ZONASULTRA.COM, KENDARI – Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara (Sultra) bersama Komunitas Sastra dan para penulis menggelar bedah buku Perkembangan Puisi Indonesia di daerah ini, Kamis (18/10/2018). Buku itu mengenai perkembangan, sejarah, gambaran, peristiwa sastra, dan kebangkitannya selama 30 tahun sejak tahun 1985 hingga 2015.
Buku ini disusun oleh Tim Penulis Kantor Bahasa Sultra. Kegiatan bedah buku itu menghadirkan tiga narasumber yakni sastrawan nasional Maman S. Mahayana (Kritikus Sastra), Irianto Ibrahim (Kritikus Sastra), La Ode Gusman Nasiru (Penyair).
Maman S. Mahayana menyatakan apresiasinya terhadap Kantor Bahasa Sultra dengan menerbitkan buku itu, walaupun masih ada beberapa kelemahan. Kata dia, menjadi seorang sastrawan berarti menjadi potret kehidupan sosial dan saksi pada setiap zaman.
“Dengan adanya kegiatan bedah buku yang diadakan Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara bisa jadi pemantik bagi Kantor Bahasa yang lain agar menulis sejarah di kotanya masing-masing,” kata Maman S. Mahayana, ditemui di Aula Kantor Bahasa.
Ia juga melanjutkan, penyair di Sulawesi Tenggara memiliki potensi besar dalam kepenyairan tinggal keberanian penyair itu sendiri. Panyair masih bisa menggali lebih jauh tentang kekayaan sejarah dan budaya.
“Mereka punya kekayaan kultural dan punya kekayaan sejarah sebagai modal budaya. Dan ini yang tidak dimiliki bangsa-bangsa yang lain. Kendari punya, tinggal berani nggak digali,” ujar Maman.
Sementara itu, ketua tim penulis Syaifuddin Gani mengatakan buku itu adalah hasil penelitian yang dikerjakan selama dua tahun. Data yang diambil dari berbagai lembaga, perpustakaan pemerintah, perpustakaan komunitas, perpustakaan pribadi, dan pers.
Dari hasil pengolahan data, Tim Penulis memetakan sejarah puisi di Sultra dalam tiga periode, yakni 1985-1995, periode 1995-2005, dan periode 2005-2015. Di antara nama-nama penulis itu ada yang terus menulis sampai sekarang dan ada yang sudah tidak tidak menulis lagi.
“Meminjam istilah penyair kenamaan Indonesia Chairil Anwar ‘semua harus tercatet, semua harus dapat tempat’. Para penyair yang kami pilih adalah mereka yang pernah berproses untuk melahirkan puisi,” ujar Syaifuddin.
Manuskrip puisi tertua di Sultra ditulis oleh Lardo Arie Yanna berjudul “Top” tahun 1985. Kata Suaifuddin, jauh sebelum tahun tersebut, Lardo juga sebenarnya telah menulis puisi dengan jejak kepenulisan sejak 1971.
Lanjut dia, untuk peride 2005-2015 beberapa penyair di antaranya Deasy Tirayoh dengan salah satu puisi “Bidadari Kecil”. Kemudian ada nama-nama lainnya seperti Wa Ode Nur Iman, La Ode Gusman Nasiru, Amiruddin Ena, Zainal Srianto Wau, dan lainnya. (B)
Reporter : M7/Muhamad Taslim Dalma
Editor : Abdul Saban