Tulisan ini sebenarnya berkisah tentang Buya Hamka. Ulama besar, cendekiawan, dan sastrawan terkemuka yang pernah dimiliki bangsa ini. Saya akan bertutur dalam perspektif “feminis” dengan menampilkan peran istrinya, setidaknya pada tiga peristiwa penting, dalam kehidupan Hamka sekaligus perjalanan bahtera rumahtangganya. Kiranya, kita dapat memetik pelajaran dari keduanya. Sebagai suami istri.
Kisah ini saya sadur dari buku yang dikarang oleh Irfan Hamka, salah seorang putra Hamka, berjudul “Ayah…” yang diterbitkan pertama kali tahun 2013 dan saya membaca cetakan ketigabelasnya tahun 2017 yang diterbitkan oleh Republika.
Nama istri Hamka adalah Siti Raham. Ia adalah istri pertama dan melahirkan 12 orang anak. Hamka punya dua istri, dimana istri kedua, Siti Chadijah, dinikahinya setelah bertahun-tahun wafatnya istri pertama. Kita akan menceritakan peran Siti Raham yang mendampingi suaminya hingga Tuhan memanggilnya.
Kisah pertama. Terjadi tahun 1960. Hamka diundang oleh Menhankam/Pangab Jenderal AH Nasution, ke kantornya. Hamka akan dianugerahi pangkat kehormatan Mayor Jenderal Tituler atas jasanya menggalang kekuatan rakyat di Sumatera Barat dan Riau di jaman pergerakan melawan Belanda.
Menurut Wikipedia, tituler adalah gelar atau pangkat (umumnya pada militer) yang diberikan kepada seseorang di luar kalangan militer berkaitan dengan tugas yang mengharuskan adanya pejabat yang memiliki pangkat militer. Tituler bersifat sementara dan dapat dicabut setelah berakhirnya masa tugas tersebut.
Meskipun berstatus “tituler”, namun fasilitas yang diberikan persis sama dengan mayor jenderal karier. Hamka tidak serta merta menerima atau menolak tawaran itu. Ia berdiskusi dengan istrinya. Siti Raham tanpa berpikir panjang menolaknya.
Dia meminta sang suami tetap konsentrasi mengurus Masjid Al-Azhar. Itu lebih terhormat di hadapan Allah, katanya. Hamka pun menyampaikan penolakannya secara halus ke Jenderal Nasution bahwa dirinya yang telah dianggap sebagai ulama oleh masyarakat dan hobinya pada dunia tulis menulis dapat menghambat tugasnya sebagai mayor jenderal. Sang jenderal memakluminya.
Kalau jaman kita sekarang, jangankan ditawari jabatan mayor jenderal, sudah pensiun pun, istrinya masih bisa nampar orang dan teriak-teriak, “saya istri jenderal”.
Peristiwa kedua. Sekitar tahun 1970-an. Menteri Agama Mukti Ali menyampaikan bahwa Presiden Soeharto memilihnya untuk menjadi Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi. Anak-anak Hamka bergembira ayahnya ditawari jabatan itu. Kembali Hamka berdiskusi dengan istrinya.
Apa tanggapan sang istri? Angku Haji, demikian Siti Raham menyapa suaminya, umat mulai semarak saat ini. Dakwah yang makin semarak itu semua dimulai dari Angku Haji. Di masjid ini (Masjid Al-Azhar), apa yang Angku Haji bina telah terpancar dan dicintai umat. Apa semua yang baru ini akan ditinggalkan begitu saja dan diganti dengan kegiatan sebagai duta besar?
Siti Raham melanjutkan, sebagai duta besar, hampir tiap malam nanti Angku Haji harus menghadiri jamuan. Lalu kapan waktu tersedia untuk Angku Haji mengaji Al Qur’an yang tidak pernah ditinggalkan sejak kecil? Kapan waktunya membaca, menambah ilmu? Kapan waktunya menjalankan hasil ilmu yang didapatkan dari membaca itu?
