Kata ‘Rezim’ mengingatkan kita pada tanggal 1 Mei 1998 lalu, dimana menandai berakhirnya pemerintahan Orde Baru. Peristiwa itu ditandai dengan mundurnya Sang Penguasa Rezim ‘Pak Harto’ yang disambut oleh masyarakat, utamanya di Jakarta dengan tumpah ruah di jalan, mereka bersujud kepada Pemilik Alam ini dengan berlinang air mata. Sesyukur itukah mereka, entahlah, mereka memang sudah bosan dipimpin selama 32 tahun hanya satu orang saja. Peristiwa itu, dikenal dengan sebutan ‘Reformasi’ dimana, perubahan secara drastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik, ekonomi, dan agama) di Indoneisia.
Tapi sayang harapan dan cita-cita yang diinginkan tidak sesuai dengan realita kebangsaan di saat ini. Masih ada sisa-sisa rezim orde baru yang meneruskan sistem pemerintahan ‘Diktator’. Sebut saja, para elit politik yang bersembunyi di balik tirani kekuasaan yang menjebak rakyat dengan janji palsu, sehingga rakyat awam yang tidak tau apa-apa terjebak dalam tipuan elit politik yang tidak jelas arah dan kebenarannya. Hal ini belum lama terjadi pada pilkada lalu.
Pasca ‘Pilkada’ lalu banyak menorehkan luka di beberapa kalangan elit politik yang kalah, lebih-lebih rakyat yang menjadi korban dari permainan politik tidak sehat. Kita tahu bahwa, pilkada lalu juga merupakan momentum penting bagi elit politik dalam memperebutkan tahta kekuasaan. Dengan menjadikan Partai Politik sebagai ‘Panser KendaraanTempurnya’ serta membentuk tim-tim sukses sebagai ‘Pion-Pion dan Benteng Pertahannannya’. Tak jarang sebagian politikus juga menggunakan cara-cara yang tidak sehat, salah satunya memanipulasi suara.
Dalam setiap kompetisi atau pertandingan selalu ada yang kemudian keluar sebagai pemenang. Dan, ada yang kalah. Dalam Pilkada serentak yang baru saja usai digelar di beberapa daerah di Indonesia, kita juga menghadapi kondisi serupa. Pilkada sebagai momen untuk menentukan dan memilih pemimpin selama lima tahun ke depan sudah selesai. Hasilnya jelas: ada yang kalah dan ada yang menang, yang kemudian berhak menduduki kursi kekuasaan. Setiap pemimpin baru yang telah dipercaya oleh rakyat berada di garda terdepan dalam membangun dan memajukan daerah. Mereka hendaknya harus bisa bertransformasi bersama rakyat. Karena, bagaimana pun juga, pemimpin merupakan sosok yang penting dan memiliki pengaruh besar dalam upaya memajukan sebuah daerah. Mesti diingat pula, bahwa tidak tertutup juga kemungkinan seorang pemimpin akan menyerakahkan rakyatnya.
Mungkin tidak lebih dari 20% (dua puluh persen) kepala daerah hasil pilkada yang mampu menjalankan amanah rakyta dengan baik. Kekhawatiran ini semakin bertambah meningingat informasi yang berkembang di media masa bahwa begitu banyak pemimpin bangsa yang justru mengabaikan amanah rakyat dengan perilaku-perilaku tidak bijak. Terlepas dari hal itu bahwa pilkada langsung tahun ini tentu harus mampu di jadikan sebagai momentum baru bagi perubahan pola dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Para pemimpin daerah yang baru diharapkan mampu melakukan kerja-kerja nyta. Tidak hanya melalui janji-janji kampanye yang begitu megah dan luar biasa namun minim realitanya.
Pemimpin bukan sebuah simbol eksistensi suatu komunitas tetapi segalanya bagi komunitas. Sosok pemimpin memang dibutuhkan dalam suatu komunitas untuk mengarahkan dan memutuskan suatu keputusan bagi komunitas tersebut. Dan nyatanya pemimpin sejati bukan hanya sekedar sosok yang memimpin sebuah komunitas tetapi seseorang yang mampu menjiwai segala aspek kepemimpinan secara utuh.
Definisi pemimpin tidak hanya seseorang yang mampu mengarahkan suatu komunitas, mengambil keputusan, dan lain sebagainya. Lebih dari itu seorang pemimpin harus mampu menularkan pemikiran dari hasil olah pikirnya kepada semua orang yang ia pimpin tanpa terkecuali. Hal itu menjadi poin penting karena ketika suatu komunitas memperjuangkan suatu hal maka persepsi yang ada dipikiran mereka harus sama satu dengan yang lainnya. Pada zaman sekarang banyak komunitas yang mengatakan bahwa mereka berjuang pada satu jalan yang mereka yakini benar, yang pada kenyataannya ternyata mereka hanya mengikuti ‘ perintah’ dari pemimpin mereka tanpa mengetahui makna yang terkandung dari perbuatan mereka tersebut. Hal ini tentu harus ditinggalkan jauh-jauh dari budaya organisasi baik dalam skala besar maupun besar. Pemimpin, satu kata dengan segala pertangungjawaban. Bukan merupakan hal yang mudah menjadi seorang pemimpin karena ia tidak hanya harus terus meningkatkan kualitas dirinya sendiri tetapi juga harus siap untuk mencetak penggantinya kelak yang berjuang dengan nilai-nilai perjuangan yang sama dengan dirinya. Dan hal itu tidak semudah menunjuk seorang sebagai penggantinya yang hanya sebuah simbol kekuasaan
Untuk menampilkan diri sebagai pemimpin yang murah hati sebagaimana tuntutan rakyta, para politikus saat ini hanya memberikan harapan palsu serta dengan janji jabatan. Pada masa kepemimpinan Orba, menganut azas keagungbinataraan, yang bermaksud bahwa kekuasaan harus terpusat pada satu tangan dan tidak boleh ada yang menyaingi. Kalau ada saingan, maka saingan tersebut harsu diperangi atau dibunuh agar kekuasaan tetap tunggal adanya. Lihat saja, betapa jelas rezim baru saat ini memberikan jabatan khusus kepada patner politiknya dan yang bukan diturunkan jabatannya.
Bukan hanya itu, rakyat ‘Dilema’ dengan ‘Rezim Baru’ yang terpilih pasca pilkada lalu. Apakah rezim baru tersebut membrikan harapan baru ataukan sebaliknya. Kebanyakan pemimpin saat ini, berorientasi pada kekuasaan dan memperkaya diri saja. Ketika sibuk memperkaya diri dan sibuk mencari koalisi, sehingga kepentingan rakyat terabaikan yang seharusnya adalah tanggung jawab mereka. Usai memenangkan pilkada, pemimpin saat ini semakin memperjelas praktek ‘Nepotisme’ dimana, memberikan jabatan dan kekuasaan kepada keluarganya dan kerbat dekat saja.
Pemimpin Baru dan Harapan baru harus secepatnya diwujudkan menjadi era baru, di mana demokrasi menjadi pilar utama untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk menipu rakyat. Pemimpin yang berpihak kerakyat disini dimaksudkan untuk mewujudkan transformasi sosial berkeadilan dan lebih mengarah pada kepentingan masyarakat sosial dan bukannya pada kepentingan elit sosial.#
“Penulis adalah putra asli Wakatobi”