wacana menaikkan gaji pegawai negeri sipil tahun 2021 yang semakin membuat ribuan guru mengelus dada. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Tjahjo Kumolo menjelaskan bahwa skema kenaikan tunjangan, pegawai ASN golongan paling rendah bisa mendapatkan gaji take home pay minimal antara 9 juta hingga 10 juta per bulan.
Meski belum disetujui secara resmi oleh kementerian terkait, kenaikan gaji ASN dinilai bakal menyakiti berbagai elemen masyarakat yang hingga kini masih berjuang untuk bertahan dan bangkit dari pagebluk Covid-19. Ketika banyak buruh di-PHK, UMKM gulung tikar, dan banyak kasus kriminal dengan alasan untuk bertahan hidup, pemerintah seharusnya lebih bersimpati kepada masyarakat menengah ke bawah. ASN saat ini dianggap sudah cukup sejahtera dari segi penghasilan meskipun diakui kinerjanya dibutuhkan integritas dan kapabilitas sebagai pelayan masyarakat dan negara.
Berdasarkan data Kemendikbud, pada tahun 2020 data kekurangan guru mencapai 1.020.921 orang. Pada tahun 2021 diprediksi kekurangan guru mencapai 1.090.678 orang dan jumlah yang pensiun 69.757 orang. Sampai tahun 2020 jumlah guru non-PNS di Indonesia mencapai 937.228 orang. Dari jumlah tersebut, 728.461 di antaranya berstatus guru honorer sekolah.
Sebelum mewujudkan cita-cita mencerdaskan kehidupan berbangsa, pemerintah perlu terlebih dahulu memberikan perhatian terhadap kesejahteraan guru sebagai motivasi dalam menjalankan sistem dan kurikulum pendidikan yang sering berubah seiring pergantian kepemimpinan di pemerintah pusat.
Pembodohan Bangsa
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh PISA (Programme for International Student Assessment) sebagai rujukan dalam menilai kualitas pendidikan di dunia, Indonesia berada di peringkat 72 dari 77 negara. Jauh di bawah negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei Darussalam.
Ada banyak faktor kenapa pendidikan Indonesia masih tertinggal dari negara maju lainnya, salah satunya adalah kualitas guru dan sistem pendidikan yang dianggap kuno. “Keberhasilan suatu proses pembelajaran terletak di pundak guru. Oleh karenanya, keberjasilan suatu proses pembelajaran sangat ditentukan oleh kualitas atau kemampuan guru” (Sanjaya, 2009:198)
Permasalahan rendahnya kualitas guru di Indonesia berkaitan dengan profesionalisme yang masih belum memadai, sehingga perlu diselesaikan secara komprehensif menyangkut semua aspek terkait kesejahteraan, kualifikasi, pembinaan, pelindungan profesi, dan administrasinya. Wacana mendiskreditkan guru dari daftar penerimaan ASN merupakan langkah kontradiktif dari tujuan mensejahterakan tenaga pendidik. Mengabaikan kesejahteraan guru berarti langkah pemerintah turut serta membodohkan kehidupan berbangsa.
Di Indonesia, masih banyak guru honorer yang belum mendapat upah layak bahkan masih jauh di bawah Upah Minimum Regional (UMR). Ketika masyarakat menilai profesi guru tidak disejahterakan oleh negara, maka banyak calon tenaga pendidik yang sebenarnya memiliki kapabilitias mengajar beralih profesi yang lebih menguntungkan secara finansial. Guru bukan lagi pilihan utama, kecerdasan kehidupan berbangsa hanya ilusi dari cita-cita negara Indonesia. Siswa telantar mengemis pendidikan, pemerintah sibuk menaikan gaji ASN.
Oleh : Joko Yuliyanto
(Penggagas Komunitas Seniman NU, Penulis Buku dan Naskah Drama. Aktif Menulis Opini di Media Daring)