ZONACERITA – Ruangan itu sejuk. Pendinginnya bekerja optimal di tengah teriknya siang. Puluhan pelanggan sedang mengantri. Desain interior yang menarik serta kursi yang empuk setidaknya mengurangi rasa jenuh menunggu giliran dilayani.
Andi SyahrirAku mengenali seseorang dari puluhan manusia yang sedang menanti nomor antriannya disebut oleh mesin otomatis. Beberapa tahun lalu, namanya cukup popular di provinsi ini. Pernyataannya sering dikutip media massa. Kebijakannya ditunggu.
Dia dulu seorang pamong. Beberapa jabatan tinggi pernah didudukinya. Terakhir sebagai penjabat bupati di salah satu kabupaten. Itu jabatan formal tertinggi seorang pamong. Seorang pegawai negeri. Seorang aparatur sipil negara.
Dia duduk sendirian. Sempat ditemani seorang kawan, sebelum akhirnya pamit pindah tempat duduk. Usianya di kisaran 60 tahun ke atas. Tubuhnya mulai termakan usia, meski pergerakannya masih gesit.
Selama puluhan menit Aku di sana, tak seorang pun dari orang-orang –yang silih berganti datang dan pergi– mendatanginya sekadar menyapa atau bersalaman. Setidaknya, barangkali wajahnya masih familiar sebagai mantan petinggi di daerah ini. Saya berharap ada satu dua orang yang beramah tamah dengannya. Ternyata tidak.
Hingga kemudian, tiba gilirannya ke meja pelayanan. Berhadapan dengan seorang anak muda, yang mungkin saja seusia dengan anak bungsunya. Beberapa menit dia dilayani. Sepertinya, keinginannya tak bisa dipenuhi. Dia bangkit dari kursinya. Pergi bergegas dengan wajah marah.
Beberapa jarak dari pintu keluar, tubuhnya sempat bersenggolan dengan orang lain. Dia tak acuh. Hanya memperbaiki lembaran kertas dan buku di genggamannya yang bergeser. Yang disenggol malah tak menoleh.
Peristiwa tadi menyentuh batinku. Andai saja komplain, keluhan, atau apapun namanya itu disampaikan ketika dia masih menjadi pejabat mungkin saja cerita akan lain. Barangkali akan disiapkan jalur khusus. Paling tidak, stafnya yang akan berada di barisan antrian itu.
Tetapi yang terjadi, anak muda bagian pelayanan seusia putra bungsunya sekalipun telah menolaknya. Tetapi yang terjadi, orang pun tak peduli jika telah tanpa sengaja menyenggolnya.
Aku seperti melihat cermin masa depan dalam perjalanan hidupku. Barangkali, kelak Aku juga adalah orang yang segera terlupakan. Barangkali aku akan lebih ringkih dari perawakannya. Dan dari segi karier, barangkali dia akan jauh lebih beruntung dariku.
Aku menghakimi diri sendiri. Dimana Aku dalam milestone kehidupanku? Seberapa pentingkah Aku? Seberapa hebatkah Aku? Seberapa bermanfaatkah Aku? Lalu dihunjam dengan: seberapa cepatkah Aku dilupakan orang?
Aku menyerapnya. Mengolahnya menjadi sebuah tetesan embun segar berkehidupan. Bahwa kekuasaan adalah sesuatu yang sangat sementara. Kata orang, kekuasaan tidak dibawa mati. No. Sesungguhnya, lebih pendek dari itu. Kekuasaan tidak dibawa pensiun.***
Andi Syahrir
Alumni Pascasarjana UHO & Pemerhati Sosial