HUTAN SAGU – Area hutan sagu di Kabupaten Konawe banyak yang dikonversi menjadi pemukiman, persawahan dan alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit, sehingga keberadaan tanaman sagu terancam punah. (Dedi Finafiskar/ZONASULTRA.COM)
ZONASULTRA.COM, UNAAHA – Keberadaan hutan sagu di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra) pada umumnya sangat berlimpah. Namun, lambat laun keberadaan hutan sagu semakin kritis akibat pembukaan lahan. Hingga saat ini, luas hutan sagu hanya mencapai 2.068 hektar, yang tersebar di beberapa kecamatan seperti Kecamatan Besulutu, Bondoala, Sampara, Meluhu, Puriala, Abuki dan Asinua.
Bagian terpenting dari tanaman sagu adalah batang sagu karena merupakan tempat penyimpanan cadangan makanan (karbohidrat) yang dapat menghasilkan pati sagu. Pati sagu ini jika diolah akan menjadi “sinonggi”, salah satu pangan alternatif pengganti nasi.
Warga Konawe pada umumnya, mengganggap sinonggi memiliki kandungan yang sangat bermanfaat bagi kesehatan, serta termasuk makanan yang menyegarkan dan mengandung gizi. Selain mengandung karbohidrat, sagu juga mengandung polimer alami yaitu zat yang sangat bermanfaat bagi tubuh manusia seperti memperlambat peningkatan kadar glukosa dalam darah.
Sinonggi aman dikonsumsi oleh penderita diabetes melitus. Serat pada sagu mengandung zat yang berfungsi sebagai probiotik, meningkatkan kekebalan tubuh, serta mengurangi resiko terkena kanker usus dan paru-paru. Serat sagu juga bermanfaat untuk mengurangi kegemukan. Dan Sinonggi sangat cocok untuk orang yang sedang melakukan diet.
Sinonggi tidak hanya dijumpai di Sultra, tapi juga bisa dijumpai di daerah-daerah lain, misalnya Sulawesi Selatan (Sulsel). Masyarakat Sulsel menyebutnya dengan nama Kapurung dan Maluku menyebutnya Papeda, yang membedakan hanya cara penyajiannya.
Walaupun sinonggi merupakan makanan khas Suku Tolaki, salah satu suku terbesar di Sulawesi Tenggara (Sultra), namun sampai hari ini belum ada satu orang pun yang mengetahui sejak kapan Suku Tolaki mengonsumsi sagu. Namun, tetap diyakini jika makanan ini sudah ada sejak ratusan tahun silam layaknya beras.
“Informasinya, katanya pohon sagu sebagai bahan baku Sinonggi tumbuh dengan sendirinya di Hulu Sungai Konaweha, selanjutnya tumbuh di rawa-rawa di daratan Suku Tolaki,” kata Ripin, Warga Kecamatan Abuki.
Namun sayangnya keberadaan hutan sagu sangat terancam. Jika hal ini dibiarkan lambat-laun keberadaan hutan sagu benar-benar punah. Untuk melindungi sagu dari kepunahan, DPRD Konawe telah mensahkan peraturan daerah (Perda) pelestarian hutan sagu di Konawe.
Ketua DPRD Konawe Gusli Topan sabara mengatakan, lahan yang sebelumnya ditanami sagu banyak yang dikonversi menjadi pemukiman, persawahan dan alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit. Jika keberadaan tanaman sagu tidak dilindungi, dirinya khawatir pangan lokal masyarakat Konawe ini bisa punah.
“Harus ada aturan yang mengatur mengenai hutan sagu. Area hutan sagu harus dipertahankan, harus ada kearifan lokal dari pemerintah bagaimana mempertahankan tanaman sagu ini yang merupakan tanaman komoditas ekonomi kerakyatan,” jelasnya.
Keberadaan hutan sagu, kata dia, bukan hanya ciri khas tapi salah satu cara untuk mendukung ketahanan pangan, karena jika stok beras menipis maka masyarakat Konawe masih mempunyai makanan alternatif yakni sagu, yang juga sudah menjadi makanan pokok.
“Kita harus menyadari bahwa keberadaan tanaman sagu dan makanan khas Sinonggi adalah salah satu sumber utama pangan bagi masyarakat Konawe secara turun menurun, sehingga seharusnya tanaman sagu harus menjadi ikon bagi Bumi Konawe ini,” tambahnya.
Dengan adanya perda pelestarian sagu, tanaman sagu hanya boleh ditebang untuk kebutuhan konsumsi dan industri berbahan baku sagu. Tanaman sagu tidak boleh ditebang untuk kepentingan pembangunan. Juga dilarang untuk perluasan areal tanaman pangan lain, seperti padi.
“Potensi pangangan lokal seperti sagu, bisa dijadikan komoditi lokal serta bisa jadi bisnis guna meningkatkan ekonomi masyarakat. Ini baik dikembangkan agar bagaimana bisa memberikan pemasukan bagi masyarakat. Dan bisa saja ada investor yang bersedia mengelola sagu di Konawe,” ujar Gusli.
Pabrik Pengolahan Sagu
Upaya mempertahan hutan sagu yang dilakukan Pemerintah Konawe, mendapatkan perhatian dari organisasi pangan dunia Food and Agriculture Organization (FAO). FAO telah menetapkan Konawe menjadi daerah percontohan pengembangan sagu di Sultra, bersama dengan dua Kabupaten lainnya yakni Konawe Selatan (Konsel) dan Konawe Utara.
Field Actifity Supervisior FAO, Ryza Ramadhan, dalam kunjungannya di Konawe Agustus 2017 lalu, menjelaskan, program yang digalakkan organisasinya saat ini bertujuan untuk memperbaiki kualitas pangan di dunia. Jadi pihaknya membantu masyarakat untuk mengembangkan sagu mulai proses dari hulu hingga ke hilir.
“Yang kita lakukan tidak hanya pada bagian fisiknya saja, tetapi kami juga membangun unit pengelolahan juga. Kita juga akan membuat pelatihan kepada ibu-ibu tentang bagaimana mengolah sagu. Selain itu kita juga buat unit pengolahannya, yang produksinya beragam seperti tepung sagu, biscuit berbahan sagu, brownis dan lainnya,” terangnya.
Pembangunan pabrik pengolahan sagu yang diwacanakan FAO, telah memasuki tahap akhir. Pabrik sagu itu dipusatkan di Desa Labela, Kecamatan Besulutu.
“Pembangunannya hampir rampung, setelah diresmikan yang rencananya akan dilakukan pada akhir tahun ini, kita akan langsung melakukan uji coba pengolahan sagu perdana sebanyak 25 persen. Dan untuk anggaran pembangunannya sudah mencapai sekitar Rp 300 juta yang bersumber dari FAO serta Universitas Halu Oleo,” jelas Kepala Dinas Ketahanan Pangan (DKP) Konawe, Muhamad Akbar.
Sejauh ini, pihaknya telah melakukan sosialiasasi dan penyuluhan agar masyarakat setempat benar-benar siap menjadi pelaku pengelolaan pabrik sagu tersebut. Pabrik tersebut akan menghasilkan tepung sagu sebagai bahan konsumsi utama masyarakat Konawe, sekaligus sebagai salah satu solusi untuk meningkatkan perekonomian masyarakat.
“Pembuatan pabrik pengolahan sagu ini selain untuk menyerap tenaga kerja lokal, sekaligus upaya untuk menyelamatkan tanaman sagu dari kepunahan, serta mendukung kedaulatan pangan di Konawe,” katanya.
Beberapa waktu lalu, DKP Konawe melalui Kelompok Wanita Tani (KWT) telah mengirim tepung sagu hasil uji coba awal yang dilakukan tim FAO ke Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S), Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Setelah itu, tepung sagu hasil olahan KWT dibungkus menjadi biskuit, selanjutnya akan diekspor ke Jepang.
Masyarakat Konawe menyambut baik pembangunan pabrik sagu tersbut. Sumarno (47) salah seorang warga mengaku senang karena dengan adanya pabrik ini masyarakat tidak perlu bersusah payah harus membuat sagu secara manual lagi. “Itu berguna untuk kami masyarakat yang dibantu oleh pemerintah, karena sagu saat ini masih dikelola secara manual, dan kami masyarakat mengharapkan yang terbaik dengan pabrik sagu ini,” terangnya.
Anggota DPD RI Wa Ode Hamsinah Bolu yang berkunjung di Konawe beberapa waktu lalu, sangat mengapresiasi program yang menjadikan Konawe masuk dalam daerah pengembangan percontohan sagu, baik itu dalam produksi maupun pasca panen.
“Kami juga sangat senang FAO sudah membangun demplot atau pabrik pengolahan, karena yang kita tahu selama ini sagu hanya tumbuh alami, tapi belum terdomestifikasi, kita hanya memanfaatkan begitu saja, disini FAO bantuannya cukup lengkap membantu masyarakat dalam agronomi,” jelasnya.
Dirinya berharap peran pemerintah Konawe dan DPRD setempat dalam mengawal program tersebut. Dirinya juga bangga dengan DPRD Konawe, karena telah mensahkan perda pelestarian sagu, sehingga dengan adanya perda melindungi kawasan areal tanaman sagu. “Kami juga support adanya perda yang melindungi sagu, sehingga dengan adanya perda tersebut, sagu-sagu yang ada tidak dialihfungsikan,” katanya. (A*)