Lebih baik masjid di depan rumah ini saja Angku Haji kelola dengan baik. Pahalanya dapat dirasakan oleh umat dan sekaligus insyaallah diridhai oleh Allah. Siti Raham mengeluarkan seluruh isi pikiran dan hatinya. Hamka menemui menteri agama dan kembali menyampaikan penolakan.
Bayangkan istri-istri jaman sekarang kalau suaminya ditawari jabatan duta besar. Orang Raha bilang, hanya Tuhan yang tahu.
Peristiwa ketiga. Ketika Hamka ditahan oleh pemerintah Orde Lama sejak tahun 1964 dan baru bebas setelah dua tahun empat bulan kemudian, ketika Orde baru berkuasa. Di masa penahanan itu, keluarganya mengalami kesulitan keuangan karena kehilangan pencari nafkah. Satu persatu perhiasan istrinya digadai dan dijual.
Siti Raham teringat dengan perusahaan penerbitan yang banyak menerbitkan buku-buku Hamka. Pemilik penerbit ini pasangan suami istri yang akrab dengan keluarga Hamka. Keluarga penerbit ini pernah didamaikan oleh Hamka ketika terlibat sengketa saudara.
Sebagai bentuk terima kasih telah didamaikan, pasangan keluarga penerbit ini berkunjung ke kediaman Hamka dan membawakan aneka buah tangan dan uang muka penerbitan buku. Hamka dan istrinya senang sekali mendapatkan kebaikan mereka.
Ketika Hamka ditahan dan mereka kesulitan keuangan, Siti Raham hendak menanyakan apakah masih ada tersisa uang royalti yang belum dibayarkan. Pagi-pagi Siti Raham pergi ditemani seorang anaknya, Irfan, ke rumah penerbit itu. Uang di tangan hanya cukup untuk naik becak pergi. Jaraknya sekitar tiga kilometer.
Mereka tiba di rumah itu pukul tujuh pagi dan baru ditemui oleh pemilik penerbit pukul sembilan. Belum sempat istri Hamka mengutarakan maksudnya, pemilik penerbit itu menjelaskan bahwa buku Hamka yang baru selesai cetak disita pemerintah. Dia mengaku tidak punya uang, tapi dia menawarkan sedekah sekadar untuk membeli beras ke Siti Raham.
Wajah Siti Raham memerah. Dia tersinggung berat. Dia berkata, kedatangannya bukan mencari sedekah. Dia hendak menanyakan apa masih ada sisa honor Hamka yang belum dibayarkan sebelum dia ditangkap. Jika masih ada, tolong dibayarkan. Kalau sudah tidak ada, tidak apa-apa. Untuk uang sedekah itu, berikan saja kepada yang berhak. Siti Raham bangkit dari duduknya, menggamit anaknya, lalu keluar dari rumah itu.
Mereka pulang jalan kaki. Mata Siti Raham memerah. Sesekali dia menghapus butiran-butiran bening dari kelopak matanya. Dia menangis. Air mata seorang perempuan yang tegar menegakkan kehormatannya sebagai istri. Juga kehormatan suaminya.
Di tengah jalan, mereka beristirahat sejenak di dekat perumahan Kedutaan Rusia. Tapi keduanya harus pergi karena diusir oleh penjaga keamanan perumahan karena ada mobil yang mau keluar. Mereka tiba di rumah sekitar pukul 10.30 siang.
*** *** ***
Tiga kisah di atas menjadi penanda seperti apa kepribadian istri dari seorang ulama besar, yang bahkan seorang Soekarno berwasiat agar sang ulama mengimami shalat jenazahnya ketika meninggal. Wasiat seorang presiden yang memerintahkan untuk memenjarakan dirinya.
Akhirnya, kita kembali pada adagium klasik, bahwa di balik para suami hebat selalu ada kekuatan dahsyat para istri yang berdiri di samping, menggenggam erat tangan suaminya.
Tulisan ini kudedikasikan buat istriku dan anak lelakiku yang ulang tahun di bulan ini.***
Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial