ZONASULTRA.COM, KENDARI– Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Front Gerakan Aktivis Indonesia (Fraksi) Muhammad Awaluddin Mangantarang mengatakan, maraknya aksi protes terkait kekalahan dalam Pilkada serentak tahun 2018 memberikan potensi aksi anarkis.
Menurutnya, hal itu tidak dibenarkan secara hukum, sebab cara seperti itu tidak lebih sebagai upaya provokatif yang membuat proses Pilkada tidak aman dan kondusif. Bahkan tindakan ini dapat diproses secara hukum.
“Jika salah satu Paslon merasa tidak puas, silahkan lakukan upaya hukum secara konstitusional,” ungkap pria yang akrab disapa Awal melalui rilis persnya, Sabtu (30/6/2018).
Awal juga meminta Penyelenggara Pilkada yakni KPU dan Panwaslu untuk bekerja sesuai aturan dan tidak melakukan tindakan merugikan pihak penyelenggara dan paslon yang bertarung dalam Pilkada.
“Artinya ya jangan bermain di air yang keruh,” ujarnya.
Misalnya saja demo meminta diskualifikasi paslon tertentu di beberapa daerah misalnya di Kabupaten Kolaka. Padahal syarat diskualifikasi sendiri memiliki aturan main. KPU atau Panwaslu diharapkan tidak bertindak gegabah, jika mengambil kebijakan tidak sesuai konstitusi maka konsekuensi hukum.
Dimana penyelenggara bisa dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur UU no.10 tahun 2016 tetang pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota pilkada (UU Pilkada).
Awal juga mengutip pernyataan Juru bicara Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono, bahwa selisih perolehan hasil suara merupakan salah satu syarat bagi pasangan calon yang ingin mengajukan permohonan gugatan perkara Pilkada.
Dalam pasal 158 UU 8 tahun 2015 tentang Pilkada disebutkan mengenai syarat pengajuan gugatan hasil Pilkada, yaitu selisih suara minimal dibawah dua persen.
Dalam Pilkada, ada empat syarat mengajukan sengketa Pilkada. Pertama yaitu daerah dengan jumlah penduduk kurang atau sama dengan 2 juta jiwa. Syaratnya adalah selisih suara sebesar dua persen.
Sedangkan daerah dengan jumlah penduduk 2 juta hingga 6 juta jiwa persentase selisihnya 1,5 persen. Jumlah penduduk 6 juta sampai 12 juta jiwa, selisihnya satu persen. Dan Jika penduduknya lebih dari 12 juta selisihnya setengah persen.
Dalam pemilihan wali kota atau bupati juga terdapat empat kategori pengajuan sengketa. Untuk daerah dengan jumlah penduduk kurang atau sama dengan 250 ribu jiwa syaratnya harus selisih dua persen suara. Sedangkan daerah dengan penduduk mencapai 250 ribu hingga 500 ribu jiwa persentasenya 1,5 persen.
Kategori ketiga berlaku untuk daerah dengan jumlah penduduk 500 ribu hingga 1 juta jiwa yang mensyaratkan selisih satu persen. Untuk daerah yang penduduknya lebih dari 1 juta jiwa selisihnya setengah persen. Sementara dalam penghitungannya, lanjut Awal, persentase selisih tersebut dikali dengan jumlah suara sah.
“Misalkan Banten jumlah penduduknya enam juta berarti 1,5 persen, nah 1,5 persen itu dikali jumlah total suara sahnya,” tutur Awal. “Katakanlah 1000. Sekarang selisih perolehan paslonnya berapa, kalau kurang atau sama dengan 1000 boleh melaporkan tapi kalau lebih dari 1000 tidak memenuhi syarat,” imbuhnya.
Selain selisih suara, syarat lainnya yang harus dipenuhi adalah gugatan harus berasal dari pasangan calon dan melakukan pendaftaran sesuai dengan waktu yang sudah ditetapkan.
“Permohonan diajukan oleh pasangan calon, karena yang punya legal standing hanya pasangan calon. Terakhir soal tenggat waktu,” kata Awal.
Syarat berikutnya adalah tenggat waktu. Apabila pemohon mengajukan gugatan melebihi tenggat waktu, gugatan tersebut tetap diterima di kepaniteraan. Namun permohonan gugatan tidak akan dilanjutkan apabila dalam proses telaah, pendaftarannya melampaui tenggat waktu. (B)