ZONASULTRA.ID, KENDARI- Konawe Kepulauan (Konkep) merupakan sebuah pulau yang terletak di Laut Banda, tepatnya di wilayah Sulawesi Tenggara (Sultra). Konkep memiliki luas sekitar 1.513,98 kilometer persegi (km²).
Dari seluruh luas wilayah terbagi antara daratan seluas 867,58 km², perairan seluas 646,40 km², dan garis pantai sepanjang 178 kilometer.
Secara geografis, hampir setengah wilayah Konkep terdiri dari lautan, sehingga warga yang bermukim di daerah tersebut mempunyai ketergantungan hidup pada sumber daya laut, khususnya ikan. Menjadi nelayan sangat lumrah bagi warga Konkep. Laut adalah sumber kehidupan mereka.
Namun, kondisi perairan area tangkap para nelayan kini sedang menghadapi masalah yang membuat populasi ikan menjadi berkurang. Penyebab utamanya adalah penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, seperti penggunaan bahan peledak atau bom ikan.
Kurangnya daya tangkap ini paling dialami nelayan berskala kecil yang hanya mengandalkan alat tangkap sederhana. Biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan melaut tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh. Padahal para nelayan sangat menggantungkan hidupnya dari hasil tangkapan.
Konkep sendiri sebenarnya memiliki potensi sumber daya pesisir dan laut untuk bisa dimanfaatkan dan dikembangkan. Oleh karena itu, penting dilakukan upaya pengelolaan melalui program perlindungan dan pelestarian sumber daya perikanan dan kelautan dengan memperhatikan keberlanjutannya.
Saat ini di Konkep telah hadir program pengelolaan perikanan berkelanjutan dengan nama Pengelolaan Akses Area Perikanan (PAAP). Program ini hadir untuk menjawab tantangan dan masalah dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan serta merespons kebutuhan nelayan kecil selaku pemanfaat langsung atas sumber daya perikanan.
Pelaksanaan program PAAP merupakan bagian dari kerja sama pemerintah dan organisasi Rare. Rare sendiri adalah organisasi internasional yang bergerak di bidang konservasi dan pemberdayaan masyarakat. Organisasi ini mempunyai kepedulian di bidang perikanan dan konservasi kelautan.
Dalam proses pengelolaan program PAAP, diberikan suatu ruang kolaborasi kepada sebuah kelompok nelayan kecil dalam menjaga, mengelola, dan memanfaatkan perikanan yang ada di kawasan lautnya.
Aktivitas melaut adalah sumber kehidupan para nelayan. Bekerja menangkap ikan merupakan sumber pangan dan sumber penghasilan utama mereka. Karena besarnya ketergantungan hidup para nelayan terhadap perairan laut maka dibutuhkan proses pengelolaan yang menggunakan perhitungan sehingga populasi ikan dapat terjaga.
Kehadiran program PAAP sebagai langkah untuk membantu menjaga kelestarian ekosistem perairan laut dengan dikelola secara berkelanjutan. Melalui program PAAP, nelayan kecil setempat diberi tanggung jawab penuh untuk mengelola wilayah perairan laut yang menjadi area tangkap mereka.
Kelompok PAAP di Konkep bernama Sumber Laut Mandiri Wawonii yang terbentuk kurang lebih selama tiga tahun. Saat ini kelompok yang berpusat di Kecamatan Wawonii Barat tersebut mempunyai anggota sekitar 30 orang yang terbagi dalam empat satuan kerja.
Empat satuan kerja PAAP Sumber Laut Mandiri Wawonii terdiri Divisi Pengawasan Sumber Daya Alam dan Penegakan Peraturan, Divisi Pengembangan Ekonomi, Usaha Produktif, dan Pemberdayaan Perempuan, Divisi Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan, serta Divisi Pengembangan Generasi Muda dan Kemitraan.
Pelaksanaan program PAAP berdasarkan pembangunan yang berkelanjutan. Pengelolaan perikanan dilakukan secara terencana sehingga mampu meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dengan mengutamakan kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Dalam program PAAP, membatasi wilayah sepanjang 0 sampai 2 mil yang diprioritaskan bagi nelayan kecil setempat. Nelayan asal luar wilayah penerapan PAAP tidak diperbolehkan untuk melakukan penangkapan. Hal itu kemudian membuat para nelayan skala kecil setempat tidak lagi bersaing dengan nelayan pendatang dalam proses pemanfaatan sumber daya laut.
Radius 0 sampai 2 mil dari bibir pantai kembali dibagi menjadi empat zona, yaitu zona inti, zona pemanfaatan terbatas, zona rehabilitasi, dan zona bangunan instalasi laut.
Ketentuan ini berlaku sesuai Peraturan Gubernur Sultra Nomor 36 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Akses Area Perikanan. Peraturan ini di antaranya bertujuan melindungi, melestarikan dan memanfaatkan sumber daya ikan, serta berbagai jenis ekosistem di perairan untuk menjamin keberlanjutan fungsi ekologisnya yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Demi menjaga keberlangsungan habitat laut, ditetapkan satu wilayah yang disebut Kawasan Larang Ambil (KLA). Dalam kawasan ini terdapat larangan untuk segala macam jenis penangkapan. Wilayahnya hanya diperuntukkan bagi biota laut untuk tumbuh berkembang biak.
Jenis biota laut yang hidup di wilayah KLA dibiarkan berkembang biak sehingga membuat jumlah populasinya melimpah. Jika populasinya sudah melimpah nantinya akan mendesak biota laut untuk keluar ke wilayah lain hingga sampai di zona layak tangkap.
Berdasarkan data Rare, luas KLA mencapai 3.665 hektare dari luas wilayah PAAP sebesar 23.380 hektare yang mencakup tiga kecamatan, yakni Kecamatan Wawonii Barat, Wawonii Utara, dan Wawonii Timur Laut.
