Hari Selasa, 22 Januari 2019, Plt Walikota Kendari Sulkarnain Kadir dijadwalkan dilantik sebagai walikota definitif. Pelantikan ini akan mengukuhkannya sebagai walikota pertama dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang memegang tampuk kekuasaan tertinggi di ibukota Sulawesi Tenggara.
Jika berhitung sejak kepemimpinan Masyhur Masie Abunawas mulai 1996 hingga berakhirnya jabatan Asrun di tahun 2017, Kendari praktis di bawah kendali Golkar dan PAN saja.
Dalam hitungan di atas kertas, PKS sulit untuk meraih kursi kosong satu. Selain karena posisinya sebagai partai menengah dengan raihan kursi pas-pasan, PKS lebih mengutamakan kaderisasi ketimbang figuritas.
Inilah yang mencirikan perbedaan mendasar antara PKS dan PAN sekalipun mereka sama-sama berlatar partai Islam. Apalagi dengan Golkar yang nasionalis tulen. Kemudi partai dijalankan berlandaskan kerja-kerja sistem, alih-alih atas kharisma pemimpinnya.
Konsekuensinya, PKS tidak memiliki figur yang benar-benar menjadi simbol bagi partai itu. Di Sultra, secara khusus di Kendari, juga berlaku hal demikian.
Coba bandingkan misalnya dengan PAN. Ada Asrun yang menjadi tokoh sentral. Juga sebelumnya ada Abdul Razak, mantan Ketua DPRD, yang kini hengkang ke partai lain.
PKS sesungguhnya memiliki tokoh populer semisal Musadar Mappasomba. Hanya saja, mantan Wakil Walikota Kendari itu tidak sempat memegang kendali atas partai. Belakangan, setelah tak lagi menjabat, Musadar lebih memilih menjadi akademisi dan undur diri dari politik praktis.
Penetapan Sulkarnain sebagai walikota sekaligus mengukuhkannya sebagai tokoh PKS, yang mencoba merobohkan stigma bahwa partai ini sulit mencetak kader yang ikonik bagi partainya.
Setidaknya ada dua ujian yang akan menunggu Sulkarnain pasca pelantikan. Pertama, progresifitasnya memimpin Kota Kendari. Kedua, kemampuannya memenangkan PKS dalam pileg.
Hampir 13 bulan Sulkarnain memimpin Kendari sendirian setelah Adriatma Dwi Putra, sang walikota, berproses hukum. Secara kasat mata, ada semacam kerikuhan yang dialami Sulkarnain dalam pengambilan kebijakan, yang disebabkan setidaknya oleh dua hal, yakni pertama, posisinya yang masih Plt dan kedua, rasa “ketidakenakan” atas ADP yang lebih “berdarah-darah” dalam kontestasi pilwali.
Memang tidak mudah berada di posisi Sulkarnain yang “menerima bola muntah” secara mendadak dan dalam waktu singkat pemerintahan mereka. Sedikit saja pergerakan yang keliru, dapat merusak banyak hal. Karenanya, Sulkarnain sangat berhati-hati di wilayah itu.
Beberapa geliat pembangunan memang terasa seperti perbaikan jalan kota dan drainase. Tetapi pelayanan publik mendasar lainnya, semisal yang berbasis teknologi –sebagaimana tertuang dalam visi pembangunannya– belum tersentuh baik.
Hal yang agak “sensitif” yang dilakukannya adalah perombakan puluhan pimpinan unit kerja di jajaran pemkot baru-baru ini. Meskipun demikian, timbul pertanyaan apakah hal itu murni “torehan kanvas” dari Sulkarnain ataukah masih ada semacam “masukan” ADP, mengingat bahwa saat ini dia lebih mudah “dimintai pendapat” karena menjalani hukuman di kotanya sendiri.
Penetapan Sulkarnain sebagai walikota akan menjadi semacam penawar kecanggungan pengelolaan pemerintahan. Sulkarnain akan melangkah dengan warnanya sendiri sembari menunggu wakil walikota dari PAN yang akan mendampinginya.
Bagi warga Kendari, kemajuan kota ini adalah harapan paling sublim. Jika kepemimpinan Sulkarnain hingga 2022 mampu memberikan perubahan signifikan di mata publik Kendari, dia akan muncul sebagai tokoh politik yang akan dihitung dengan seksama.
Apalagi jika kemudian keberadaannya sebagai orang nomor satu di Kendari mampu berkontribusi positif bagi pemenangan PKS di kancah pileg pada April mendatang.
Sejauh ini, PKS hanya partai menengah di Kota Kendari. Perolehan kursinya hanya empat. Sama dengan PDIP, Golkar, dan Demokrat. PKS harus mampu memanfaatkan ke-walikota-an Sulkarnain untuk memenangkan atau setidaknya meningkatkan perolehan kursi PKS di DPRD kota.
Jika berhasil menambah satu kursi saja pada Pemilu 2019 atau paling tidak menempatkan kadernya sebagai salah satu wakil ketua di parlemen, Sulkarnain sudah bisa menatap pilwali berikutnya –kendatipun dia “belum memikirkannya”.
Di penghujung tulisan ini, perlu mengutip pernyataan Presiden Joko Widodo dalam debat capres baru-baru ini: “Saya tidak punya beban masa lalu”. Maknanya adalah bahwa Jokowi tidak akan tersandera dengan peristiwa-peristiwa masa lalu yang dapat menghambat langkahnya mengambil kebijakan. Untuk Indonesia, termasuk untuk Kota Kendari.
Itu saja. Sekian.
Selamat memasuki ruang ujian Pak Sul…***
Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Pemerhati Sosial & Alumni UHO