Sinar Bangun yang Tenggelam

Andi Asmawati, S. Pd Penulis adalah Guru SMKN 1 Unaaha - Opini
Andi Asmawati

Tenggelamanya KM Sinar bangun di Danau Toba pada senin 18 Juni 2018 menimbulkan perhatian besar di tetapakan sebagaimna bencana Nasional. Kapal yang diperkirakan mengangkut penumpang melebihi dari kapasitas  yang idealnya hanya cukup menampung 60 orang tetapi mengangkut hampir 200 orang dimana pada awalnya korban dinyatakan  hilang sekitar 39 orang berubah  secara drastis menjadi 189 dan  yang  selamat hanya 19 orang.

Pada bulan sebelumnya yaitu tepatnya hari rabu 13 Juni 2018 juga telah musibah  kapal tenggelam yang terjadi di Sulawesi Selatan yang diduga kelebihan muatan dan cuaca buruk. Kecelakaan kapal penumpang di sejumlah daerah, salah satu bukti ketidakmampuan pemerintah dalam membenahi transportasi massal dan lalai dalam mengimplementasikan UU No.17/2008 tentang Pelayaran. Di dalam undang-undang pelayaran diatur dengan jelas, tentang data manifest, kelaikan kapal, dan soal kelebihan muatan. Dalam kondisi seperti saat ini, ketentuan tentang keselamatan pelayaran acapkali dilanggar oleh operator dengan seijin Syahbandar.

Petugas Syahbandar sebagai wakil pemerintah di pelabuhan, semestinya tidak memberikan surat izin berlayar sebelum kondisi kapal dan muatannya benar-benar selesai dilakukan pemeriksaan mulai dari perlengkapan sekoci, pelampung dan alat keselamatan lainnya. Bukan malah kongkalingkong untuk memuluskan pelayaran dengan mengabaikan keselamatan penumpang.

Pemerintah terkesan membiarkan operator kapal berjalan sendiri tanpa pengawasan dan pembinaan.Padahal berdasarkan Undang-undang, pemerintah memiliki peran sebagai regulator yang bertugas melakukan pembinaan terhadap operator dan penyelenggaraan transportasi massal. Namun kenyataannya tugas yang diamanatkan tidak dijalankan dengan baik.

Pengabaian terhadap pengurusan transportasi laut merupakan bentuk pengabaian terhadap konsumen sebagai masyarakat yang membutuhkan jasa tranportasi laut.. Keselamatan konsumen kapal menempati urutan kesekian, lebih utama profit perusahaan. Terjadinya musibah beruntun sepanjang tahun adalah bukti konkrit akan hal itu.

Carut-marut transportasi umum di Indonesia dimulai dari paradigma dasarberikut perangkat aturan yang muncul dari paradigma dasar itu, dengan kata lain kesalahan sistemik. Kesalahannya adalah tentang kepemilikan fasilitas umum transportasi yang dikuasai oleh perusahaan atau swasta yang secara otomatis mempunyai fungsi bisnis, yaitu mencari keuntungan, bukan fungsi pelayanan.Akibatnya, meski jasa transportasi murah tidak aman, masyarakat tetap mau membeli akibat rendahnya daya beli.Jasa transportasi yang murah tapi berbahaya inipun tetap laku di pasaran karena mendatangkan keuntungan, meski di lapangan kapasitas tersediapun amat terbatas karena keuntungan yang diperoleh darikonsumen kalangan bawah ini tidak cukup besar atau bisa jadi malahmemerlukan subsidi silang.

Adapun jasa transportasi yang aman, yang memerlukan modal dan kekuatan pembiayaan operasional, hanya dapat dijangkau oleh masyarakat kelas atas.Inipun semakin mahal akibat biaya tinggi yang disebabkan oleh pajak dankeperluan untuk subsidi silang terhadap produk jasa transportasi murahan yangtidak aman, yang disediakan bagi konsumen kelas bawah.Dengan terbatasnya sarana transportasi bagi masyarakat kelas bawah, baik dibatasi oleh kapasitas maupun tarif, seringkali sarana transportasi digunakan dengan muatan penumpang atau barang yang melebihi kapasitas angkut.Hal ini mempertinggi ancaman bahaya kecelakaan.

Berangkat dari pemahaman bahwa setiap sistem itu muncul dari sebuah pandangan hidup tertentu, atau sebuah ideologi tertentu, sistem yang berlaku saat ini dibangun dari pandangan sekularisme, yaitu pemisahan kehidupan bermasyarakat dan bernegara dengan agama (fashlu ad-din ‘ani al-hayat).Dengan demikian, aturan kehidupan masyarakat, termasuk di bidang pelayanan umum yang juga termasuk di dalamnya  transportasi, tidaklah diambil dari Islam. Kepemilikan terhadap barang dan jasa transportasi dan pengembangannya tidak ditetapkan dengan Islam.