Habitat perikanan yang berada di kawasan PAAP merupakan spesies yang hidup di perairan dangkal seperti gurita, katamba, ekor kuning, rambeng, dan baronang susu. Biasanya komoditas tersebut menjadi target tangkapan utama para nelayan skala kecil.
Namun seorang nelayan di Wawonii Barat, Udin mengatakan, terdapat beberapa masalah dan menjadi kesulitan yang dihadapi para nelayan dalam proses penangkapan ikan. Misalnya, mahalnya harga bahan bakar minyak (BBM) ditambah ketersediaan stok sangat terbatas.
“Biasanya nelayan pakainya BBM jenis solar. Tapi harganya lumayan mahal berkisar Rp15 ribu per liter. Itupun stoknya juga kadang cepat habis,” katanya.
Selain itu, dia menyebut masalah lain yang melingkari para nelayan ada pada sektor keuangan. Nelayan masih kurang mengenai akses permodalan untuk biaya operasional melaut. Kemudian pengetahuan para nelayan mengenai pemanfaatan pendapatan untuk pembangunan usaha juga masih belum memadai.
Terkait masalah tersebut, Rare memiliki solusi melalui program PAAP tentang pelatihan literasi keuangan keluarga nelayan. Objek yang menjadi sasaran pelatihan adalah ibu-ibu yang merupakan istri dari para nelayan.
Melalui pelatihan literasi keuangan itu masyarakat nelayan dapat memperoleh kesempatan dalam meningkatkan pemahaman mengenai konsep keuangan, jasa, dan lembaga keuangan. Keterampilan pengelolaan keuangan dapat dilihat melalui koperasi simpan pinjam.
Tetapi kata Ketua Kelompok PAAP, Fahri, program pelatihan literasi keuangan yang dicanangkan Rare belum dilakukan di Wawonii. Saat ini kegiatan kelompok sementara fokus pada pengenalan program.
Senada dengan Fahri, salah satu anggota Rare, Iman membenarkan jika kini belum pernah dilaksanakan kegiatan pelatihan literasi keuangan. Katanya, pelaksanaan program PAAP masih fokus pada pengetahuan tentang akses sumber daya laut.
Sementara itu Udin mengungkapkan mengenai perlunya program pendidikan khusus terkait manajemen pengelolaan keuangan terhadap nelayan. Menurutnya, selama ini ibu-ibu yang menjadi pelaku pengelola keuangan belum mengetahui sepenuhnya cara mengatur keuangan dari hasil melaut.
“Biasanya ibu-ibu yang berperan untuk menjual hasil tangkapan suami. Tapi kadang mereka sulit membagi uang hasil penjualan. Mana yang akan dipakai sebagai modal melaut dan mana untuk kebutuhan rumah tangga,” ungkapnya.
Terkait akses pasar penjualan hasil tangkap, biasanya para ibu memasarkan ikan yang didapatkan suami dari melaut di pinggir jalan di sekitar pemukiman. Metode penjualannya selain dijajakan di pinggir jalan, mereka juga banyak menawarkan ikan jualan secara online melalui media sosial (medsos).
“Kalau yang punya kendaraan mereka lakukan proses antar jemput pesanan ikan. Kalau yang tidak punya, pembelilah yang mendatangi langsung tempat penjualan,” ujarnya.
“Ikan-ikan yang tidak terjual dikelola menjadi ikan kering atau abon. Jadi tetap masih bisa dimanfaatkan dalam bentuk lain,” tambahnya.
Hasil Tangkapan Nelayan Mulai Membaik
Udin menilai pemasaran hasil nelayan perlahan kini sudah mulai membaik jika dibandingkan keadaan sebelumnya. Area pasaran untuk menjual hasil tangkapan mudah diakses. Selain dipasarkan di pinggir jalan, ikan hasil tangkapan juga dapat dijual ke penampung yang biasa membeli ikan dari para nelayan.
Sementara itu, Fahri menyampaikan terkait adanya rencana pengelolaan sebuah usaha yang disiapkan untuk menunjang proses penangkap ikan dari nelayan. Usaha yang dimaksud adalah penyediaan es batu yang berfungsi di antaranya untuk menjaga kesegaran ikan hasil tangkapan.
“Usahanya nanti dikelola kelompok PAAP melalui Divisi Pengembangan Ekonomi, Usaha Produktif, dan Pemberdayaan Perempuan,” katanya.
Penyediaan es batu yang dilakukan para ibu bukan hanya diperuntukkan bagi suami yang menjadi nelayan. Tetapi juga untuk nelayan lain yang membutuhkan es batu. Es batu memang merupakan salah satu kebutuhan yang tidak dipisahkan dari aktivitas melaut.
Nelayan melihat keberadaan program PAAP bisa membantu meningkatkan ekonomi mereka. Pasalnya, orientasi dari pelaksanaan program ini yaitu menjaga kelestarian ekosistem laut dengan mengatur para pelaku dalam memanfaatkan sumber daya laut secara berkala.
Proses penangkapan ikan yang dilakukan secara berkala dapat membuat populasinya menjadi terjaga sehingga hasil tangkapan para nelayan bisa melimpah. Hasil tangkapannya bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga saja, namun bisa diperjualbelikan dan menjadi sumber pendapatan utama.
Salah satu dampak positif yang dirasakan nelayan atas hadirnya program PAAP saat ini adalah tertutupnya celah persaingan mereka dengan nelayan asal luar wilayah penerapan program PAAP. Para nelayan pun saling berjibaku mengawasi kawasan yang menjadi area tangkap. (A)
Kontributor: Yudin
Editor: Jumriati