2018 sampai dengan 2019 mendatang adalah tahun-tahun krusial dalam perjalanan politik di Indonesia. Tidak terkecuali daerah Sulawesi Tenggara. Tahun 2018 akan dilaksanakan Pilkada serentak untuk 171 daerah, yakni 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Tahun 2019 akan terselenggara pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres).
“Walaupun belum masanya, tetapi panasnya sudah terasa” kira-kira begitulah ungkapan Karni Ilyas, presiden ILC, TV ONE, yang siarannya selalu dinantikan oleh masyarakat Indonesia secara umum. Selain saling adu program antar pasangan yang ikut berkompetisi dalam pilkada, isu-isu yang berbau SARA juga digunakan untuk beradu sehingga menghidupkan stigma politik identitas yang kita ketahui bersama merupakan embrio lahirnya praktik “negative campaign”. Untuk daerah Sulawesi Tenggara (secara umum) politik identitas seakan sudah menjadi nafas dalam perjalanan politik kita.
Sejak masa pemerintahan Drs. H. La Ode Kaimuddin (alm) saat menjabat sebagai Gubernur ke VII Sulawesi Tenggara hal ini sudah terlihat, dimana pada periodenya, Drs. H. La Ode Kaimuddin yang notabenenya adalah masyarakat kepulauan (Muna) mencari kolega politiknya (selain melewati pertimbangan kualitas dan kapabilitas individu) yang memiliki status sebagai masyarakat daratan (Kota Kendari). Stigma politik identitas di Sulawesi Tenggara, populer dengan istilah “Daratan-Kepulauan”. Praktik politik identitas “Daratan-Kepulauan” ini terus berlangsung hingga saat ini. Jika melihat kompetitor pilkada Sultra hari ini pun hal ini masih diterapkan.
1. Paslon Ali Mazi (kepulauan) – Lukman Abunawas (daratan)
2. Paslon Asrun (daratan) – Hugua (kepulauan)
3. Paslon Rusda Mahmud (daratan) – Syafei Kahar (kepulauan)
Sekarang kita menyadari atau sudah lama menyadari adanya praktik “Daratan-Kepulauan” ini dalam perjalanan politik kita. Tetapi bukan itu yang terpenting, yang terpenting adalah bagaimana kita menyikapi praktik politik ini yang sudah merongsong sampai menjadi nafas perpolitikan Sultra. Untuk itu, menganalisis dampak dari praktik ini adalah langkah awal yang musti kita lakukan.
Dalam Aspek Politik (secara umum)
Praktik politik identitas yang ada di Sulawesi Tenggara, secara umum dapat dikategorikan sebagai politik ke-Etnis-an. Hal ini dapat dibuktikan dengan catatan di atas terkait stigma politik “Daratan-Kepulauan”. Jika melihat terjemahan politik secara umum yang seharusnya berlaku untuk menampung segala aspirasi, dan untuk menciptakan kesejahteraan bersama yang menghuni suatu daerah tertentu, dalam satu teritori tertentu pula, dengan menggunakan kebijakan politik sebagai instrument pencapaian itu, maka politik identitas tidak seharusnya diterapkan dalam kehidupan politik yang –seharusnya – demokratis. Hal ini dikarenakan politik identitas memiliki potensi sebagai pemicu konflik sosial jika tidak diartikulasikan dengan baik. Konflik sosial yang dimaksud ini, akan dibahas lebih lanjut dalam sub bab ke-Dua tulisan ini.
Dalam Aspek Sosial – Kemasyarakatan
Secara umum, kondisi sosial masyarakat Sultra hidup dalam ke-heterogen-an. Oleh sebab itu, dalam penerapan teori sosial secara umum pula, dimana manusia tidak bisa hidup tanpa berinteraksi dengan manusia lainnya tidak terelakkan lagi, dan pasti terjadi. Perkawinan silang antar etnis di Sulawesi Tenggara marak terjadi. Hal inilah yang membedakan kondisi heterogenitas masyarakat Sultra dengan kondisi heterogenitas masyarakat Batak. Secara kultur, etnis yang memiliki keheterogenan seperti Sultra (di Indonesia) adalah Batak. Karena itu mengambil kondisi kehidupan masyarakat Batak sebagai pembanding adalah langkah yang tidak keliru. Berbeda lagi jika melihat praktik perpolitikannya, maka provinsi NTB lah yang paling mirip dengan kondisi perpolitikan Sultra.
