ZONASULTRA.ID, KENDARI – Jelang hari pemungutan suara pemilu pada 14 Februari 2024, Warga Sulawesi Tenggara (Sultra) tak luput dari sasaran penyebaran hoaks. Terpantau, sarana penyebarannya melalui media sosial seperti WhatsApp, Tiktok, Facebook, dan Instagram.
Misalnya pada Januari 2024, di berbagai grup WhatsApp warga Sultra, menyerbar hoaks tentang surat suara rusak tak bisa diganti lagi karena dalam posisi sudah di bilik suara. Padahal faktanya, jangankan surat suara rusak, bahkan jika keliru mencoblos pun di bilik suara maka pemilih dapat mengajukan penggantian surat suara sebatas satu kali.
Selain itu ada pula hoaks dengan narasi dengan narasi korban politik 2024 yang diposting pada 9 Februari 2024 di salah satu grup Facebook warga Sultra. Padahal, foto tersebut telah lama beredar di internet sejak tahun 2021 dan tidak ada fakta yang mendukung keterkaitannya dengan Pemilu 2024.
Contoh lain adalah konten tentang hasil penghitungan suara Pemilihan Presiden (Pilpres) Indonesia di luar negeri yang di grup warga Sultra pada pada 8 Februari 2024. Faktanya, penghitungan suara pemilu di luar negeri dilakukan bersamaan dengan waktu penghitungan suara pemilu dalam negeri yakni pada 14 Februari-15 Februari 2024.
Bagaimana Pemeriksa Fakta Bekerja?
Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi seperti pedang bermata dua. Di satu sisi membuat masyarakat semakin mudah mendapatkan informasi melalui internet. Namun di sisi lainnya, informasi yang ada tidak selamanya valid karena terdapat juga informasi bohong atau yang dikenal dengan istilah hoaks.
Karena berisi informasi yang tidak benar maka hoaks dapat menyesatkan, khususnya bagi mereka yang tidak bisa membedakan mana informasi bohong dan benar. Maka di sinilah perlunya dilakukan cek fakta sehingga dapat memberikan pencerahan terkait mana informasi yang benar kepada publik.
Salah satu media daring arus utama seperti Tempo.co menyediakan kanal khusus cek fakta. Dalam kanal ini banyak berisi artikel cek fakta terhadap video, foto, hingga pesan teks. Pada informasi yang disimpulkan “sesat” dan “keliru”, Tim Cek Fakta Tempo memberikan cap “JANGAN SEBARKAN HOAKS”.
Salah satu jurnalis pemeriksa fakta yang namanya tercantum dalam kanal redaksi Cek Fakta Tempo adalah Zainal A. Ishaq. Sehari-hari Zainal yang akrab disapa Inal biasa duduk di warung kopi dalam Kota Kendari untuk fokus bekerja. Sebuah laptop dengan jaringan internet yang memadai, sudah cukup bagi Inal untuk memulai pekerjaannya.
Pemeriksaan fakta terhadap satu konten dilakukannya sendiri, kadang juga dilakukan secara tim. Inal akan memeriksa konten-konten yang umumnya beredar di platform media sosial (medsos) seperti Facebook, Youtube, Twitter, Instagram, TikTok dan lain sebagainya.
Dalam melakukan verifikasi cek fakta terhadap suatu informasi, yang jadi pertimbangan adalah apakah topiknya penting atau tidak untuk publik, apakah laporan itu diklaim sebagai fakta, klaim itu menjadi bahan diskusi atau pembicaraan yang luas atau viral, dan apakah sumber laporan sudah pernah diverifikasi.
Secara teknis, dalam memeriksa fakta Inal banyak mengandalkan sejumlah tools (alat yang melakukan perintah pada sebuah aplikasi). Misalnya untuk mengecek sumber asli gambar dengan menggunakan tools “image search” yang terdapat dalam beberapa aplikasi mesin pencari (search engine) seperti Google.com, dan Bing.com. Ada pula mesin pencari khusus gambar yakni Tineye.com.
Contoh, pada Google terdapat tools “image search” atau Google Lens bisa digunakan untuk mengetahui informasi sebuah foto atau gambar yang beredar di internet. Tak hanya di komputer, tools seperti ini juga terdapat pada smartphone.
Cara penggunaan tools tersebut dengan mengunggah foto atau tangkapan layar ke image search maka akan ditampilkan sumber dari gambar utama, situs-situs web yang pernah mengunggah, hingga tanggal paling lawas gambar serupa diunggah. Teknik serupa juga bisa digunakan untuk mengecek keaslian atau menelusuri video dengan cara mengunggah tangkapan layar (screen shoot).
Namun tidak selamanya mesin pencari dapat diandalkan meskipun sudah beberapa kali dicoba. Kadang juga fitur-fiturnya dapat membantu sedikit tapi masih kurang memberikan informasi yang memadai. Pada akhirnya Inal harus melakukan penelusuran dengan melakukan wawancara narasumber atau mencari dokumen-dokumen yang bisa mendukung pemeriksaan fakta sebagaimana pekerjaan jurnalis pada umumnya.
Hoaks Terus Berkembang
Sebelum jadi pemeriksa fakta, Inal berpengalaman sebagai jurnalis di berbagai stasiun TV swasta. Keterampilannya melakukan cek fakta didapatkannya saat mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bekerja sama dengan Google dan Internews pada 2018. Setelah itu dia menjadi trainer/pelatih di beberapa pelatihan cek fakta, hingga pada 2019 diterima bekerja sebagai pemeriksa fakta Tempo.
Untuk memeriksa satu klaim, Inal bisa cepat menyelesaikannya hanya dalam hitungan satu hingga dua jam tapi bisa juga menghabiskan waktu berhari-hari. Menurut Inal, salah satu penyebab rumitnya pemeriksaan karena dari tahun ke tahun produsen hoaks makin pintar merancang konten.
Inal mengamati produsen hoaks terus meningkatkan tingkat kerumitan konten agar tidak mudah dilabeli hoaks oleh pemeriksa fakta. Misalnya gambar-gambar dari berbagai negara digabung dengan gambar Indonesia, lalu diedit sedemikian rupa supaya tidak mudah dibaca oleh tools, ditambah lagi dengan menghapus metadatanya (informasi tentang asal, struktur, karakteristik, dan sebagainya).
Karena hal demikian, Inal bisa menghabiskan waktu hingga empat hari hanya untuk mengerjakan satu artikel cek fakta. Namun dia juga beberapa kali sampai menyerah meski sudah mencoba semua cara sesuai metodologi.
“Kalau sudah lelah di depan laptop, apalagi kata kunci yang saya gunakan tidak pas dan sudah pakai beberapa tools yang rumit tetap tidak ketemu, biasanya saya juga sampai buntu maka saya oper ke teman. Justru kadang orang lain bisa dapat dengan cara yang sederhana,” tutur Inal kepada Zonasultra.id beberapa waktu lalu.
Hasil Akhir dari Verifikasi Hoaks
Bila suatu proses verifikasi telah selesai dilakukannya, ada lima jenis kesimpulan yang akan diambil Inal. Pertama, “benar” bila pernyataan atas suatu klaim akurat. Kedua “sebagian benar” yakni hanya sebagian dari suatu pernyataan yang benar. Ketiga “tidak terbukti” saat pernyataan tidak bisa disimpulkan akurat atau tidak.
Lalu, keempat, “sesat” bila pernyataan menggunakan fakta dan data yang benar tapi cara penyampaian atau kesimpulannya keliru serta mengarahkan ke tafsir yang salah. Kelima “keliru” saat pernyataan suatu klaim tidak akurat.
“Kita tidak hanya sekadar membuktikan foto atau video itu palsu, kita harus jelaskan lagi konteksnya apa. Jadi kita mencerahkan kenapa ini keliru makanya artikel penjelasan cek fakta di Tempo itu akan panjang,” tutur Inal.
Selama melakukan pemeriksaan fakta, Inal belum pernah salah karena model pemeriksaannya berlapis. Makanya Inal paling sedikit mengajukan empat bukti untuk membantah klaim seseorang, kadang juga bisa sampai 6 dan 8 bukti. Bila hanya mengajukan 2 bukti maka artikel akan ditolak Redaksi Tempo karena dianggap kurang kuat untuk mematahkan klaim.
Kerja-kerja yang dilakukan Inal di Tempo tersebut mengikuti standar International Fact-Checking Network (IFCN) yakni sebuah organisasi cek fakta berskala global. Media daring Tempo.co sendiri sudah masuk dalam daftar media jejaring IFCN sejak Agustus 2018 lalu.
Tempo juga menjalankan kanal cek fakta sesuai dengan kode prinsip IFCN yaitu nonpartisan dan keadilan, transparan terkait sumber, transparan dalam pendanaan dan organisasi, transparan mengenai metodologi, serta terbuka dan jujur dalam melakukan koreksi. (*)
Reporter: Muhamad Taslim Dalma