Ramadhan pergi, Syawal menyambangi. Di sana ada Idul Fitri, momen dimana umat Islam merayakan kemenangan setelah sebulan lamanya berpuasa. Menahan raga dari lapar dan dahaga. Berjibaku menundukkan hawa nafsu. Ber-taqarrub pada sang Pemilik Hidup.
Namun, benarkah kita termasuk orang yang menang? Seperti apa kemenangan sejati itu? Kontemplasi mendalam diperlukan guna menakar kadar keimanan. Agar label kembali fitrah pada hari lebaran tidak berakhir menjadi lucu-lucuan.
Kemenangan di hari raya memiliki banyak tafsir dalam kacamata sempit manusia. Gegap gempita gembira tersalur dalam balutan barang yang serba baru. Baju baru. Celana baru. Sepatu baru. Aksesoris baru. Tapi urung dijiwai dengan hati yang baru (baca: peningkatan takwa).
Tidak hanya itu, aktivitas bikin kue lebaran dijabani saban hari. Duduk 24 jam di depan oven tanpa sempat memikirkan kegiatan lain. Boro-boro beribadah semisal sholat dan mengaji, mandi saja dipersekusi. Aduh, betapa kelirunya. Salah alamat jika selama Ramadhan kita memiliki ibadah kerontang tapi ingin diklasifikasikan ‘menang’ pada hari lebaran.
Pun, malam menyambut Idul Fitri diwarnai dengan atraksi kembang api. Lempar mercon, yang bunyinya beda-beda tipis dengan bom. Serta segepok euforia tak berarah. Seolah berhari raya hanya pantas disambut dengan bunyi-bunyian raksasa. Padahal Rasulullah SAW memerintahkan umatnya pada malam takbiran untuk memuji Allah.
Asbab vital dari semuanya adalah paham sekularisme. Paham yang meemisahkan agama dari kehidupan. Paham ini berhasil membelokkan makna kemenangan sejati. Mendudukkan takwa pada posisi sekadar taat dalam urusan ibadah dan akhlak semata. Namun abai pada sektor lainnya, semisal ekonomi yang bermandi riba. Sosial yang mencampurbaurkan interaksi pria dan wanita. Dikotomi dalam pendidikan dan kesehatan (beda kasta, beda perlakuan). Hingga lebih berketakutan dengan hukum buatan manusia menjadi pilihan. Astaghfirullah!
Akibat lain dari sekularisme ini adalah sifat amanah dan menepati janji pun kian menghilang. Sebagai contoh, menurut Natalius Pigai, mantan Komisioner Komnas HAM, ada 66 janji pemerintahan Jokowi-JK ketika kampanye yang belum terealisasikan. Sejumlah janji diingkari begitu saja. Janji tidak akan menambah utang. Yang terjadi justru menambah utang sebanyak Rp 1.166 triliun dan sudah menembus angka Rp 4 ribu triliun. Janji tidak menaikkan harga BBM, tarif listrik, dsb. Yang terjadi justru sebaliknya (Buletin Kaffah).
Demikian dahsyatnya kerusakan yang ditimbulkan sekularisme hingga orang tidak merasa berdosa dan hilang rasa takutnya kepada Allah SWT ketika merusak kehidupan bernegara. Padahal dalam ajaran Islam, negara itu ada untuk menjaga dan melindungi masyarakat dan melindungi ketakwaan mereka.
Allah SWT menjadikan Islam sebagai risalah paripurna. Mengatur semua aspek kehidupan. Jadi, harus diamalkan ayat-ayat itu secara keseluruhan. Bukan beriman pada sebagian, dan ingkar pada sebagiannya lagi. Sebagaimana firman-Nya dalam QS. al-Baqarah: 208, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan (paripurna), dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”
Sehingga, takwa dapat terbentuk secara paripurna pula. Tidak hanya hadir selama bulan puasa. Melainkan selama hayat masih dikandung raga. Pun, kemenangan hakiki dalam Idul Fitri sudah diformulasi oleh Ilahi. Kemenangan itu mewujud dalam bentuk meningkatkan ketakwaan (ketundukkan pada syariat Allah SWT), baik dalam tataran individu, masyarakat, dan negara.
Dilansir dari buletin Kaffah, langkah yang bisa dilakukan untuk memelihara dan menyempurnakan ketakwaan kepada Allah SWT antara lain: Pertama, menjadikan akidah Islam bukan sekadar akidah ruhiyyah, tetapi juga akidah siyasiyah, yakni asas dalam kehidupan dunia. Dengan itu semua urusan dunia maupun akhirat selalu dilandasi oleh dorongan keimanan kepada Allah SWT.
Kedua, senantiasa menjadikan Islam sebagai standar untuk menilai perbuatan terpuji-tercela dan baik-buruk. Pertimbangan dalam beramal hanyalah halal dan haram, bukan manfaat atau madarat; bukan pula ridha atau benci manusia. Yang ia cari semata-mata adalah keridhaan Ilahi sekalipun orang-orang mencaci dirinya.
Ketiga, bersabar dalam menjalankan ketaatan pada Allah SWT sebagaimana para nabi dan rasul, juga orang-orang salihh dalam menjalankan perintah dan larangan Allah SWT. Nabi saw. bersabda, “Sungguh di belakang kalian adalah masa kesabaran. Bersabar pada masa itu seperti menggenggam bara api. Pahala bagi yang melakukannya seperti 50 orang yang mengerjakan amalnya.” (HR Abu Daud)
Keempat, berdakwah mengajak umat untuk sama-sama meniti jalan ketakwaan dan menghilangkan kemungkaran. Ia takut bila berdiam diri justru akan mendatangkan bencana dari Allah SWT. “Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan Ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (TQS al-Anfal: 25).
Kelima, segera memohon ampunan kepada Allah SWT dan kembali pada ketaatan manakala telah melakukan kemungkaran. “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (TQS Ali Imran: 135).
Keenam, menumbuhkan kerinduan pada ridha Allah dan surga-Nya. Dengan begitu ia tak akan tergoda untuk menggadaikan agama demi mendapatkan sekeping dunia yang ia pandang remeh. Seluruh hidupnya akan digunakan untuk meneguhkan ketaatan kepada Allah SWT.
Wallahu ‘alam bisshawab.
Oleh: Hasni Tagili, M. Pd.
Penulis Merupakan Praktisi Pendidikan Konawe