Melihat realitas adanya perkawinan silang antar Etnis yang ada di Sulawesi Tenggara, maka dapat kita sadari bahwa kultur, adat-istiadat, tidaklah menjadi pemicu pecahnya konflik sosial. Hal ini menjadi kespesialannya tersendiri untuk daerah Sulawesi Tenggara. Tetapi agar tidak terlena dalam pemikiran optimistis saja, maka perlu kita kembali melihat realitas dengan sedikit kenisbian. Adakah terjadi konflik sosial yang melibatkan Etnis tertentu terjadi di Sulawesi Tenggara? Jawabnya Ada. Contoh : 2012 akhir di Kota Kendari pecah konflik antara Muna-Tolaki, 2013 pecah konflik antara Buton-Tomia di Kota Bau-Bau. Sedikit saja kita ambil contoh karena tulisan ini bukan untuk mengenang kenangan buruk, apa lagi untuk memperuncing konflik. Melainkan untuk digunakan sebagai data dalam mendukung kenisbian yang kita bahas sebelumnya.
Kemudian apa hubungan antara konflik itu, dengan sarat politik identitas yang kita bahas diawal? “Pemerintah adalah cerminan masyarakat” itulah konsekuensi yang harus kita terima jika hidup dalam suatu kondisi masyarakat utopis, seperti yang dikatakan Plato. Maka dari itu, praktik politik yang berlaku di Sulawesi Tenggara haruslah memperhatikan kondisi masyarakatnya yang heterogen dan rentan terhadap isu SARA. Terutama langkah-langkah politik yang diambil oleh para kompetitor Pilkada Sultra dalam kontestasi politik tahun 2018 ini.
Agar tulisan ini tidak dianggap sebagai Kritikan Kosong atau penyebar pemikiran propaganda belaka, maka sebagai penutup akan kita bahas, dampak positif politik identitas Sulawesi Tenggara agar dapat menjadi konklusi bersama.
Kondisi Politik Identitas Sulawesi Tenggara
Politik identitas di Sulawesi Tenggara, “Daratan-Kepulauan”, entah secara sadar atau tidak, menerapkan perkawinan politik antara daratan & kepulauan yang sarat akan konflik itu sendiri, sebagaimana pembahasan diawal. Kondisi ini memberikan dampak positif bagi perjalan politik kita. Praktik politik yang mengawin-silangkan antara Tokoh daratan & Tokoh kepulauan, menjadi pencegah masalah agar konflik sosial yang kita khawatirkan tidak terjadi. Jika yang terjadi adalah Daratan VS Kepulauan (tanpa mengawin-silangkan antara keduanya), maka konflik sosial memiliki presentasi yang semakin tinggi untuk terjadi dan dengan terjadinya politik Daratan VS Kepulauan maka stigma rasial masyarakat akan semakin subur jika yang didukungnya kalah atau tidak berhasil memperoleh kekuasaan. Kritik, konflik, bahkan kericuhan akan mewarnai periode pemerintahan yang memperoleh dukungan dari suatu kelompok saja.
Jadi praktik mengawin-silangkan antara daratan & kepulauan di Sulawesi Tenggara, perlu di apresiasi meski mengandung banyak ketidaklayakkan dalam praktik politik yang ideal, karena mencegah terjadinya konflik sosial yang didalangi pemikiran rasial. Tetapi sekedar megawin-silangkan antara daratan dan kepulauan, bukanlah satu-satunya jalan aman dalam menjalankan periode pemerintahan. Kebijakan-kebijakan politik, komposisi birokrasi yang duduk di pemerintahan, maupun konsentrasi pembangunan infrastruktur tiap daerah, haruslah dibagi secara merata agar stigma rasial dapat tersingkirkan seluruhnya. Dengan menerapkan hal-hal tersebut, maka masyarakat tidak memiliki celah lagi untuk mengatakan bahwa ‘pemerintah hanya pro terhadap kelompok ini, atau kelompok itu’. Pemerintah haruslah pro rakyat bukan golongan masyarakat.
Sebagai penutup dari tulisan ini, maka marilah kita mengawal euphoria demokrasi ini dengan menghilangkan pemikiran-pemikiran rasial sebagai awal. Kondisi perpolitikan Sulawesi Tenggara walaupun cenderung kepada politik identitas, tetapi politik identitas yang toleran, sebab itu mesti disikapi dengan rasa optimistis terhadap persatuan, bukan perpecahan. Selama ini, dimana-mana, banyak kita temukan bukti yang menyatakan bahwa kompetisi politik sering kali diwarnai dengan konflik bahkan kericuhan. Sebagai masyarakat intelegtual yang pandai menempatkan diri dalam realitas masyarakat, maka harus disadari bahwa konflik itu hanya mengakibatkan kerugian dalam berbagai sendi-sendi kehidupan baik politik, sosial, bahkan ekonomi. Kita ciptakan kondisi yang harmonis, damai & tentram dalam kontestasi politik tahun ini sebagai wujud kecintaan kita terhadap daerah. Untuk Sulawesi Tenggara tanpa unsur kepentingan golongan apapun.
Oleh : Toto heryanto
Penulis adalah Mahasiswa universitas islam sultan agung semarang dan
Ketua umum lembaga “ipma sultra-semarang” 2015-2017