Tata kelola kesehatan di negeri ini seperti kehilangan visinya dalam mewujudkan Indonesia sehat. Saat nakes massif mengkampanyekan bahaya rokok, apa daya, mekanisme pembayaran klaim faskes oleh pihak BPJS berujung dilematis. Sebagaimana ramai diberitakan, beberapa rumah sakit mengajukan protes atas keterlambatan BPJS membayar tagihan. Hal ini berujung pada pelayanan yang akhirnya kurang maksimal khususnya terhadap pasien BPJS. Beberapa RS bahkan menolak pasien pengguna kartu BPJS.
Sebagaimana diberitakan, selama tahun 2017 hingga 2018, total klaim BPJS kesehatan sebesar Rp.289,6 M. Sedangkan klaim yang sudah dibayar sebesar 254 M. Keterlambatan pembayaran tagihan oleh pihak BPJS ini katanya diakibatkan karena pihak BPJS mengalami defisit. Dari sekian alternatif tindak penyelamatan defisit BPJS, pemberian bantuan dana melalui cukai rokok nampaknya merupakan keputusan yang memantik beragam tanggapan.
Sebagaimana diketahui, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) terkait pemanfaatan cukai rokok dari daerah. Perpres ini dinilai dapat menutup defisit keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. “Perpres sudah ditandatangan dan sedang diundangkan di Kumham,” kata Juru Bicara Presiden Johan Budi SP di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa (18/9/2018).
“Apapun yang namanya pelayanan kesehatan masyarakat itu harus dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga defisit itu sebagian ditutup dari hasil cukai rokok,” demikian kata Presiden Jokowi di Istana Negara Jakarta, Rabu, 19 September 2018. Lebih jauh Jokowi mengatakan sudah meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk memeriksa kondisi keuangan BPJS Kesehatan. “Artinya ini prosedur, akuntabilitas sudah dilalui,”. Sebelumnya, Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo menyebut Kementerian Keuangan telah dan akan melakukan sejumlah skenario untuk mengendalikan defisit keuangan BPJS Kesehatan. Pertama, langkah peningkatan peran Pemerintah Daerah (Pemda).
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sendiri berharap pemerintah mengalirkan dana dari cukai rokok untuk menyeimbangkan arus keuangannya. Sebab, di 2018 ini diperkirakan anggaran keuangan BPJS Kesehatan mengalami defisit sebesar Rp 16,5 triliun. Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan, dana untuk menutupi defisit anggaran pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan cair pada Senin 24 September 2018. Dana talangan yang diberikan pemerintah diberikan sebesar Rp 4,9 triliun.
Menteri Kesehatan Nila Moeloek menyebut defisit anggaran BPJS Kesehatan mencapai Rp 9 triliun. Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris meluruskan anggapan tersebut. “Begini, prinsip program ini adalah anggaran berimbang. Jadi Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) itu bersama-sama menyetujui rencana kerja dan anggaran tahunan,” kata Fachmi, dalam konferensi pers yang digelar di kantor BPJS Kesehatan, Jakarta Pusat, Selasa (15/8/2017). Artinya, lanjut dia, pendapatan dan pengeluaran harus seimbang. Pendapatan bisa didapatkan dari iuran dan sumber dana lain. Beliau menjelaskan, iuran masyarakat untuk kelas III sebesar Rp 25.500 per bulan. Namun, berdasarkan hitungan aktuaria, seharusnya iuran kelas III sebesar Rp 53.000. Artinya, sudah kekurangan anggaran Rp 27.500. Kemudian iuran masyarakat kelas II sebesar Rp 51.000 per bulan. Berdasar hitungan aktuaria, iuran program tersebut seharusnya Rp 63.000 per bulan. Dengan demikian, sudah defisit Rp 13.000. Sedangkan untuk hitungan iuran kelas I sebesar Rp 80.000 sudah pas dengan hitungan aktuaria.Kemudian di sisi penerima bantuan, iuran berdasar hitungan fiskal sebesar Rp 23 ribu. Namun berdasar hitungan aktuaria iuran per bulan sebesar Rp 36.000. Artinya per kepala sudah minus Rp 13.000. “Pertanyaannya, pasti ini kan defisit, uang pasti kurang. Jadi pertanyaannya, anggaran berimbang ini pemecahannya yang pertama kalau ingin berimbang betul, iuran disesuaikan dengan hitungan akademik,”.
Kisruh pelayanan kesehatan melalui regulasi BPJS pada dasarnya merupakan kejadian berulang. Sejak awal, kemunculan BPJS bahkan menjadi pembahasan yang ramai di diskusikan Di berbagai forum. Mulai dari aspek pelayanan, hingga kritik terhadap pengalihan peran pemerintah kepada pihak korporasi, dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada rakyat.
