ZONASULTRA.COM, UNAAHA – Satu Muharram atau lebih dikenal Tahun baru Islam memang memiliki makna mendalam bagi sebagian orang, termasuk warga Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra) khususnya. Setiap 1 Muharram warga mengelar ritual memandikan benda-benda pusaka terutama senjata-senjata peninggalan Kerajaan Konawe. Ritual memandikan benda pusaka ini merupakan cara mengenang jasa-jasa pahlawan di Kabupaten Konawe, yang dengan gagah berani memperjuangkan tanah Konawe dari serangan para penjajah.
Makna lain dari penyucian benda pusaka itu adalah wujud penghargaan terhadap peninggalan generasi pendahulu. Orang yang memiliki benda pusaka juga diharapkan mempunyai jalinan ikatan batin, terhadap sejarah dan makna yang ada dibalik benda pusaka. Si pemilik benda pusaka dapat mengingat para pendahulunya yang telah berhasil menciptakan suatu karya seni dan budaya yang mempunyai nilai luhur.
“Bukan sekedar dari aspek estetikanya saja, namun lebih dalam lagi dilihat nilai historisnya berupa hikmah kebijaksanaan hidup manusia dalam hubungannya antara manusia dengan alam beserta segala isinya yang
disimbolkan dalam pernik dan detail benda pusaka. Benda-benda pusaka juga menyimpan rangkaian simbol berisi nilai-nilai kearifan lokal,” jelas Ajemain Suruambo, salah satu tokoh adat Kabupaten Konawe.
Sehingga penyucian benda pusaka tidak sekedar membersihkan dan merawat fisik benda pusaka saja, tetapi lebih penting adalah memahami nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam benda pusaka.
Warga meyakini benda-benda pusaka itu memiliki jiwa. Karenanya benda-benda itu harus diperlakukan istimewa layaknya perlakuan terhadap manusia.
Ritual dilakukan di penghujung malam bulan Dzulhijah, digelar di Laika Mbuu yang berdampingan dengan Makam Sangia Ngginoburu atau yang lebih dikenal Raja Lakidende. Puluhan benda pusaka dibungkus dengan kain kafan dan ditempatkan pada wadah khusus.
Dalam prosesi ritual, benda-benda yang yang yang diperkirakan berumur 600 tahun seperti peralatan
perang para panglima kerajaan, berupa keris, Kolunggu, satu kotak sirih pinang, piring makan raja dan ratu, bendera kerajaan Konawe. Selain itu ada peralatan rumah tangga, seperti piring makan atau O Kobo Raja Lakidende dan Permaisurinya. Peralatan senjata perang Suku Tolaki, yang dikenal dengan Ta Awu (pedang), dan Mata Mbetuko (Tongkat Komando) dan masih banyak pusaka-pusaka lainya, dikeluarkan lalu disimpan di atas bentangan putih berukuran satu meter. Setelah semua benda pusaka dikeluarkan, maka pimpinan ritual akan memulai membacakan doa, ini tanda dimulainya ritual. Benda pusaka seperti keris dikeluarkan dari sarungnya secara hati-hati lalu dibersihkan dengan kain. Setalah itu keris dimasukkan kembali dalam sarungnya dengan penuh kehati-hatian.
Kegiatan menyucikan benda pusaka ini sudah dilakukan sejak turun temurun. Warga meyakini jika dengan sengaja mengabaikan atau tidak merawat benda pusaka artinya si pemilik sudah malas untuk menjalin tali rasa dengan para leluhur sendiri. sehingga pusaka tersebut dianggap kosong melompong tiada lagi energi supernatural-nya. Kecuali tersisa hanya energi alami yang terasa sangat lemah.
“Disitulah pesan yang terdapat di balik ritual penyucian benda pusaka. Agar kita selalu ingat pada mereka yang telah berjuang, melalui cara memahami hakekat nilai yang tersirat pada benda pusaka. Untuk selanjutnya dihayati dalam kehidupan sehari-hari,” terangnya
Kegiatan pensucian benda pusaka ini diikuti sekitar 50 orang. Kegiatan itu juga turut dihadiri Kapolres Konawe AKBP Muhamad Nur Akbar, dan anggota TNI lainya. (B)
Reporter : Dedi Finafiskar
Editor : Tahir Ose