Pesta demokrasi lima tahunan tinggal sehari lagi tepat pada tanggal 27 Juni 2018 besok masyarakat dibeberapa daerah di Indonesia yang menyelenggarakan pemilihan kepala daerah khususnya masyarakat sulawesi tenggara akan diperhadapkan dengan momentum yang sangat penting dan berharga untuk menentukan nasib daerahnya dalam kurun waktu lima tahun mendatang.
Pilkada merupakan proses demokrasi pemilihan kepala daerah gubernur dan bupati/walikota yang diselenggarakan lima tahun sekali melalui pemilihan secara langsung berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang mana dalam pelaksanaannya diatur didalam Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Berbicara demokrasi berarti kita berbicara “kedaulatan” atau “kekuasaan rakyat” dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Pemahaman ini mengartikan bahwa “kekuasaan” sepenuhnya berada ditangan rakyat yang mana pelaksanaan pemerintahan atau kekuasaan dimandatkan atau diamanahkan kepada pemimpin yang nantinya dipilih oleh rakyat secara langsung, sehingga melalui momentum pesta demokrasi lima tahunan ini rakyat diberi hak dan kebebasan karena kekuasaannya untuk menentukan pilihan pemimpin yang akan menentukan nasib daerahnya lima tahun kedepan, oleh karena itu diharapkan keterlibatan masyarakat untuk pro aktif dan sadar politik menjadi keharusan yang utama agar kualitas pemilihan kepala daerah menjadi lebih baik.
Belajar dari beberapa daerah yang telah melakukan pemilihan kepala daerah, disetiap pemilihan selalu diwarnai dengan kecurangan dibuktikan dengan banyaknya pelanggaran-pelanggaran dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang diputus oleh Panwaslu maupun bawaslu begitupun sengketa perselisihan hasil pemilihan yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi untuk dilakukan PSU (Pemungutan Suara Ulang) karena terbukti melakukan pelanggaran pada saat pemungutan suara, dari tahun ketahun hampir semua daerah yang melaksanakan pemilihan kepala daerah selalu dinodai dengan kecurangan-kecurangan dan kecurangan inilah yang menjadi penyebab mengapa proses demokrasi di Indonesia hingga saat ini tidak berjalan seperti yang kita harapkan bersama.
Money politic atau politik uang merupakan salah satu dari bagian cara atau strategi yang tidak dibenarkan oleh Undang-undang untuk meraup suara yang lebih banyak pada saat menjelang pengumutan suara, tidak sedikit calon kepala daerah menghalalkan segala cara demi memenuhi kebutuhan biaya politiknya dikarenakan begitu mahalnya suara rakyat untuk dibeli, ditambah lagi dengan persaingan harga antara para rivalnya. Untuk pilkada tahun 2018 sendiri terbukti beberapa kepala daerah yang akan kembali mengikuti pertarungan pemilihan kepala daerah terjaring OTT (Operasi Tangkap Tangan) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, setelah dilakukan penyidikan dan penyelidikan serta penetapan tersangka oleh lembaga anti rasuah tersebut, diungkapkan oleh salah satu komisioner KPK pada saat konferensi pers bahwa hasil dari pemeriksaan tersangka dan sejumlah saksi mengungkapkan jika penyebab terjadinya tindak pidana suap-menyuap yang melibatkan kepala daerah dengan pihak swasta didasari pada tingginya biaya politik untuk pendanaan pilkada di daerahnya.
Apa saja perilaku politik (political behaviour) masyarakat Indonesia saat ini?
Menurut Penulis melihat dari perilaku pemilih (political behaviour), pemilih memiliki berbagai macam perilaku politik yang pertama, Pragmatisme perilaku politik ini tidak dapat dipisahkan dari sifat materialistic yang mana pemilih tidak lagi melihat kualitas dan prestasi dari calon melainkan pemilih melihat dari kedekatan hubungan emosional, kekerabatan, dan kekeluargaan dan yang lebih parahnya lagi sifat materialistic masyarakat dijadikan kesempatan untuk mengiming-imingi para calon agar suaranya dibeli dengan harga tertentu bahkan cara ini dilakukan dengan penawaran terang-terangan oleh masyarakat kepada tim calon dengan bahasa pasar “ siapa yang ada uangnya sudah itu yang kita pilih” betapa murahnya suara rakyat saat ini sehingga masyarakat tidak menyadari jika lima tahun penderitaan bukan waktu yang lama ketika kita salah memilih pemimpin. Politik uang dalam berbagai bentuk manifestasinya, mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam membentuk pragmatisme politik.
Politik uang sebagai bentuk pragmatisme politik tidak selalu dalam arti pemberian sejumlah uang kepada pemilih,tapi bisa dalam bentuk-bentuk yang agak soft agar tidak dikesankan “membeli” suara, sehingga sangat miris jika suara rakyat rela digadaikan untuk nasib daerah lima tahun kedepan.
Kemudian yang kedua yakni, perilaku politik idealisme, cerdas dan berkualitas perilaku politik seperti ini jarang kita jumpai ditengah kemeriahan pesta demokrasi di Indonesia saat ini terutama didaerah-daerah dan jumlahnya tidak banyak untuk ukuran pemilihan kepala daerah, pemilih yang memiliki perilaku politik dengan idealisme memiliki cara tersendiri dalam menentukan pilihannya seperti tidak melihat banyak dan sebesar apa partai politik sebagai pengusungnya, tidak melihat apakah calon tersebut petahana atau bukan, namun yang dilakukan sebagai pemilih yang cerdas yakni menggali rekam jejak calon pemimpin yang ada dan mencari informasi dan mempelajari program, visi misi yang ditawarkan pada masyarakat.
Apa yang dimaksud dengan harga diri itu?
Pemilih harus memiliki harga diri, yang dimaksud dengan harga diri disini menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) “harga diri adalah kesadaran akan berapa besar nilai yang diberikan kepada diri sendiri” setiap individu pemilih masing-masing memiliki harga diri, untuk dapat dikatakan sebagai pemilih yang cerdas dan teguh pada prinsip pilihannya serta memiliki harga diri, pemilih harus jauh dari sifat materialistik dan memiliki komitmen kuat untuk tidak menggadaikan suaranya disamping itu juga pemilih yang cerdas harus memiliki kedewasaan berdemokrasi sehingga penulis berharap jika pemilih saat ini diharapkan sadar akan pentingnya memilih pemimpin yang memiliki rekam jejak yang baik dan berkualitas, tidak salah jika ada istilah yang lazim kita dengar yakni “lima menit didalam TPS akan menentukan nasib daerah lima tahun kedepannya” dengan adanya istilah seperti ini sepatutnya kita sadar bahwa betapa pentingnya suara kita sebagai penentu nasib daerah lima tahun kedepan.
Untuk itu melalui opini ini penulis mengajak kepada seluruh pemilih khususnya pemilih di sulawesi tenggara untuk menentukan pilihannya dengan cerdas, menjunjung tinggi harga diri, menjauhkan dari sifat pragmatis dan materialistik menuju proses demokrasi yang bersih, jujur, adil dan rahasia, dengan komitmen yang kuat insyallah akan menghasilkan pemimpin yang memiliki integritas, kualitas, peduli, dan berprestasi yang akan membawa kemajuan dan kesejahteraan bagi daerah kita.