Health Insurance: Pengalihan Tangung Jawab Negara Pada Korporasi
Sistem asuransi kesehatan telah di adopsi Pemerintah Indonesia dan resmi melaksanakannya pada 1 Januari 2014 lalu. Imiing-iming Universal Health Coverage merupakan konsep yang terlihat sangat baik namun pada dasarnya, rakyat sendirilah yang menanggung kesehatan mereka sendiri. Sebab nafas asuransi adalah nafas bisnis dan mewajibkan setiap peserta membayar premi bulanan. Konsep JKN ini tentu beda dengan model asuransi pada umumnya. Dimana ikut tidaknya kita sebagai peserta tergantung masing-masing individu. Sistem BPJS bersifat wajib kepesertaannya bagi seluruh rakyat. Sebagai asuransi, tentu saja klaim hanya bisa diperoleh jika satu kasus terjadi. Jika tak sakit, klaim tak keluar. Saling tanggung pembiayaan kesehatan sesama warga sekilas terlihat manusiawi. Namun jika di telisik, justru peran negara sedang di alihkan, dan hanya difungsikan sebagai regulator semata. Alhasil, konsep korporasi jelas tercium. Konsep korporasi di bidang kesehatan ini sesungguhnya merupakan implementasi kesepakatan World Trade Organization (WTO) untuk selanjutnya diadopsi khususnya negara-negara anggota WTO. Yaitu berkenaan dengan dimasukkannya layanan kesehatan sebagai salah satu layanan dasar yang termaktub dalam kesepakatan perdagangan General Agreements Trade in Services (GATS), tahun 1994.
Konsep ini berangkat dari pandangan bahwa institusi penyelenggara asuransi sosial adalah entitas yang lebih kapabel dari pada pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Dalam konteks JKN, tidak diragukan lagi institusi yang dimaksud adalah BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan. Yang dapat dipahami dari ayat 1 pasal 1, UU No 24 Tahun 2011, tentang BPJS bahwa “Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial”. Sedangkan wewenang dan kekuasaan BPJS kesehatan yang luar biasa, mulai dari menagih pembayaran dari masyarakat, pengeloaannya, sampai dengan pengelolaan pelayanan kesehatan itu sendiri, ditegaskan dalam pasal 11 UU yang sama.
BPJS Kesehatan meski merupakan badan hukum publik, namun prinsip-prinsip korporasi tetap dijadikan dasar tata kelolanya. Hal ini ditunjukkan antara lain oleh butir b pasal 11, tentang wewenang BPJS, yaitu, “menempatkan Dana Jaminan Sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai”.(4) Artinya yang dikehendaki dan yang terjadi adalah pemberian wewenang tata kelola finansial dan pelayanan publik (pelayanan Kesehatan) kepada korporasi atau quasi korporasi, yaitu BPJS Kesehatan.
Konsep ini secara tidak langsung merupakan penyerahan wewenang dan fungsi penting pemerintah dalam melayani warganya di bidang kesehatan kepada korporasi. Hal tersebut diperparah dengan diadopsinya Public Private Partnership (PPPs) / Kemitraan Pemerintah dan Swasta (KPS) sebagai konsep pembangunan dan tata kelola sistem kesehatan di era JKN khususnya, dan pelayanan publik pada umumnya. Konsep-konsep JKN, seperti pembatasan peran pemerintah, pembiayaan berbasis pajak dan asuransi wajib dan kendali mutu berdasarkan pembayaran sistem paket, pelayanan berjenjang, penggajian model kapitasi, menunjukkan bahwa ruh dari JKN adalah komersialisasi kesehatan itu sendiri.
Pelayanan kesehatan, harus ditopang kemandirian ekonomi
Memiliki generasi sehat tentu dambaan setiap peradaban. Untuk itu, berbagai upaya jelas akan ditempuh agar terwujud generasi sehat dan terdepan dalam memimpin peradaban. Dibutuhkan visi politik yang mumpuni dalam menyelesaikan masalah masyarakat tak terkecuali masalah kesehatan. Kesehatan bukanlah subsistem yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari suprasistem yang butuh penanganan secara sistemik pula. Olehnya itu, pemerintah wajib mengupayakan regulasi baik melalui upaya preventif maupun kuratif. Upaya preventif yang dimaksud adalah upaya pencegahan agar angka kesakitan maupun pencegahan munculnya penyakit yang dapat di antisipasi secara dini melalui berbagai program kesehatan.
Kemandirian ekonomi yang ditopang dengan system ekonomi yang mumpuni adalah salah satu kunci kesuksesan sistem kesehatan. Sebab ekonomi dan kesehatan merupakan dua terminologi yang saling beririsan satu sama lain. Negara perlu berbenah, mengadopsi system politik ekonomi yang akan sangat berkontribusi mewujudkan kemaslahatan umat termasuk dalam mewujudkan Indonesia yang sehat dan sejahtera. Negeri ini memiliki potensi besar untuk mencapai kemandirian di segala bidang. Salah satunya adalah dengan mengelola sumber daya alam yang melimpah. Negara harus mampu memproteksi adanya individu yang mengelola sumberdaya alam yang seharusnya diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat. Carut marutnya tata kelola SDA yang sejatinya merupakan sumber pendanaan potensial bangsa, akhirnya tak berjalan secara ideal. Pengelolaan SDA tidak boleh diserahkan kepada swasta (corporate based management) tapi harus dikelola sepenuhnya oleh negara (state based management) dan hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam berbagai bentuk termasuk dalam pembiayaan penyelenggaraan kesehatan. Alhasil, pelayanan kesehatan, kecukupan gaji bagi nakes, sarana prasarana kesehatan, pelayanan preventif promotif maupun kuratif rehabilitatif akan terwujud tanpa meninggalkan masalah berlarut, bahkan memunculkan solusi tambal sulam yang sejatinya tak akan mampu mengurai masalah kesehatan kita saat ini.
Oleh : Jumartin Gerung,S.Si.,M.Kes
Penulis Merupakan Dosen STIKES Mandala Waluya Kendari