Pembagian fungsi, peran, dan tanggung jawab pada negara, pemodal, dan masyarakat tidak ditetapkan dengan Islam. Akibatnya,sistem yang dijalankan manusia pun terjebak dalam carut-marut permasalahan yang penyelesaiannya selalu menimbulkan paradoks yang dilematis dan menyengsarakan manusia. Bagaikan hukum rimba, akhirnya pihak yang lemah, yaitu masyarakat kelas bawah (proletar) lah yang menjadi korban paling parah, bukan pemerintah maupun para pemodal (borjuis).

Allah telah menurunkan Islam untuk menyelesaikan permasalahan hidup manusia, baik masalah privat maupun masalah kolektif. Asar’i (Sang Pembuat hukum) membagi kepemilikan barang dan jasa menjadi tiga jenis kepemilikan, yaitu: kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara (An-Nabhani, 1996).

Fasilitas umum merupakan bagian dari kepemilikan umum termasuk di dalamnya adalah transportasi.Kepemilikan umum adalah hak yang diberikan oleh syara’ kepada komunitas/umat untuk memanfaatkan sumber daya alam secara bersama-sama.Barang dan jasa yang merupakan kepemilikan individu bisa menjadi kepemilikan umum tanpa barang dan jasa tersebut dapat menyebabkan kesengsaraan umat, tetapi Barang dan jasa yang kepemilikannya ada pada umat (milik umum) tidak memungkinkan dimiliki oleh individu atau segelintir orang saja.

Kepemilikan umum di negeri ini dikelola oleh pihak swasta sehingga kompensasi yang menyejahterakan yang seharusnya diperoleh rakyat menjadi dilema yang menyengsarakan rakyat.Ini karena pihak swasta bukan mengedepankan pelayanan, tetapi mencari keuntungan.Kita lihat saja dari pelayanan transportasi dan infrastruktur yang disediakan, banyak alat transportasi yang tidak layak pakai tetap dioperasikan.Jembatan yang baru beberapa tahun berdiri sudah abruk dan runtuh dan banyak lagi yang lainnya.

Survey membuktikan bahwa kecelakaan yang terjadi pada pelayanan alat transportasi dan penggunaan fasilitas umum di Indonesia 99% disebabkan oleh tidak layak pakainya sarana transportasi dan infrastruktur yang disediakan, sedangkan kecelakaan murni hanya 1%. Ini menunjukan kalau pelayanan umum di Indonesia ini belum baik dan sangat jauh dari baik.Pelayanan umat/publik dikatakan baik jika:pertama, sederhana (tidak ribet, tidak rumit dan tidak menyengsarakan rakyat).Kedua, cepatKetiga, profesional (urusan tersebut diserahka kepada orang yang benar-benar mampu).

Adalah sebuah kezhaliman bagi masyarakat jika fasilitas umum seperti prasarana transportasi dikuasai secara perorangan atau segelintir orang(swasta). Seharusnya  pengelolaannya menjadi tanggung jawab negara untuk kemashlahatan umat. Dalam sebuah hadits Imam Bukhari yang diriwayatkan dari Ibnu Umar yang mengatakan, Nabi SAW bersabda, “Imam adalah (laksana) penggembala (pelayan) dan dia akan dimintai pertanggung jawaban terhadap urusanrakyatnya.”

Dalam struktur pemerintahan Islam, transportasi umum tidak termasuk ke dalam struktur kekuasaan, melainkan masuk ke dalam struktur administrasi untuk kemaslahatan umum yang memerlukan keahlian dalam bidang transportasi.Hukum asalnya, Khalifah harus mengambil pendapat ulama, para ahli dan pakar dalam perkara tersebut. Hal ini dicontohkan oleh Rasulullah saw. mengadopsi pendapat Hubab bin Mundzir sebagai ahli di daerah Badar saat menetapkan strategi perang Badar.

Dengan kepemilikan prasarana transportasi yang merupakan fasilitas umum yang termasuk kepemilikan umum dengan kewajiban negara untuk mengelolanya demi kemashlahatan umat, maka keamanan dan keselamatan dalam transportasi umum tidak akan diperhitungkan berdasarkan keuntungan dan kerugian, melainkan menjadi sebuah bentuk pelayanan kepada umat. Dengan demikian, mutu jasa transportasi yang selama ini diskriminatif, menyengsarakan, dan membahayakan masyarakat akibat orientasi bisnis dapat dihindari. Hal ini tidak akan pernah tercapai jika sistem yang diterapkan bukan sistem Islam (syari’at Islam).

Belumkah kita sadar akan kebobrokan sistem yang diterapkan sekarang yang menyebabkan kesengsaraan, penderitaan, dan kemelaratan umat. Mari kita bangun dan bangkit menuju kehidupan yang sejahtera dan diridhoi Allah.Hanya dengan Islamlah itu semua bisa tercapai. Wallahu ‘alam bisshawab.

 


Oleh : Andi Asmawati, S. Pd
Penulis adalah Guru SMKN 1 Unaaha

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini